Perempuan Tangguh
Oleh: Mukhlisin[*]
Dari kejauhan kita tak tahu siapa pembuat pematang sawah ini. Dari caping yang menutupi kepalanya kita menyangka seorang lelaki. Namun setelah mendekat kita baru percaya jika pembuat pematang sawah itu adalah seorang perempuan. Perempuan paruh baya ini bernama Sutirah. Sutirah sudah lima tahun berprofesi sebagai pembuat pematang sawah.
Sejak ditinggal suaminya Sutirah yang hanya tamatan SD ini harus menghidupi empat anaknya. Baginya pendidikan harus diutamakan. Terutama bagi keempat anaknya. Sutirah menyadari baik buruk nasib anak-anaknya ditentukan oleh pendidikan. Tekad Sutirah menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi patut ditiru. Meski hanya seorang buruh tani, kini kedua anaknya sedang mengenyam pendidikan tinggi. Anak ketiga dan empat masing-masing berada di bangku SMA dan SMP.Â
Demi pendidikan anak-anaknya, Sutirah juga tak sungkan kerja apa saja. Jika tak musim hujan Sutirah menjadi penambang pasir tradisional di sungai dekat rumahnya. Deras dan dinginnya air sungai tak menciutkan nyalinya. Baginya anak harus tetap sekolah. Â Hasil tak menentu dari menambang pasir, Sutirah tak putus asa. Ia menyadari tenaganya tak sekuat Sartam tetangganya. Dirinya kalah berebut dengan puluhan pria penambang pasir di kampungnya.Â
Untuk mendapatkan pasir Sutirah harus berendam ke dasar sungai. Setelah keranjangnya penuh baru diangkat ke daratan. Begitu seterusnya hingga berjam-jam dalam air. Sutirah dengan baju basah kuyup dan cucuran keringat di pipinya meninggalkan sungai. Ia ingin istirahat di gubuk miliknya. Di dekat gubuk inilah Sutirah mengumpulkan pasir dengan keranjangnya. Butuh dua atau tiga hari untuk satu truk penuh. Bahkan bisa seminggu jika pasir sedang langka. Tiga ratus ribu pendapatan Sutirah minggu ini.Â
Mendengar kabar daerah hulu ditimpa hujan deras Sutirah memutuskan tak kembali ke sungai. Sutirah khawatir air sungainya tiba-tiba meninggi, banjir. Ia teringat Sarpun tetangganya yang mati terbawa banjir. Langit di atas gubuk mulai menggelap Sutirah putuskan pulang ke rumah lebih awal. Bekal makan siangnya pun dibawa pulang kembali. Gerimis siang itu menemani Sutirah jalan kaki menuju rumahnya yang berjarak satu kilo.
Di rumah, Sutirah sendiri. Anak ketiga dan keempat masih sekolah. Sementara anak pertama dan kedua yang berada di kota terkadang hanya pulang tiga bulan sekali. Â Hujan deras terus mengguyur kampungnya. Di teras rumahnya, Sutirah melepas penat dan lelah. Uang tiga ratus ribu terus dipandangi. Sepertinya Sutirah tak akan menambang lagi. Bukan soal besaran penghasilan yang diperoleh, tapi sungai yang selalu banjir. Bagi penambang seperti dirinya, ia harus bersahabat dengan alam.Â
Langit basah masih menyelimuti rumahnya. Hujan telah reda. Untuk pendidikan anak-anaknya apa Tuhan tidak membantu? Lamunan itu seketika pecah ketika Sutirah mendengar suara sepeda anaknya, Seno. Tak selang lama anak ketiga yakni Ato juga pulang. Seketika rasa capai dan pikiran buntu hilang ditelan kehadiran anak-anaknya.
Selepas maghrib suara katak dan jangkrik mulai bersahutan. Mereka berlomba paduan suara. Ketika kedua anaknya sibuk belajar, Sutirah memutuskan tidur lebih awal. Niatan istirahat lebih awal dari biasanya terganjal kalutnya pikiran. Di kamar sebelah kedua anaknya sudah pulas tertidur. Namun tidak bagi Sutirah, matanya sulit memejam. Â