Mohon tunggu...
Didik Fitrianto
Didik Fitrianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mencintai Laut, Lumpur dan Hujan

Terinspirasi dari kata-kata ini "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jokowi dan Masa Depan Lahan Basah di Indonesia

2 Februari 2015   21:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2015”

Hari ini 44 tahun yang lalu  sejarah mencatat pada tanggal 2 Februari 1971 di kota kecil Ramsar, Iran telah ditandatangani sebuah perjanjian International untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan oleh 18 negara pendiri, dalam perkembangannya konvensi Ramsar sampai saat ini sudah diratifikasi oleh 160 negara termasuk pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden No 48. Pada tanggal 2 Februari 1997 mulai diperingati sebagai hari lahan basah sedunia, sayangnya peringatan hari lahan basah di Indonesia belum begitu populer di masyarakat, hanya kalangan pemerintah, akademisi dan LSM lingkungan yang merayakannya. Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai lahan basah terbesar di dunia (30 juta Hektar) kehidupan masyarakatnya tidak terlepas dari lahan basah baik secara ekologis,budaya, ekonomi dan sosial.

Lahan Basah sesuai konvensi Ramsar adalah “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin;termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut”. Kondisi alam Indonesia yang penuh dengan lahan basah di seluruh wilayahnya menjadikan lahan basah mempunyai peranan sangat penting untuk kesejahteraan dan masa depan rakyatnya. Tema peringatan hari lahan basah sedunia tahun ini adalah “Lahan Basah untuk Masa depan Kita” Peringatan hari lahan basah tersebut bertepatan dengan berjalannya 100 hari pemerintahan baru Jokowi – JK, sehingga sangat relevan dijadikan momentum menagih dan mengingatkan kembali komitmen pemerintahan baru tentang pembangunan di bidang lingkungan. Salah satu agenda besar pemerintahan Jokowi – JK adalah mensejahterakan rakyat dengan pembangunan yang berkiblat pada dunia kemaritiman dan mewujudkan swasembada pangan. Tentunya pembangunan kemaritiman dan kedaulatan pangan erat kaitannya dengan lahan basah.

Negara Maritim dan Lahan Basah

Mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim apalagi sebagai poros maritim dunia tentunya tidak hanya tentang jalur perdagangan, hubungan antar pulau, memiliki angkatan perang di laut yang disegani, pembangunan ratusan pelabuhan, dan pengadaan kapal-kapal besar. Cita –cita sebagai Negara maritim tidak akan terwujud apabila dalam pembangunannya abai terhadap lingkungan misalnya tentang kondisi dan keberadaan lahan basah yang berhubungan dengan dunia maritim. Cakupan lahan basah di kawasan pesisir salah satunya adalah hutan mangrove. Sebelum merealisasikan pembangunan “Negara Maritim” alangkah baiknya pemerintah melihat kondisi lahan basah di kawasan pesisir yang semakin mengkwatirkan dan kritis. Hutan mangrove sebagai salah satu penyangga kehidupan baik ekonomi, ekologis dan social kawasan pesisir mengalami penghancuran secara massif di seluruh wilayah Indonesia baik konversi untuk kawasan industri, pertambakan, pencemaran lingkungan, dan reklamasi pantai. Data tahun 2009 luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 9,6 juta hektar, saat ini tersisa 3,1 juta hektar yang dilindungi. Tingginya laju kerusakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir, tingkat kemiskinan semakin tinggi, kerusakan infastruktur karena abrasi, konflik sosial di masyarakat akibat relokasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Salah satu penyebab lambannya pemerintah dalam  mengurangi laju kerusakan hutan mangrove adalah adanya tumpah tindih kewenangan antar kementrian. Kementrian Kelautan dan Perikanan merasa memiliki hak pengelolaan karena dalam UU Pengelolaan Kawasan Pesisir hutan mangrove masuk dalam wilayah pesisir yaitu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sementara di kementrian kehutanan, dalam UU Kehutanan hutan mangrove merupakan ekosistem yang didominasi oleh pepohonan. Akibat tumpang tindih tersebut pengelolaan mangrove menjadi tidak efektif dan menghabiskan  anggaran di dua kemetrian tersebut, selain itu adanya UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang didalamnya terdapat kewenangan untuk mengelolah sumberdaya alam (hutan mangrove) menjadikan pengelolaan mangrove semakin amburadul. Salah satu kewenangan yang sering disalah gunakan oleh pemerintah Daerah adalah kewenangan teknis yang di dalamnya mengatur kebijakan berupa izin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sumber daya alam di daerah. Dampak dari kewenangan tersebut adalah banyak Pemerintah Daerah mengeluarkan izin kepada perusahaan-perusahaan untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi kawasan industri seperti perkebunan kelapa sawit, tambak, dan pemukiman. Kasus di Sumatra Utara dan Kalimantan Timur adalah contoh nyata keterlibatan pemerintah daerah ikut andil dalam penghancuran ratusan ribu hektar hutan mangrove atas nama pembangunan ekonomi.

Kebijakan Presiden Jokowi menggabungan kementrian kehutanan dan lingkungan hidup dalam satu kementerian diharapkan bisa mengurangi tumpang tindih dalam pengelolaan hutan mangrove selama ini. Langkah lain yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah mengambil alih penyelamatan hutan mangrove di Indonesia dengan membuat kebijakan pengelolaan di satu lembaga pengelola. Apabila Presiden Jokowi melakukan pembiaran terhadap perusakan hutan mangrove sama saja beliau mengubur cita-citanya mewujudkan Negara Maritim karena ekosistem ini mempunyai peranan penting bagi keberlanjutan ekonomi dan ekologi kawasan pesisir. Selain itu konektivitas pembangunan ekonomi poros maritim diimpikan juga akan terganggu, menurut pakar ahli konservasi kelautan Rony Megawanto  bahwa konsep konektivitas tidak hanya dalam konteks pembangunan ekonomi tetapi juga dalam konteks lingkungan yang disebut dengan konektivitas ekologi (ecological connectivity). Artinya bahwa kualitas ekosistem laut sangat ditentukan oleh kualitas ekosistem daratan.  Kita tidak bisa mengharapkan kualitas lingkungan laut yang baik jika kualitas lingkungan di darat dibiarkan mengalami kerusakan.  Dalam kaitan ini, ekosistem mangrove berada pada posisi sentral konektifitas antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Dengan kondisi tersebut presiden Jokowi dituntut untuk tidak abai dengan kondisi lahan basah yang berada di kawasan pesisir apabila ingin mewujudkan negara maritim.

Swasembada Pangan dan Lahan Basah

Salah satu program yang sedang gencar dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah mewujudkan swasembada pangan, untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran puluhan triliun untuk membangun puluhan bendungan, waduk, saluran irigasi, pemberian traktor, pupuk dan benih secara gratis untuk petani. Mengurangi ketergantungan bahan pangan dari luar negeri dengan program swasembada pangan patut kita dukung, hanya saja dalam membangun infrastruktur pendukung jangan sampai mengabaikan faktor ekologis, social dan ekonomi.

Mewujudkan swasembada pangan akan bersinggungan langsung dengan kawasan  lahan basah, baik yang alami maupun yang buatan.  Untuk itu rencana pembangunan waduk, bendungan, irigasi, dan pencetakan sawah baru oleh pemerintahan Jokowi akan menentukan nasib lahan basah kedepannya. Pakar hidrologi dari UGM Dr. Agus Maryono menyatakan bahwa pembangunan waduk dan bendungan akan berdampak pada punahnya ekosistem flora dan fauna yang masih hidup, kerusakan lanskap dan tanah, perubahan jalur sedimen sepanjang alur sungai, dan perubahan karakteristik banjir yang bisa menyebabkan perubahan habitat flora - fauna sungai. Selain itu dampak lain adalah masalah sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar pembangunan waduk. Pengalaman masa lalu pembangunan bendungan dan waduk penuh dengan intimidasi, penggusuran dan tidak sedikit korban jiwa. Selain kekwatiran akan hilangnya ekosistem lahan basah, pembangunan bendungan, waduk, dan saluran irigasi yang menelan dana ratusan triliun akan menjadi ‘lahan basah’ baru bagi para pejabat korup. Untuk itu partisipasi masyarakat, akademisi dan LSM diperlukan untuk mengawal mega proyek ini.

Sesuai dengan tema peringatan hari lahan basah tahun ini “Lahan Basah untuk Masa Depan Kita”  keberadaan lahan basah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk merawat dan melindunginya. Lahan basah tidak hanya hutan mangrove, sawah, sungai, dan waduk, ada juga padang lamun,terumbu karang, dan gambut. Peran aktif kita diperlukan untuk mengawal komitmen Presiden Jokowi dalam merealisasikan kerja besarnya yakni mewujudkan negara maritim dan swasembada pangan tanpa merusak lingkungan terutama keberadaan lahan basah yang merupakan asset untuk masa depan anak cucu kita. Selamat Hari lahan Basah Sedunia !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun