Mohon tunggu...
Cerpen

Seribu Jempol Untuk Kuliah

25 Mei 2015   12:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seribu Jempol Untuk Kuliah

“Waduh, kok bisa? Jadi yang bayar UAS aja tanpa bayar tunggakan SPP enggak dikasih kartu UAS gitu?”Tanya Eza pada fira yang baru datang dari ruang BAK.

Aku yang mendengar percakapan mereka, dengan cepatnya hatiku beraduh. Tapi berusaha kalem di depan mereka.

“Iya bisa ajalah. Kata pak Yus pihak kampus bukannya tega. Tapi ya itukan udah kewajiban mahasiswa. Yang tega itu mahasiswa apa pihak kampus? Tiap bulan harus nalangin bayar dosen. Mending kalau sebulan dua bulan nunggaknya. Lah ini hampir mau tahunan.. sudah resiko dong, kenapa harus aneh? Kuliah ya berarti punya duit.”Timpal Fira.

Terdiam dan semakin diam aku mendengar obrolan eza dan fira. Fira benar, toh pihak kampus dulu tidak memaksa harus kuliah kesini bukan? Semua keinginan sendiri. Harusnya difikirkan sejak awal. Asumsi nanti juga ada rezekinya tetap harus seiring dengan pendapatan.

“Waduh, tunggakan aku tuh banyak. Sebenarnya uang ada sih. Tapi ko males ya bayar untuk kuliah. Nanti aja kalo udah lulus. Hahaha “ celoteh Rudi

Diam lagi. Tapi dengan lancarnya hatiku berkomentar. Menjadi komentator terbaik sebab tidak ada yang mendengar.

“Kenapa? Alamat penitipan uangnya harus Rudi? Kenapa aku yang benar-benar ingin membayar kuliah tidak dialamatkan?apakah karena bila aku yang diberi amanat itu akan sama pula dengan Rudi atau bahkan lebih parah lagi? Semisal tergoda memborong buku? Atau karena banyak uang tidak bisa memanage dengan benar sehingga membeli apapun tidak terkontrol? Sudahlah tidak baik memikirkan begituan nanti malah aku kufur nikmat.” Diskusiku dalam hati.

“Ah Lu Rud, dari zaman SMA dulu, Lu kayak muka tembok.”Kata Tedi menimpali.

“Tapi toh buktinya pas diakhir, semua lunaskan? Hahaha”Rudi menjawab dengan seenaknya.

“Udahlah yang pentingminggu depan aku ikutan UAS. Soal kartu masa bodo ah.” Kata Rudi enteng.

Andai aku bisa bermuka tembok pula, mungkin dengan entengnya seperti UAS yang sudah-sudah yaitu sebelum mengerjakan soal, aku dipanggil ke ruang BAK. Menulis surat pernyataan. Terakhir pas UAS kemarin aku begitu. Disurat pernyataan aku menulis bulan Mei akan melunasi semuanya. Maka janji adalah janji. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Kanan kiri, depan belakang semua ngobrol. Sepertinya hanya aku yang terdiam.

“Eh, Dosen Akutansi tuh.”Kata Mela pelan.

Barulah suara gaduh berganti dengan hening menatap angka-angka perhitungan.

“PT.Subur yang seharusnya mencatat biaya diskon dikredit.”Kata Aliana pada Sani.

“Eh, bukan ah. PT. Makmur harusnya.”Sani tidak mau kalah dengan menaikan suaranya.

Suara sani yang meninggi, mendapat respon dari pak marsono.

“Kalian kenapa harus ribut-ribut. Didiskusikan, soalnya ditelaah kembali dengan baik.” Ucap pak Marsono, Dosen Akutansi.

“Ini yang duduk di depan kenapa melamun ! Sudah selesai belum?”Pertanyaan itu tertuju padaku.

“Saya Pak?” Dengan ragu aku memastikan.

“Iya Kamu.”

“Sudah Pak.” Jawabku Spontan.

“Apa Catatan di jurnal umum PT. Subur?”

“Karena PT.Subur yang memberi diskon, maka dalam pencatatannya tentu biaya diskon ada dikredit. Tapi pak sebenarnya ya pak, berhitung puluhan juta seperti ini sedangkan dikantong hanya ada lembaran gambar patimura membuat saya bingung sendiri. Dan jujur fikiran saya hanya ada satu, bagaimana caranya membayar uang kuliah.” Tanpa direm, tanpa kesadaran penuh, dengan lancarnya aku bicara lantang.

“Ups...” Ketika aku sadar, aku menutup mulutku dengan telapak tangan.

“Nama kamu siapa?” Tanya tegas pak marsono.

“Nuha pak. Minuha maksudnya.”

“Silahkan keluar dulu. Sepertinya kamu mengantuk.” Perintah Pak Dosen.

“hmmm” aku menarik nafas dan dengan lemas beranjak meninggalkan puing-puing kegundahan.

###

Di kamar. Lembaran putih yang berisi tinta kubolak balik. Buku keuanganku. Aku melihat kembali dengan seksama, barangkali aku yang dzalim terlalu boros sehingga bisa menunggak SPP berbulan-bulan lamanya.

“Ah kurasa tidak boros. Wajar-wajar saja. Cicilan rumah, cicilan kendaraan, SPP adik, bulanan Ibu, Bulanan dapur, listrik, air, kebersihan, keamanan. Tuh kan bahkan tidak ada pengeluaran beli tas, sepatu, baju apalgi perhiasan. Tapi kenapa bisa begini? Apa aku menyepelekan tidak mencicil? Jadi kendalanya dimana sih?” Gumamku.

Lalu aku menjumlah-jumlah. Ternyata antara pemasukan dan pengeluaran amat jauh. Berarti memang harus mencari pemasukan lagi. Tapi kemana? Aku tidak memiliki keterampilan khusus. Pikiranku terus berputar-putar.

“Ah ! Karena waktunya sudah mepet, aku pinjam dulu ke Bu Ani deh.” Dengan semangatnya menyambar Handphone.

Tapi aku urung.

“Malu. Baru juga kemarin lusa aku membayar bekas UAS semester lalu. Dan lagi aku takut menjadi kebiasaan sehingga keenakan lalu tidak mendewasakan diriku dan kurang berusaha.” Kataku menatap cermin alias mengobrol sendiri.

“Waktunya mepet tapi... yahhh jadi galaau daahh.” Teriakku kecil.

Malam dengan hitamnya yang pekat, kututup dengan kegundahan memikirkan hal yang seharusnya dari dulu , dari sejak awal masuk kuliah. Kalau kata syahrini : maju mundur cantik. Kalau kataku : maju mundur GALAU ! Plus dengan memanjatkan do’a untuk hari esok yang lebih baik.

Jalan berdebu membuamembuat suasana makin tidak bersahabat. Dengan terik matahari yang bertengker gagah memancarkan cahayanya. Aku mengipas-ngipaskan tanganku bergaya gerah. Menunggu dijemput di pinggir jalan seperti ini, dengan berlalu lalang orang juga kendaraan, membuatku risih.

Tanpa aku mau, telingaku mendapat sinyal dari percakapan dua orang wanita disebelahku.

“Iya mbak. Jadi cicilannya sangat ringan kalau jangkanya diperpanjang.”Kata salah satu wanita diantanya.

Aku melirik sekilas dengan posisi tubuh tidak berubah.

“Iya saya mau soalnya saya sedang butuh uang secepatnya, kapan cairnya mbak? Wanita satunya lagi merespon dengan agresif.

“Saya survei dulu rumah mbak.”Jawab wanita berkemeja putih.

Panjang lebar mereka berbicara , sampai akhirnya wanita barbaju coklat meninggalkan wanita berkemeja putih. Mereka bersepakat bertemu kembali pada waktu yang ditentukan.

“Sepertinya mbak itu, bank keliling.”Pikirku.

“Apa untuk membayar kuliah,aku pinjam ya?” Tanyaku dalam hati.

“Bruk! Aduh !”Refleks aku mengaduh ketika bola menubruk kepalaku.

Tapi cukup menyadarkankanku, bahwa meminjam dengan bunga-bunga yang melambung alias riba bukanlah solusi untuk masalahku. Malah sepertinya akan mendapat tembahan masalah. Aku menguatkan hati agar tidak tertarik bertanya. Sampai suara klakson jemputan terdengar, aku mengabaikan keinginan bertanya.

Akhirnya minggu UAS, aku tidak mengikuti. Tapi aku bertekad bahwa aku pasti akan menysul. Aku tidak mau putus di tengah jalan tanpa pertanggung jawaban.

Diantara pikiran yang tertuju pada biaya kuliah, aku menemukan info lomba. Lomba menulis, hadiahnya uang. Dengan semangat aku mengikutinya. Berharap ini jalan keluarnya. Dari syarat ketentuan yang ku baca,, bila tidak menjadi juara pun masih ada hadiah untuk 15 orang yang paling banyak dilike tulisannya. Dengan semangat aku menshare tulisanku. Maka menanti seribu jempol untuk kuliah, kurasakan sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun