“Saya mohon pak.. anak-anak saya banyak. Kami mau tinggal dimana?!” teriak seorang ibu histeris. Si bapak yang diajak bicara diam terpaku, bergeming. Tak bicara satu patah katapun. Seolah tak ada yang sedang bicara dengannya. Sementara si ibu terus meraung-raung, memohon dan berlutut di kaki si bapak berseragam dinas. Ibu-ibu yang lainnya sibuk menyelamatkan barang-barang yang masih sempat untuk diselamatkan. Para suami dan kaum pria berjibaku dengan petugas berusaha menghentikan acara penggusuran tanah itu. Suasana begitu kacau balau. Liah dan Tiar memaku seperti patung. Tatapan mereka berdua tertuju pada kerusuhan itu. Namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Kenapa?? Karena mereka masih anak-anak. Tiar jadi ingat kejadian tadi siang saat ia dan Liah berdebat. Perdebatan yang melelahkan tentunya.
***
Siang itu matahari begitu terik. Mengucurkan keringat-keringat para pekerja keras di tengah kepulan asap yang membaur di udara dan rasanya sudah tak layak lagi udara itu masuk ketenggorokan setiap manusia yang tinggal di sana.
Liah dan Tiar dua anak jalanan yang ikut mengais rejeki ditengah keramaian itu memutuskan untuk istirahat sejenak diteras jongko yang tutup. Tangan cungkring mereka mengibas-ngibaskan wajah yang gosong terbakar matahari. Sementara mata cekung mereka sesekali menatap lurus suasana sekitar pasar itu.
Mobil yang berduyun-duyun antri di tengah keramaian manusia. Berebut jalan satu sama lain. Tak peduli dengan hak-hak mereka yang terabaikan. Diburu waktu adalah alasan yang paling banyak diungkapkan oleh mereka yang berkendara. Mereka tega naik ke atas trotoar yang disediakan untuk para pejalan kaki. Menjadikannya jalan pintas atas kemacetan yang semakin parah dari waktu ke waktu. Bunyi klakson yang saling bersahutan menambah ramai suasana yang tadinya sudah sangat ramai. Menjadi, sangat…ramai…sekali… cacian dan makian ditengah deru kendaraan dan di depan umum yang juga berarti di depan anak-anak serta para pelajar agaknya sudah bukan hal yang tabu lagi. Siapa yang harus bertanggung jawab??
“Ya pemerintah lah..” ujar seorang anak laki-laki kumel yang membawa peralatan sol sepatu kemana pun ia pergi. Kata-katanya begitu berapi-api seolah dunia ada digenggamannya.
“Menurutku bukan begitu Liah,” potong si anak laki-laki yang satunya. Dengan penampilan yang sama seperti anak laki-laki tadi yang dipanggil Liah.
“Memang menurutmu apa, siapa??” Tanya Liah dengan tatapan sinis seolah meremehkan. Tiar, si anak laki-laki satunya lagi hanya bisa menarik nafas panjang, menyapu keringat yang turun lewat dahinya yang hitam terbakar matahari. Tubuh kurus dan regkuh itu menggoyang-goyangkan kotak kayu yang selalu ia bawa kemana-mana dengan tatapan yang kuyu.
“Jawab Tiar!! Memang selain kesalahan pemerintah, lalu kesalahan siapa?!” Liah kembali bertanya dengan suara yang lebih tinggi. Dan lagi-lagi Tiar tak menjawab. Tiar malah beranjak dari duduknya dan berjalan perlahan ketengah keramaian manusia yang lalu lalang. Liah benar-benar jengkel dibuatnya. Mereka pun kembali berpencar untuk mencari sekeping dua keping koin yang bisa mereka ais dari kotak-kotak kayu yang mereka bawa.
Suasana yang begitu ricuh, menenggelamkan semua aktivitas kota beserta pernak-perniknya. Begitu cepat dan begitu melelahkan. Dan kedua anak itu pun, Liah dan Tiar. Bergumul di tengah kerasnya hidup yang menghimpit setiap jiwa. Mereka menanggung beban yang seharusnya belum mereka tanggung untuk saat ini. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun lagi.
“Liah!! Liah!! Kemari!!” seru Tiar dari seberang toko. Liah langsung menengok suara yang memanggilnya begitu keras dan lantang.
“Ada apa?!” jawab Liah tak kalah keras dan lantang. Tiar hanya melambai-lambaikan tangan dengan semangat, mengangkat-ngangkat kotak yang tergantung di lehernya yang ramping. Melihat itu Liah mengerti apa yang Tiar maksud.
“Aku ke sana!!” seru Liah dengan semangat. Liah berlari sekencang mungkin dan segera berada di hadapan Tiar.
“Kita dapat rejeki lebih, hari ini..” kata Tiar antusias. “Di warung sana ada bapak-bapak berjas yang minta disolkan sepatunya. Lumayan ada sekitar lima orang!” lanjut Tiar semangat. Liah tak bisa menahan matanya yang berbinar-binar cerah. Secerah matahari diubun-ubun mereka.
“Syukurlah.. kalau begitu ayo cepat, jangan sampai mereka menunggu!!” Liah berujar semakin semangat. Menjemput rejeki yang sudah di depan mata.
***
Matahari sudah condong ke barat. Liah dan Tiar memutuskan untuk pulang karena malamnya mereka harus sekolah. Beberapa saat suasana menjadi hening. Tak ada percakapan diantara keduanya. Mereka sama-sama membisu. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Kini mereka sudah melewati tiga tikungan. Dan yang mereka hafal dari rute rumah mereka adalah tujuh tikungan dan satu turunan. Turunan yang tidak terlalu curam. Hanya sekitar empat puluh lima derajat saja.
“Tiar, kau belum menjawab pertanyaanku..” Liah memecah kesunyian.
“Pertanyaan yang mana??” Tanya Tiar yang sedikit bingung. Liah sepertinya menimbang-nimbang pertanyaan selanjutnya yang akan ia ajukan.
“Tentang yang tadi. Apa maksudmu dengan ‘menurutku bukan begitu’??” Tiar terdiam mendengar pertanyaan Liah. Ia mengerutkan keningnya seolah sedang berpikir keras.
“Ya, aku kira mmh maksudku aku pikir bukan itu akar permasalahannya.” Tiar mulai menjawab.
“Lalu?!”
“Aku hanya berpikir dan mengamati keadaan di sekitarku. Seperti kenapa para pejalan kaki turun keruas jalan sehingga mengganggu ketertiban para pengendara? Karena trotoar alias jalan untuk pejalan kaki dipenuhi para pedagang kaki lima. Lalu, kenapa para pedagang kaki lima malah berjualan di trotoar? Karena tak ada lahan khusus yang tersedia untuk mereka berjualan. Lantas, kenapa bisa tak tersedia lahan untuk berjualan? Karena dana untuk membangun lahan telah banyak di korupsi. Dan kenapa banyak kasus korupsi yang terjadi di negeri Indonesia ini? Karena kita kurang cerdas dalam memilih pemimpin. Kita mudah tergiur dengan janji-janji yang kasat mata. Tidak peka melihat orang-orang disekeling kita yang lebih kompeten dan lebih ahli dalam memimpin. Kita ringan menerima suap-suap yang diberikan caleg kepada kita agar kita memilih dia. Padahal dia bukan ahli dalam bidangnya. Bukankah menyerahkan tugas kepada yang bukan ahlinya sama saja dengan menunggu kehancuran diri sendiri, bangsa dan juga Negara. Bukankah semua akar permasalahan itu ada pada diri kita sendiri?? Bukan begitu Liah??” kata Tiar mengakhiri argument panjangnya. Giliran Liah yang diam membisu. Tiar tak berniat memaksakan jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Karena tak berharap sebuah jawaban verbal, tapi sebuah bukti nyata.
“Aku.. aku tak mengerti dan tak tahu kenapa kau bisa memiliki jalan pikiran seperti itu. Padahal sudah jelas-jelas ini SALAH PEMERINTAH YANG RAKUS ITU. Sehingga kita harus melilit perut kita karena kelaparan. Sementara mereka melonggarkan sabuk celana mereka karena perut yang terus membuncit. Ini salah mereka karena mereka terlalu ingin menjadi pemimpin sehingga memaksa kita rakyat biasa untuk memilih mereka dengan segala cara termasuk dengan uang!!” muka Liah memanas. Kulit wajahnya terlihat semakin memerah.
“Kau salah mengerti Liah..”
“Tidak!!”
“Kita seharusnya berpikir secara jernih..”
“Aku tahu!!” gigi Liah terus bergerutuk menahan emosi. Tubuhnya yang tinggi besar naik turun mengikuti irama nafasnya yang tersenggal-senggal. Emosinya benar-benar naik.
“Jika kita menginginkan suatu perubahan besar, maka kita harus memulainya dari hal-hal yang kecil. Mulai dari diri kita sendiri..” Tiar tetap berujar dengan tenang dan pikiran yang jernih.
“Berisik kau Tiar. Memangnya berapa usiamu, sehingga kau bisa menasehati orang yang lebih tua darimu?!” geram Liah.
“Usia tak bisa mendewasakan seseorang tapi pengetahuanlah yang mendewasakan usia. Bijak bukanlah milik mereka yang berusia tua tapi bijak dimiliki oleh mereka yang mau berguru pada pengalaman. Begitu juga kita Liah..” Liah tak kuasa menahan emosi. Ia mendorong Tiar kearah tembok dan mendesaknya. Hampir saja kepalan tangannya yang besar mengenai wajah Tiar yang mungil. Sebelum akhirnya Liah dihentikan oleh seorang kakek tua yang memanggul berkarung-karung beras.
“Hentikan!! Daripada kalian berkelahi seperti itu, lebih baik kalian lihat rumah kalian di sana!!” sang kakek kembali meneruskan perjalanannya. Sementara Liah dan Tiar hanya bisa termangu tak mengerti. Keduannya saling bertatapan. Tanpa menunggu lama mereka lantas berlari kearah rumah mereka. Dan ternyata..
lamunan Tiar seketika buyar, saat seorang laki-laki berpakaian kumuh terus-menerus memanggil namanya. Liah masih berada disampingnya tak bergeming. Kerusuhan masih terus terjadi.
“Hentikan!! Aku mohon pak.. anak-anakku banyak. Kami mau tinggal dimana??” seorang ibu masih saja histeris. Sekali lagi, Liah dan Tiar tak bisa berbuat apa-apa. Karena mereka masih anak-anak. Mereka diam bukan karena mereka tak punya suara. Tapi mereka diam karena tak punya kesempatan untuk bicara. Tak ada orang dewasa yang mau mendengar suara mereka. Bukan, bukan tak mau. Tapi tak sudi. Mereka terlalu gengsi untuk sekedar mendengar pendapat seorang anak yang sebenarnya lebih cerdas dan lebih jernih pikirannya. Tapi apa mau dikata. Inilah keadaannya. Beginilah situasi dan kondisinya. Tak ada yang mau berpihak pada kedua anak cerdas yang berbeda watak. Liah dan Tiar.
“Lihatlah apa yang dilakukan pemerintah yang kau puji dan kau puja Tiar..” desis Liah ditengah huru hara itu.
“Aku tidak memuji dan memuja mereka Liah. Aku hanya percaya bahwa masih ada pemerintah yang patut dijadikan pemimpin.” Tiar mencoba berdiplomasi.
“Terserah apa katamu. Aku tetap pada pendirianku.” Liah mundur satu langkah menghindari amuk masa yang semakin tak terkendali. Para petugas pun tak diam saja menanggapi amuk masa itu. Tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh keluar dari kerumunan dan mendekati Tiar.
“Tiar.. ibumu Tiar.. ibumu tertimbun bangunan..!” Liah dan Tiar saling berpandangan. Tanpa menunggu Liah, Tiar langsung berlari mengikuti langkah laki-laki setengah baya itu. Mereka berdesak-desakan memasuki kerumunan masa yang tengah mengamuk. Tiar terus mencari celah.
“Ibuu!!!” teriak Tiar memilukan.
“Lihat Tiar inilah perlakuan pemerintah yang terus kau bela.. aku sangat muak. Lebih baik aku pergi.” Liah pergi tanpa melihat Tiar lagi. Beberapa saat setelah Liah pergi, segerombolah mobil petugas tiba. Seorang laki-laki berdasi turun dari mobil. Amukan masa itu tiba-tiba saja berhenti.
“Maaf ibu-ibu dan bapak-bapak, saya Rusdianto Ananta selaku wali kota di sini. Kami jajaran pemerintahan kota ini memiliki program untuk pembangunan objek wisata. Sehubungan dengan hal tersebut, kami dengan terpaksa harus menggusur pemukiman yang ada di atas lahan pemerintahan ini. Namun sebagai gantinya, kami akan memindahkan penduduk di pemukiman ini ke rumah susun yang baru saja kami sah kan. Juga tanah lapang seluas lima hektar untuk bapak-bapak dan ibu-ibu manfaatkan sebagai lahan untuk membuka usaha bersama pedagang kaki lima lainnya yang telah tergusur. Sebagai kompensasi, kami membebaskan uang sewa rumah susun tersebut selama dua bulan untuk ibu-ibu dan bapak-bapak yang tergusur rumahnya. Sekian dan terima kasih. Mudah-mudahan bapak-bapak dan ibu-ibu di sini bisa memahami maksud baik kami selaku pemerintah untuk penertiban daerah. Permisi.” Pak wali kota mengakhiri pidato singkatnya dan langsung naik ke mobil. Bagai disapu angin, deretan mobil yang panjang tadi langsung hilang tanpa jejak yang pasti.
Sementara itu para warga kembali tenang dan kini membantu petugas membersihkan puing-puing bangunan yang sudah roboh. Mereka tenang karena pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya. Suasana yang tadinya riuh kembali tenang dan damai. Petugas dan warga saling berjabat tangan dan meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi tadi. Dengan senyum terulas mereka bergotong royong tanpa pamrih.
“Nak, kami akan menguburkan ibumu dengan layak. Dan pak Rusdianto pun selaku wali kota merekomendasikanmu untuk mendapatkan beasiswa di sekolah terbaik kota ini.” Kata sorang bapak-bapak yang mengaku sebagai sekertaris pak wali kota. Dengan senyum lebar, Tiar meraih tangan bapak itu dan menciumnya.
“Terima kasih, pak.”
***
Bertahun-tahun telah berlalu. Liah tak pernah terlihat lagi. Kini Tiar telah dewasa dan ia menjadi salah satu staf di jajaran pemerintahan di kotanya. Namun kebahagiaan Tiar tak pernah lengkap karena orang yang telah dianggapnya sahabat pergi begitu saja membawa amarah yang tak sempat tersalurkan. Padahal Tiar ingin Liah tahu bahwa kini kotanya telah jauh berbeda. Semua orang sepakat untuk memulai segalanya dari diri sendiri.
“Liah ini kota kita.. aku harap kau mau kembali dan ikut melakukan perubahan bersama kami di sini..” bisik Tiar. Angin berhembus segar. Tiar berharap angin dapat membawa pesan darinya untuk Liah.
(Padalarang, 24 juni 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H