Sejujurnya saya baru tahu istilah ini saat saya posting di sebuah group FB, tentangsurat terbuka Laire Siwi Mentari, putri Sitok Srengenge tentang dukungannnya pada sang ayah yang tengah dihujat karena pelecehan seksual terhadap beberapa wanita, dan salah satunya dikabarkan hamil dan tengah mengalami depresi berat.
Surat tersebut bisa di baca di http://lairesiwi.wordpress.com/2013/11/30/surat-terbuka/
Saya tak mau turut campur permasalahan keluarga Sitok Srengenge. Tapi saya kagum pada Laire yang memiliki pengendalian emosi juga keluasan hati yang luar biasa. Sungguh tak mudah mendampingi orang yang sudah dihujat public, terlebih penghujatan itu adalah pengkhianatan orang yang kita cintai terhadap diri kita.
Lalu, seorang teman menanggapi postingan saya dan mempertanyakan dimana keluarbiasaannya. Ia membandingkan dengan counter surat terbuka untuk Laire, seperti yang bisa anda baca disini : http://www.gurudanpenulis.com/8surat-terbuka-untuk-laire-siwi-laire-sayang-kamu-tahu-lsquosacred-angerrsquo-nggarsquo.html
Counter surat ini lebih mencenggangkan saya. Ungkapan dan gaya tuturnya begitu jujur dan manusiawi. Dalam surat itu Meicky, sang penulis menyebut tentang “SACRED ANGER”, suatu kemarahan yang muncul karena adanya ketidak beresan.
Istilah itu menggelitik saya untuk mencari tahu makna yang sebenarnya dari sacred anger. Cukup sulit menemukan, dan akhirnya saya dapatkan definisinya dari Ariel Ky, seorang guru bahasa Inggris yang mendefinisikan Sacred Anger sbb :
“Sacred anger wells from the deepest places in our souls that cry out against that's really wrong in our world : discrimination, separation, division, judgment, oppression, exploitation.”
Dalam surat terbuka Meicky untuk Laire, ia meminta Laire menujukkan bahwa ia terluka atas tingkahlaku ayahnya, tetapi juga akan tetap mendampingi bukan menutup-nutupi atau membela kesalahan sang ayah.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ariel Ky :
“Still, there is a place when our anger is sacred, it is so right and it is so necessary for our very survival to express that anger, that rage, that outrage against very real injustice and living conditions and relationships that aren't right, that don't support or sustain us.”
Surat Meicky saya baca berkali-kali. Saya tercenung. Sebagai orang Jawa saya diajari tidak mengumbar amarah secara blak-blakan, terlebih pada orang tua. Tidak sopan! Tetapi surat Meicky membuka mata saya bahwa marah itu perlu, tapi respek itu tetap mutlak. Menyimpan kemarahan, menutupinya seolah semua baik-baik saja tidak menyelesaikan masalah. Terlebih tidak memberikan efek jera pada pelakunya.
Meicky benar. Yesus saja marah karena Bait Allah dipakai untuk berjualan. Nabi Muhammad marah kepada Ibn Al-Lutbiyyah seorang pemungut pajak yang merima suap.Dan yang sekarang sedang menjadi primadona : Jokowi-Ahok marah melihat keridak beresan di jajaran pemerintahannya.
Marah yang proporsional itu sehat, menurut Ariel Ky.
“Sacred anger is a healthy expression of our deepest discontent. Sacred anger moves mountains, it moves women out of marriages that have become untenable, it moves people out on the streets to overthrow dictators. “
Ah, ternyata marah juga punya daya konstruktif jika diungkapkan dengan cara yang tepat.
Hmmmm….I know, anger can be beautiful.
Semarang 06 Desember 2013
Mempertanyakan pada diri sendiri keuntungan menyimpan rapat kemarahan-kemarahan di hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H