Mohon tunggu...
Mas Hartoko
Mas Hartoko Mohon Tunggu... -

Saya bukan siapa-siapa, namun suka akan dunia tulis-menulis dan diskusi/kajian keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ghiroh Ngaji Sepanjang Usia

7 April 2014   20:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subhanalloh. Udara cukup sejuk ketika saya memasuki gerbang masjid Al Falah, Jln Darmo, Surabaya. Kondisinya berbeda dibanding ketika dalam perjalanan dari rumah hingga masjid di seberang Kebun Binatang Surabaya (KBS) ini. Jarum jam masih menujuk angka 08.30 WIB ketika saya memasuki teras masjid, sebelum menuju tempat wudlu.

Sejak di perjalanan dari rumah saya di Kebomas, Gresik, sudah saya niatkan untuk bisa sholat Duha di masjid ini. Entah, kerinduan saya terhadap masjid ini tiba-tiba menyembul begitu kuat. Saya rindu dengan masjid ini, karena sudah sekitar dua tahun saya tidak “sowan", meski hanya sekadar sholat Tahiyatul Masjid. Saya jadi ingat saat-saat kuliah di IKIP Surabaya tahun 1986-1990. Dalam rentang waktu tersebut saya suka dengan masjid yang luas dan selalu sejuk ini. Selain untuk sholat, saya kerap mengikuti forum-forum kajian dan diskusi ke-Islam-an.

Dan, kerinduan ini akhirnya terbayar dalam perjalanan menuju hotel Novotel untuk mengikuti Dialog Pendidikan: Implementasi Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional (UN) 2014. Kamis (3/4/2014) pagi saya menghadiri undangan seorang sahabat yang kebetulan staf khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Ir Sukemi, MA. Mas Kemi, demikian saya biasa menyapanya, adalah kolega saya ketika sama-sama aktif  di Harian Sore Surabaya Post, hingga koran yang sempat menjadi yang terbesar di Surabaya ini, dilikuidasi 2002 silam. Beberapa sahabat alumni IKIP Surabaya (sekarang Unesa) juga saya ajak --sesuai pesan Mas Kemi--, di antaranya Prof Dr Lies Amin Lestari, Much. Khoiri (dosen dan pendiri Jaringan Literasi Indonesia/Jalindo), Hariani Susanti (guru SMPN di Bojonegoro), Dina Hanif Mufidah (SMP Muhammadiyah 12 Gresik) dan pegiat literasi Eko Prasetyo, dan beberapa lainnya.

Ghiroh Mengaji
Begitu menapaki teras depan (sisi timur), saya mendapati sekelompok ibu yang duduk melingkar. Jumlah mereka delapan orang dan didampingi seorang ustad. Dengan meja lipat berukuran sekitar 30 x 40 cm, masing-masing menyimak Al Quran ketika seorang di antara mereka membaca dan menerjemahkan kitab suci ini, kata demi kata. Ini dilakukan secara bergantian. Seorang membaca, lainnya menyimak. Begitu seterusnya hingga semuanya kebagian membaca.

Saya meneruskan langkah memasuki masjid dan bermaksud sholat Tahiyatul Masjid dan Dhuha. Begitu melewati pintu masuk, mata saya terbelalak dan takjub menyaksikan pemandangan di ruang masjid yang di dalamnya sama sekali tidak ada pilarnya itu. Betapa tidak. Di dalam masjid ini hampir dipenuhi hamba-hamba Alloh yang ghiroh belajar Al Qurannya sungguh luar biasa. Saya katakan luar biasa, karena sebagian besar mereka ada para ibu dan bapak yang usianya sudah tergolong sepuh.

Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok, yang masing-masing terdiri atas empat hingga 10 orang. Tiap kelompok duduk bersimpuh membentuk lingkaran dan didampingi seorang ustad. Macam-macam program yang mereka ikuti. Ada yang mulai belajar membaca dengan mahroj yang benar di bawah bimbingan ustad yang semuanya pria. Ada yang mengaji dan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hingga ada yang belajar terjemah Al Quran beserta tafsirnya. Kontan saja, dalam masjid itu terdengar mbrengengeng seperti suara tawon yang berkejar-kejaran.

Saya ambil shof paling depan untuk menunaikan sholat Tahiyaul Masjid dan Dhuha. Dari kelompok terdekat dengan saya jaraknya hanya tiga meteran. Usai sholat, pandangan kembali saya lempar ke segala penjuru ruang masjid. Saya amati, mereka sangat hidmat mengaji. Saya menangkap kesan, ghiroh untuk belajar Al Quran benar-benar mewarnai hati, pikiran, dan amaliyah mereka. Subhanalloh, mereka yang rata-rata sudah sepuh masih begitu semangat untuk belajar dan memelajari kitab suci mereka. Benar kata bijak: belajar tidak mengenal usia dan tidak ada istilah terlambat. Dan, merekalah buktinya. Sungguh saya jadi malu dan tertampar, karena saya yang lebih muda justru tidak sesemangat mereka dalam belajar dan mendalami kandungan Al Quran.

Ingatan saya lalu melambung ke masa-masa remaja saya ketika di kampung halaman. Di desa kelahiran saya, Lebaniwaras, Kec. Wringinanom, Gresik, bersama beberapa jamaah masjid Al Huda, saya suka memfasilitasi pengajian, baik untuk kelompok remaja, bapak-bapak, maupun ibu-ibu. Semangat belajar Al Quran dan sumber-sumber lain begitu menggelora. Kami juga mengadakan pengajian keliling dari rumah ke rumah jamaah di desa kami. Semangat yang kurang lebih sama kini saya temui di masjid Al Falah Surabaya ini.

Secara perlahan saya melangkah hendak meninggalkan masjid Al Falah. Ternyata para pemburu risalah illahi tidak hanya bertebaran di teras dan di dalam masjid. Menjelang pintu keluar, saya amati beberapa ruang tertutup (tapi pintu dan jendela krepyaknya terbuka) juga penuh para pembelajar. Berbeda dengan yang di teras dan dalam ruang masjid, mereka sepertinya tengah mengikuti kajian hadis yang membahas topik khusus. Saya tidak tahu betul apa nama kitab yang sedang mereka kaji, tetapi secara sekilas sayup-sayup terdengar, sepertinya kitab Bulughul Marom atau Riyadussholihin.

Tepat pukul 09.10 WIB saya tinggalkan masjid Al Falah dengan satu kesan yang mendalam: betapa semangat belajar para ibu dan bapak yang sudah sepuh-sepuh itu sangat membara. Seperti bara yang menganga dan tak pernah mati.

Surabaya, 3 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun