Mohon tunggu...
Agus Joko Prasetyo
Agus Joko Prasetyo Mohon Tunggu... Guru -

Sang Pelajar Desa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibuku Berutang Demi Jam Tangan Untukku

22 Desember 2014   22:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cerita tentang kasih sayang seorang ibu, sebuah cerita yang tak pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Sebuah cerita yang terjadi kala aku masih kecil, cerita tentang ibuku. Aku tulis ini sebagai rasa terima kasih kepada semua ibu yang telah begitu menyayangi anak-anak mereka, terutama ibuku.

Waktu aku kecil seusia SD, mungkin aku adalah seorang anak yang paling tak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sosok ayah, digantikan oleh ibuku. Ibuku merangkap menjadi seorang ayah, dia bekerja keras demi anaknya yang masih kecil-kecil. Terutama adalah aku, anaknya yang paling bungsu.  Waktu kecil aku melihat teman-teman sepermainanku mereka seringkali diberikan mainan oleh ayah-ayah mereka. Rasanya aku iri sekali dengan mereka. Lagi-lagi aku berfikir “kenapa dan kenapa ? aku tak bisa seperti mereka?”. Ingin sekali aku meminta kepada ibuku, ah namun hanya aku urungkan saja. Hal itu nantinya malah menjadi beban untuk ibuku.

Sewaktu kecil, aneka mainan itu seperti musiman saja. Kadang ada mainin ini, kadang ada mainan itu yang ramai di mainkan oleh teman-temanku. Kala itu, sedang musim memakai jam tangan. Mungkin itu sudah tak disebut mainan, namun sudah termasuk aksesoris tubuh. Namun yang namanya anak kecil, apapun bisa jadi mainan. Dengan jam tangan itu, mereka bergaya layaknya bintang-bintang “Power Rangers”. Bertingkah seolah-olah jam tangan mereka mempunyai kekuatan. Sering kali mereka beradu lampu-lampu yang ada di jam mereka, atau berdebat mempermaslahkan hitungan detik yang berbeda di jam mereka. Bagi orang dewasa mungkin itu bukanlah suatu yang sangat penting. Awalnya kala itu aku tak memiliki jam tangan, hanya bisa melihat mereka memainkanya kesana kemari. Rasanya pun ingin sekali memiliki seperti yang temanku punya. Namun minta kepada siapa aku pun berfikir kembali.

Ibuku memperhatikanku, ia melihatku bermain dengan teman-temanku.  Dari itu terlihat putra terkecilnya tak mempunyai apa yang teman-temannya mainkan, sebuah jam tangan. Terlihat sedih raut muka ibuku. Ternyata ibuku tahu perasaan yang aku rasa, mengetahui apa isi hati yang aku inginkan. Pada suatu hari tiba-tiba sebuah jam tangan diberikan kepadaku oleh ibuku, sungguh sennang sekali waktu itu. Aku tak tahu dari mana uang yang didapat ibuku untuk membeelikanku sebuah jam tangan. Aku pun tak sempat bertanya-tanya, seketika aku justru langsung bermain bersama teman-temanku dengan jam tangan mereka. Pasti kala itu ibuku sangat senang, kala melihat anak bungunya itu wajahnya sangat ceria berlari-lari dengan jam tangan barunya.

Suatu hari aku baru menyadari dari mana ibuku mendapatkan uang untuk membelikan jam tangan itu padaku. Ibuku, ternyata berhutang uang kepada tetanggaku. Aku tak menyangka ibuku rela berhutang, demi jam tangan untukku. Jam tangan yang kutahu harganya yang masih kuingat saat itu seharga sepuluh ribu, ibu. Padahal kala itu untuk memenuhi kebutuhan saja susah. Namun demi sebuah senyum seorang anak bungunya, ibuku rela berhutang. Ternyata bagi seorang ibu, senyum ceria anaknya itulah yang sangat ia harapkan. Ia rela berhutang, rela tak makan bahkan rela membanting tulang agar anak-anaknya bisa tersenyum.

Banyak peristiwa lain yang hampir sama tentang pengorbanan ibuku untukku. Mungkin juga ibu dari kalian semua juga melakukan hal sama. Ibu kalian, pasti telah banyak berjuang demi senyum kalian. Setiap ibu pastilah melakukannya, hanya mungkin sekarang kita itu ada yang tidak tahu seperti apa saja pengorbanan yang mereka lakukan. Coba renungkanlah, coba bayangkan masa kecilmu. Pastilah engkau akan temukan hal yang dulu kau anggap kecil, namun sebenarnya itu adalah suatu pengorbanan besar yang telah ibumu lakukan. Perjuangan dan perngorbanan yang ibumu lakukan demi kebahagiaanmu. Namun Sedikit dari kita yang mau menyadarinya, karena kita yang tak mau tahu tentang hal itu. Karena ibu kita pun tak semuanya mau bercerita tentang pengorbanannya. Bahkan mereka cenderung menutupi pengorbanan itu, supaya kita tak terbebani untuk mebalasnya katanya. Karena ibu kita memang melakukukan itu dengan ikhlas, tulus untuk kebahagiaan kita.

Kawan, sudahkah engkau membuat ibumu tersenyum? atau sudahkah engkau membuatnya meneteskan air mata karena  keberhasilanmu atau membuatnya terharu karena ia bangga terhadapmu. Maka, mari buat ia tersenyum. Mari gapai cita-citamu, buatlah ia bangga. Walau hal itu tak bisa membayar semua pengorbanannya, karena sampai kapanpun kita tak akan bisa membalasa jasa dan kasih sayangnya yang begitu besar pada kita. Setidaknya kita selalu berusaha untuk membuat ibu kita tersenyum bangga karena telah memiliki anak seperti kita. Kawan, jangan lupa, selalu sertakanlah namanya dalam setiap doamu. Selamat hari ibu, buat para ibu. Selamat membahagiakan, semangat selalu buat calon ibu. Serta selamat menjadi yang terbaik, bagi para pendamping calon ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun