Mohon tunggu...
Marsella Retno Asih
Marsella Retno Asih Mohon Tunggu... -

\r\nmy email: \r\nberuang_batmen@yahoo.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perempuan dalam Dialog Agama di Indonesia

5 Agustus 2011   06:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebagai sebuah negara yang multikultural, Indonesia butuh wadah dialog antara penghuninya, termasuk didalamnya perempuan dalam Dialog Agama. Dimanakah perempuan berada tatkala upaya dialog ala Orde Baru itu dilakukan? Menurut Lies Marcoes Natsir, karena dialog agama dalam format Orde Baru adalah dialog yang bernuansa politik, berlangsung di ruang publik dan dilakukan pemuka agama, maka dalam format seperti itu, hanya sedikit sekali perempuan yang secara formal dianggap terlibat dan atau dianggap punya peran dalam dialog antar agama, untuk tidak menyatakan tidak ada sama sekali.

Sejauh ini, menurut Lies Marqoes, kalangan perempuan yang biasa disebut sebagai orang yang menekuni isu dialog antar iman adalah: Ibu Gedong Oka (Hindu Bali), Musda Mulia, Sinta Nuriyah dan Farha Ciciek (Islam), Marianne Kattopo, Sylvana, Lies Marantika dan Elga Sarapung (Protestan), Nunuk P Murniati (Katolik) dan Parwati Supangkat (Budha). Sebaliknya, dari pengalaman kaum perempuan yang bergabung dalam forum-forum dialog yang bersifat informal, dalam 10 tahun terakhir ini mereka bekerja melalui LSM Perempuan maupun organisasi perempuan berbasis keagamaan. Mereka dengan dimotori Komisi Nasional Hak Asasi Kaum Perempuan (KOMNAS Perempuan) menyelenggarakan berbagai workshop dan seminar tentang itu.

Bahkan ketika pelaksanaan dialog secara sepihak telah diokupasi negara melalui kegiatan Departemen Agama, menurut Lies Marcoes, beberapa forum dialog yang lebih genuine dan tanpa campur tangan negara telah diselenggarakan. Beberapa diantaranya bahkan kemudian membentuk lembaga, baik berupa forum atau LSM. Dua diantaranya adalah DIAN Interfide dan MADIA.

DIAN/Interfide didirikan di Yogyakarta tahun 1992. Motor dari lembaga ini adalah Th Sumarthana (Protestan), Farid Wajidi, Khairus Salim, Ahmad Suaedy (Islam), St Sunardi (Katolik). Dua perempuan yang danggap sebagai penggerak diskusi isu-isu perempuan dan agama di lembaga ini adalah Farha Ciciek (Islam) dan Elga Sarapung (Protestan).

Sementara itu di Jakarta lembaga serupa lahir beberapa tahun sebelum masyarakat luas merasakan bahwa dialog antar agama merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Kelahiran MADIA, menurut Lies Marcoes, sebagai forum untuk dialog antar agama tak dapat dipisahkan dari keberadaan Paramadina. Paramadina adalah sebuah lembaga kajian agama dan kebudayaan yang dimotori oleh Nurcholish Madjid yang menyelenggarakan kegiatan paket-paket kursus agama. Pesertanya tidak selalu dating dari kalangan Muslim. Diantara mereka , banyak yang merasakan adanya kegelisahan diantara mereka sendiri atas kemacetan dialog sejati antar agama di tingkat masyarakat.

Untuk itu mereka kemudian mengadakan forum-forum diskusi dengan terlebih dahulu membuat wadah secara formal, yaitu MADIA atau Masyarakat Dialog Antar Agama. Lembaga ini secara formal didirikan di Jakarta pada tahun 1994. Selain Amanda Soeharnoko—yang sampai saat ini merupakan pendiri sekaligus Ketua MADIA—beberapa kalangan muda dari latar belakang agama yang berbeda terlibat didalamnya, antara lain Budi Munawar Rahman, Djohan Effendi, Ulil Abshar Abdalla dan Lies Marcoes Natsir (Islam), Trisno Sutrisno, Sylvana, Martin Manurung (Protestan), Romo Ismantoro, Romo Muji Sutrisno (Katholik).

Salah satu cirri dari kelompok-kelompok ini adalah mereka bekerja secara non structural di luar lembaga negara atau lembaga bentukan negara. Sementara dialog dilakukan jauh dari formalitas dengan terlebih dahulu memahami atas adanya keberbedaan serta kesediaan saling membuka diri bukan hanya menyangkut pergaulan dan dialog social, melainkan juga menyangkut pengayaan pengalaman religiusitas yang sifatnya sangat subjective.

Namun sebegitu jauh, gagasan menggali pengalaman perempuan sebagai pelaku dialog baru benar-benar muncul ketika proses dialog yang selama ini diambil negara benar-benar macet. Seluruh bangunan dialog yang sebelumnya berdiri megah sekonyong-konyong ambruk karena sebenarnya ia dibangun di atas fondasi yang rapuh, dimana dialog tak pernah benar-benar terjadi.

Di level Nasional, menurut Lies Marcoes, patut dicatat sebagai momentum pendobrak kebekuan dialog antar agama yang dilakukan kalangan perempuan dimulai oleh kegiatan Seruni (Seruan Perempuan Antar Iman). Seruni muncul dengan mengambil momentum peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Oktober 1998. Kemudian muncul Gerakan Pita Hijau di tengah konflik Maluku untuk memperjuangkan perdamaian yang disponsori Laila Suad (Islam), Suster Brigitta (Katholik), Margareta Hendrik (Protestan). (lut)..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun