Sistem pendidikan di Indonesia yang kita kenal sekarang ini bukanlah sistem yang dirumuskan dalam waktu satu malam saja. Melainkan sistem yang melalui proses yang sangat panjang bersamaan dengan adanya pendidikan itu sendiri di Nusantara.
Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Masa Klasik
Pada pendidikan masa klasik yaitu semenjak adanya komunitas pendidikan dalam skala kecil, dengan identitas tradisi dan kepercayaan rakyat setempat–misalnya pesantren dan padepokan-sampai dengan sebelum terjadinya penjajahan oleh bangsa luar negeri terhadap bangsa Indonesia. Bangsa kita memiliki tradisi pendidikan yang dikelola oleh masyarakat atau komunitas yang dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi, budaya, agama, dan kepercayaannya masing-masing. Zaman kerajaan Hindu telah memunculkan banyak padepokan dengan resi, begawan, dan empu sebagai tokoh pendidikannya dan yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Padepokan yang didirikan.
Di padepokan tersebut, siswa selain diajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, juga diajarkan pula ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religius. Selain itu, mereka harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Setiap padepokan memiliki kekhususan ilmu yang diajarkan, ada padepokan khusus untuk ilmu kanuragaan atau bela diri, padepokan untuk kesusastraan, padepokan khusus ilmu pemerintahan, atau juga mencakup semuanya.Hingga sekarang pun masih dapat dijumpai beberapa padepokan yang berbasiskan pada kekhususan tersebut. Padepokan merupakan salah satu lembaga pendidikan pada masa Hindu sebagai salah satu warisan pada masanya dan masih lestari hingga sekarang.
Zaman kerajaan Islam juga memunculkan banyak pesantren yang konsepnya hampir mirip dengan padepokan pada masa sebelumnya, dengan wali, kiai, dan ustadz, sebagai tokoh pendidikannya dan yang juga dikuatkan oleh karya-karyanya. Pesantren dapat dijumpai di berbagai wilayah Indonesia, akan tetapi dengan sebutan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sejarah lokal masing-masing daerah. Seperti di Sumatera Barat, pesantren disebut dengan “surau” sementara di Aceh disebut dengan “meunasah”dan “dayah”. Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa, meskipun kini sudah dikenal umum. Intinya pesantren adalah tempat belajar bagi para santri. Pesantren juga disebut “pondok” atau “pondok pesantren”. Singkatnya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat unsur-unsur “kiai” (pemilik sekaligus guru), “santri” (murid), “masjid” atau “mushalla” (tempat belajar), “asrama” (penginapan santri), dan kitab-kitab Islam (bahan pelajaran).
Selanjutnya “pesantren” lebih dikenal karena lembaga ini memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga serupa di tempat lain. Sampai sekarang model pendidikan pesantren masih bertahan di tengah-tengah modernisasi pendidikan yang telah ada. Pesantren memiliki kontribusi pada sistem pendidikan sekarang sebagai salah satu dari lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. Kemudian muncul istilah pesantren salafi (pesantren murni, hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja) dan pesantren modern (selain mengajarkan ilmu agama Islam juga mengajarkan ilmu umum dengan menggunakan kurikulum).
Kontribusi Sistem Pendidikan Pada Zaman Penjajah hingga Masa Pendudukan Jepang
Bangsa Barat masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-16. Kedatangan Bangsa Barat ini, Portugis khususnya membawa misi agama. Untuk tujuan menyebarkan agama inilah kemudian mereka mendirikan sekolah. Mengajarkan rakyat pribumi untuk menjadi pekerja agama. Selain mengajarkan tentang agama, rakyat pribumi juga membaca, menulis, dan berhitung. Bangsa Belanda yang beragama Kristen Protestan sambil berdagang juga menyebarkan agamanya. Konteks penyebaran agama itu menjadi permulaan kebijakan pendidikan kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda baik sebelum maupun sesudah Politik Etis terdapat beberapa tingkatan dan jenis pendidikan, antara lain: 1) pendidikan rendah (lagere onderwijs); 2) pendidikan menengah (middlebaar onderwijs) seperti MULO dan AMS; 3) pendidikan tinggi seperti Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS), Sekolah Tinggi Hukum (RHS), dan Sekolah Tinggi Teknik (THS); 4) sekolah-sekolah kejuruan; dan 5) sekolah guru. Meskipun dengan adanya Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda sudah mulai memperbaiki pendidikan bagi rakyat bumiputra, akan tetapi kebijakan pendidikan tersebut masih bersifat diskriminatif.