Mohon tunggu...
Mahmudi Udi
Mahmudi Udi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahmudi, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Kegiatan sebagai penulis lepas. Pekerja sosial, dan kemanusian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pinggiran

28 November 2013   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Dunia politik, adalah dunia pragmatis, dunia yang penuh dengan kepentingan”.

Politik. Kadang saya jenuh untuk sekedar menyebutnya. Namun dalam banyak hal mengundang penasaran sekaligus tanya. Membenci politik adalah sebuah cara buruk, melihat urgensi politik sebagai bagian yang menentukan nasip bangsa, kita tak bisa mengabaikannya, artinya kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengawal bangsa dan Negara ini melalui instrument politi “pemilihan Umum”.

Bagi saya politik tak ubah sebuah pertarunagan wacana, bercibakunya janji sekaligus kepentingan. Tapi saya tidak ingin membahas politik dari segi percaturan untuk mengarahkan pada kepentingan tertentu untuk tujuan tertentu. Pembahasan ini hanya sebuah ulasan sederhana bagaimana poltik itu berjalan dan jilankan. Tulisan ini merupakan ulasan atau cerita teman yang “baru terjun ke dunia politik”. Sebagaimana diceritakan, bahwa politik menurutnya penuh intrik.

Sebenarnya pembahasan “politik” kami bersebrangan dengan latarbelakang, kami sama-sama berlatar belakang kependidikan, harus membahas perpolitikan. Pendidikan dan politik adalah dua hal yang berbeda. Politik dalam masyrakat dipandang sebagai sebuah cara memperoleh dan mendapatkan kekuasaan, sedang pendidikan adalah sebuah usaha untuk memberitahu, menyampaikan dan memberikan contoh sesuai tata nilai yang ada.

Apa yang kami bahas merupakan hal-hal yang sepenuhnya bukan di dalam kawasan dan jangkauan yang selaras dengan pendidikan yang kami tekuni sebelumnya. Politik yang a politis, kami memperbincangkan dunia asing, namun ketersesatan teman yang kemudian berbagi cerita pada saya mengharuskan menjadi pendengar yang baik, pada saat tertentu harus bentindak seperti panil, apa yang kami lakukan sebenarnya masih meraba-raba juga. Menurutnya politik ini kejam dan yang ada hanya kepentingan. Tak ada kawan dan teman abadi di dalam politik.

Dari perbincangan itu pun, kami saling bercerita hal-hal yang lebih dalam. Hal-hal yang sepenuhnya menjadi tujuan sekaligus tantangan bagi kami. Di sini lah keluh dan getir benar-benar diuji. Ketika kehadiran tak dianggap itu lah kenyataan yang sangat pahit. Dan ini lah kenyataan yang dihadapinya juga kami hadapi. Saya katakana ini memang medan yang sulit.

“Ini medan yang sulit”

Medan dimana prasangka menjadi tuan. Maka dalam situasi semacam ini kalau mengingini hidup yang normal sebagaimana kelaziman, hidup lah dengan cara menghamba. Dan jadilah hamba yang baik untuk tuanmu, dengan begitu maka akan kau dapati segumpalan upeti atau kau peroleh prestasi. Apakah penghambaanmu benar atau dibenarkan, jangan pikir hal itu sebab seorang hamba hanya bisa berbuat tidak untuk menuntut yang lebih.

Penghambaan adalah sebuah kebudayaan yang tak tertulis, namun ia tumbh dan adadalam kenyataan di selingkupan kita. Yang demikian merupakan sebuah potret dimana idealisme hanya menjadi patungan di ruang-ruang yang kaku, dan tidak pernah mampu menjangkau kehidupan yang historis. Kesamaan hak dan ‘kebebasan’ yang sering diagung-agungkan di media massa tak sepenuh nyata, sebagaimana yang kita rasa.

Jika engkau memainkan peran sebagai hamba yang pembela. Maka kau akan didapuk sebagai dewa kecil dalam realitas yang kau jalani. Dia lah hamba yang pandai menutupi kebobrokan tuanmu, adalah seorang hamba yang sering bercerita prestasi sang tuan melebihi dari kenyataan, dengan begitu kau menjadi hamba yang sempurna banginya. Jangan bicara soal ketak adilan atau keterpanggilan nurani, sebab itu bukan jalan bagi seorang hamba.

Seorang hamba tidak dilihat dari garis mana ia datang, sebab asal tak menjadi penting, yang terpenting seberapa dia mampu mendatangkan manfaat bagi si tuan. Jangan heran atas keadaan yang demikian, atau bertanya hidup, sebab sang tuan telah benar-benar butuh pengham yang baik dan mendatangkan peruntungan banginya. Jadi mimpi-mimpi tentang keedialan hanya bisa kau nikmati di ruang-ruang media tidak pada realitas.

Begitulah hirarki dan dinasti kehidupan berjalan dan dijalankan, visi/misi hanya sebuah alat yang tak terlalu penting. Kualitas hidup dalam hal ini pendidikan tidak berperan, sebab hirararki yang berjalan adalah kedekatan dan kekerabatan. Hidup dimana prasangka menjadi tuan dari pada nalar, adalah cara dinasti itu dipertahankan dan dijalankan, maka dalam hal ini silsilah dan kedekatan tetap yang utama. Pengetahuan (berbekal Ijazah) bukanlah jaminan masa depan. Hidup dihilir di nasti, adalah sebah penantian terhadap jatah yang nantinya diberikan sang tuan.

Maka janganlah terlalu berharap pada pendidikan atau lembar ijazah. Hal ini harus kami katakana lantaran hal ini lah yang sedang kami alami. Janji-jani para elit dan pemangku kekuasaan di negeri jauh apa dari panggang. Tetaplah tromatik harus kami pikul atas keadaan ini. Memang kami tak boleh dan harus berpangku tangan atas keadaan, kami harus menciptakan keadaan dan social baru. Namun bagaimana kami bisa melakukan sesuatu sedang keadaan kami saja bak dipenjarakan. Maka tulisan ini seperti sebuah serapah atas ketak mampuan dan meruapakan luapan emosional kami kepada lingkungan dimana kami tinggal dan dibesarkan.

Anda boleh menilai ungkapan dan tulisan semacam ini merupakan kepicikan dan kebodohan yang sangat. Dimana kami harus berterusterang dan jujur atas kebobrokan dan tak mampuan kami sendiri. Namun dalam hal ini kami ingin menyampaikan bahwa keadaan social dan realitas yang kami hadapi tak seperti pemimpin gambarkan di media-media massa. Dalam hal ini bukan kami tak memiliki ide dan gagasan, kami memiliki ide dan banyak gagasan, namun kami tak memiliki ruang untuk menjalankan ide dan gagasan itu.

Jika sikap dan penolaksan kami atas tradisi dan kebiasaan yang bertolak belakang dengan norma dan hukum, kemudian dijadikan alasan untuk memarginalkan peran dan keberadaan kami. Apakah yang demikian ini juga dibenarkan. Dalam keadaan yang sungguh tidak mengenakkan ini kami masih memiliki keyakinan bahwa segala sesuatunya bisa diusahakan, namun bila hal ini hanya kami yang bergerak tanpa adanya dukungan dan kebersamaan, kami juga manusia biasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun