Mohon tunggu...
Lila Esty Nurani
Lila Esty Nurani Mohon Tunggu... Administrasi - -

Seorang karyawan yang senang membaca dan sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata Budaya Tana Toraja

7 Mei 2014   23:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Negeri kita ini begitu kaya akan obyek wisata. Banyak tempat-tempat menarik yang layak disinggahi sekedar untuk memanjakan mata ataupun untuk memuaskan keingintahuan kita akan sejarah. Wisata alam rasanya tak akan pernah habis di explore, mulai dari pantai, pegunungan, serta air terjun yang tak terhitung lagi banyaknya, mulai yang sudah ditata hingga yang masih ‘perawan’. Wisata budaya pun tak kalah menarik jika dibandingkan dengan wisata alamnya. Ada Ngaben, upacara pembakaran mayat di Bali, acara sekaten yang biasanya dilakukan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta, wisata budaya Baduy yang menyajikan adat-istiadat penduduk Baduy (baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar), wisata budaya Tana Toraja yang terkenal dengan kubur batu-nya, serta masih banyak lagi.

Memanfaatkan kesempatan di hari terakhir acara kantor yang diadakan di Pare-pare, sulsel, saya bersama teman-teman (yang suka jalan) menyempatan diri untuk jalan ke Tana Toraja. Tujuan utama kami adalah Kete’ Kesu yang merupakan daerah/desa yang masih memegang teguh adat istiadat asli Toraja. Mengunjungi Sulawesi Selatan, rasanya sangat disayangkan kalau kita tidak mengunjungi TanaToraja. Bisik-bisik rencana ke Toraja saya dengar malam sebelumnya, dan saya begitu antusias menyambut ajakan teman saya. Hari terakhir acara kantor adalah acara fieldtrip ke Kabupaten Sidrap, dimana di sana ada Balai yang menginduk ke instansi saya. Selesai acara fieldtrip baru saya dan teman-teman berangkat.

Perjalanan kami mulai dari Kabupaten Sidrap, kurang lebih 170 km dari makassar. Dengan menggunakan 2 mobil avanza, kami berangkat pukul 10.30 wita. Jalan yang berkelok-kelok merupakan sensasi tersendiri buat kami yang ada di mobil, secara kami harus cari cara masing-masing agar tidak mabuk perjalanan. Perjalanan dari Sidrap menuju Toraja sungguh sangat sayang jika dilewatkan hanya dengan tidur. Sepanjang jalan kita bisa melihat tebing batu dan bukit yang sangat indah, yang tidak saya temukan di pulau Jawa. Melewati Kabupaten Enrekang, disepanjang jalan ada terlihat satu gugusan bukit kecil yang sangat indah, yang dikenal dengan nama Buttu Kabobong atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan Bukit Nona. Coba tebak, kenapa disebut dengan bukit Nona!



1399446804250760888
1399446804250760888

Setelah sejenak beristirahat sambil menyempatkan diri mengabadikan bukit Nona, perjalanan kami lanjutkan. Sekitar pukul 4 sore kami baru sampai ke gerbang Kabupaten Tana Toraja, rasanya perjalanan sudah hampir sampai ke kubur batu Toraja. Memasuki Kabupaten Tana Toraja, disepanjang jalan banyak sekali berkeliaran anjing. Menurut pengemudi yang mengantar kami, di Toraja ini anjing sangat dihargai pemiliknya, makanya harus hati-hati dengan anjing, jangan sampai kita menabraknya. Menurutnya, jika kita menabraknya hingga mati, maka penabrak akan dituntut ganti rugi dengan membayar sebesar jumlah anak anjing itu dikalikan dengan harga anjing per ekornya. Bayangkan saja jika anjing tersebut sudah mempunyai 10 ekor anak, sudah berapa duit yang harus dibayar ke pemiliknya. Sekedar informasi saja bahwa kabupaten Totaja dan Toraja Utara merupakan daerah endemik Rabies, penyakit yang ditularkan salah satunya lewat gigitan anjing.

Kami sampai di lokasi wisata sudah jam setengah 5 lewat. Tidak banyak lagi waktu buat kami untuk bisa jalan santai di seputaran kubur batu. Begitu sampai lokasi kami langsung masuk. Saat tiba di tempat parkir tidak terlihatmobil/bus lain yang diparkir,lokasi terlihat sepi dari wisatawan, mungkin karena hari itu adalah hari kerja atau bisa juga karena kami datangnya sudah terlalu sore, entahlah. Masuk ke lokasi ada pungutan Rp. 8.000,-/org. Yang membuat saya heran, kami sama sekali tidak diberi tiket tanda masuk seperti layaknya saat kita memasuki lokasi wisata.

Dari tempat perkir mobil sampai ke halaman Kete’ Kesu tidak begitu jauh, hanya sekitar 100 meter saja. Di halaman sudah ada beberapa wisatawan lain yang terlebih dulu datang. Sepertinya mereka hendak menginap di situ karena terlihat mereka mendirikan tenda di sekitar halaman.

Memasuki halaman Kete’ Kesu, di kanan dan kiri kita ada bangunan yang bentuknya seperti tanduk kerbau. Yang ada di sebelah kiri itu adalah rumah adat tempat tempat menyimpan mayat (sementara belum dikubur) dan yang kanan adalah lumbung padi.

1399447344482320913
1399447344482320913


Dari halaman menuju makam batu, kita harus melewati beberapa anak tangga. Tidak perlu khawatir kelelahan karena jumlah anak tangga yang tidak banyak dan juga cukup landai. Namun begitu, salah seorang teman yang kebetulan mempunyai berat badan yang agak berlebih tidak sanggup menapakinya dan memilih untuk menunggu saja di halaman.

Begitu masuk ke dalam kuburan, saya melihat bangunan rumah adat Toraja yang di atasnya dipasang patung. Konon, kata salah seorang anak yang memandu kami, itu adalah tempat persemayaman milik keluarga yang patungnya terpasang tersebut. Jadi sebelum diadakan upacara kubur batu, mayat disemayamkan di dalam rumah tersebut sambil menunggu tersedianya dana untuk upacara kubur batu. Upacara kubur batu itu sendiri konon katanya tidak murah, karena keluarga harus menyiapkan puluhan ekor kerbau.

1399450521500403260
1399450521500403260

13994514531893026024
13994514531893026024

1399451655301257827
1399451655301257827

1399452620454673581
1399452620454673581



1399452852224680582
1399452852224680582

Pukul 18.00 saya dan rombongan meninggalkan Toraja, kembali ke Pare-pare. Meskipun waktunya hanya sebentar, namun cukup lah untuk memuaskan rasa penasaran saya akan indahnya Tana Toraja. Perjalanan pulang terasa sangat melelahkan. Jalanan yang berkelok-kelok dengan pemandangan indah di sisi kiri kanannya tidak lagi dapat saya nikmati karena hari sudah gelap. Dalam pernjalanan pulang, sekedar mengganjal perut, kami mampir kesalah satu warung yang ada di sepanjang jalan di daerah enrekang. Di situ kami makan jagung pulut, jagung khas daerah sulawesi. Rasanya beda dengan jagung yanng biasa saya makan di tanah jawa, karena jagung pulut ini teksturnya seperti ketan.

Pesan saya jika inngin jalan-jalan ke Toraja, siapkan mental untuk tidak takut dengan anjing, karena jika kit a kelihatan takurt, anjing malah semakin mendekati kita. Yang kedua adalah siapkan anti mabok agar tidak mabok saat perjalanan melewati jalan yang berkelok-kelok.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun