Mohon tunggu...
Joe Jhon
Joe Jhon Mohon Tunggu... -

Seneng bangat dengan sentuhan Alam...\r\nKhusus nya pantai....coz pantai memberikan ketenangan,suka menumbuhkan Insprirasi (walau kamar mandi juga sering menumbuhkan inspirasi.he...2009x)\r\ndan pantai juga memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri....\r\nSUNRISE ibarat diri ku yang selalu muncul dg semangat baru...\r\nSUNSET juga ibarat diri ku yang selalu mencoba meumbuhkn serta membagikan ketenangan....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sumbangan Pemikiran Karl May bagi Etika Politik Politisasi

10 Maret 2011   20:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi anda penggemar novel non fiksi, pasti pernah mendengar nama Karl May pengarang "Winnetou" yang sempat menghentak ranah sastra selama lebih dari satu abad bahkan sampai detik ini. Namun demikian, apakah hasil pemikirannya itu bisa dianalogikan dengan permasalahan etika politik? Untuk beberapa alasan mendasar, saya kira hal itu bisa dilakukan. Pertama, pandangannya sangat diwarnai penjunjungan tinggi prinsip kebenaran, kejujuran (keluguan?), keadilan dan kebersamaan sebagaimana yang dikisahkan dalam petualangan Old Sattherhand di alam bebas bersama sahabatnya (Winnetou) dari suku Indian. Esensi filosofis yang dapat ditangkap dari perjalanannya ke berbagai daerah (negara), mereka merantau bukan dalam pengertian geografis. Melainkan berusaha meningkatkan kematangan pola pikir, empirisme dan keterbukaan akan nilai-nilai positif dari luar. Bahkan, kepentingan individu yang dilandasi aspek psikologis (emosional) akibat terjebak situasi perang antar kelompok sosial justru dihilangkan. Misalnya, ketika Winnetou bersama pasukannya tertangkap oleh suku Comanche, Old Sattherhand berani menepuh segala resiko untuk menyelamatkan mereka. Padahal Old Satterhand sebelumnya pernah diancam akan dibunuh oleh Winnetou gara-gara kesalahan fatal kawannya. (lihat: Winnetou edisi I, 2004).Dalam perkembangan lebih lanjut lagi, banyak tindakan simbolik yang ditunjukkan oleh persahabatan mereka mampu menghapus semangat klanisme. Disini, tentu saja dalam pengertian lebih luas. Kepentingan egoisme kelompok atau individu dialihkan menjadi penghargaan humanisme! Kedua, Winnetou dan Old Satterhand mampu membangun sikap komunikatif. Mereka mau mengakui kesalahan masing-masing secara obyektif melalui proses saling memberi dan saling menerima (take and give)diantara keduanya. Dengan demikian, mereka berhasil membentuk etika politik yang menghargai perbedaan-perbedaan prinsipil. Malahan sebuah kesepakatan bersama merupakan kebenaran yang harus dijunjung tinggi sekalipun dalam wujud upacara tradisional. Coba simak ketika Old Satterhand menghirup pipa perdamaian dan meminum tetesan darah Winnetou. Sementara itu, Karl May menceritakan dengan seksama bahwa Winnetou dan Old Satterhand memiliki karakter yang sama. Old Satterhand sebenarnya adalah west man,disini merupakan Karl May secara simbolik menyatakan west manyang memiliki karakteristik dan perilaku ideal.Sementara itu, Winnetou merupakan seorang kepala suku Indian. Sebagai pemimpin yang bijaksana keduanya berusaha memberikan contoh konkrit bahwa status sosial bukanlah segalanya. Status sosial itu bersifat sementara sebab terbatas ruang apalagi waktu. Nah,masih segar di benak kita pemberitaan tingkah laku negatif para anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di pusat maupun daerah -bahkan juga didalam rapat nasional membahas urusan rumah tangga negara - yang tampaknya telah keluar dari jalur etika politik yang benar sebagaimana telah dicontohkan oleh Old Sattherhand dan Winnetou diatas. Lagi-lagi politisi kita, berbuat manuver politik yang aneh-aneh untuk merebutkan kekuasaan. Bila boleh saya menyebutnya hal ini menjurus pada politik anarkhi, singkatnya sebut saja "poli-anarkhi". Definisinya adalah menghalalkan segala cara -termasuk mengambil jalan pintas- demi meraih kekuasaan dengan merusak tatanan stabilitas politik yang mulai terbentuk sejak pemilu berakhir. Mirip melebih paham yang dianjurkan Machiacelli. Aturan permainannya, siapa yang berhasil memenangkan "perang" dialah pemenang. Barangkali, kekuasaan bagi mereka adalah status sosial puncak kemulyaan tertinggi. Maka, prinsip klanisme diterapkan. Sebagian kelompok menggabungkan diri dan menamakan dirinya sebagai "oposisi loyal". Meski tujuan ini baik untuk mengontrol kebijakan pemerintahan baru. Ironisnya kelompok ini terbentuk karena unsur psikologis (bahkan emosional) akibat kalah bertarung di pemilu kemarin. Yang satu lagi adalah kelompok "status quo". Kemenangannya sah secara konstitusi dan prosedural sehingga lebih dapat dipertanggung jawabkan. Jika Old Sattherhand dan Winnetou menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kesepakatan bersama, tidak demikian halnya bagi mereka. Kebenaran diukur dari kebaikan masing-masing kelompok. Beginilah mekanisme demokrasi politik di negara kita semua serba membingungkan dan tidak jelas apakah tujuan akhir yang ingin dicapai. Masalahnya, persaingan suara di pemilu diteruskan sampai duduk di kursi pemerintahan. Lalu, rakyat berada di pihak mana? Rakyat pun terombang-ambing dibuatnya. Ada yang pro kelompok "status quo" atau sebaliknya ikut-ikutan menjadi oposisi "loyal". Tetapi, kebanyakan rakyat mulai apatis dengan semua itu. Sebab, rakyat mulai tidak dapat mentelorir ongkos sosial yang harus dibayar implikasinya nanti. Meski kita memaklumi bahwa jabatan politik merupakan hak wakil rakyat - hanya karena mereka telah dipilih secara langsung oleh rakyat-, apakah bisa kepercayaan yang telah diberikan dalam pemilu kemarin diminta kembali oleh rakyat? Nasi memang telah menjadi bubur, semuanya telah berjalan laksana hukum alam. Politisi telah berpetualang bebas di alam birokrasi. Petualangan ini telah beralih dari dimensi politik ke ekonomik. Seharusnya dimensi politik yang bermakna kedewasaan politik dalam arti mau menerima kekalahan dengan lapang dada, berubah menjadi ajang pertarungan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi pribadi. Ironisnya, dimensi politik tadi justru meningkatkan pengalaman politik mereka sehingga menjadi "poli-anarkhi"yang semakin canggih tanpa menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Seperti pepatah mengatakan: datang tampak muka, pulang tampak punggung. Mereka mempertontonkan baku tikam tanpa memperdulikan kawan atau lawan, yang mereka pikirkan hanyalah kepentingan ekonomi pribadi dan kelompoknya. Demi tujuan itu, mereka senang mendramatisir hal-hal yang sebenarnya remeh menjadi permasalahan baru yang terkesan rumit dan tidak segera dicarikan pemecahan terbaiknya. Akibat sikap dan perilaku mereka, yang menjadi korban adalah rakyat. Mungkin para anggota DPR tersebut tidak sadar bahwa apa yang telah mereka lakukan akan menjadi bahan penilaian rakyat untuk pemilu legislatif yang akan akan digelar lima tahun mendatang. Bahkan, ironisnya, para wakil rakyat senang plesirdibalik melaksanakan tugas pemerintahan studi bangding ke luar negeri. Tentu hal demikian merupakan sebuah ironi di tengah kemampuan wakil rakyat agar mampu diandalkan. Kini tugas semua elemen masyarakat untuk menggugah kesadaran anggota DPR agar kembali ke etika politik yang benar. Misalnya, anggota DPR harus bisa mengucapkan kata 'Howgh!' (dengan tanda seru)agar berhati-hati dalam setiap bersikap terutama bertutur kata. Perlu diketahui, Howghadalah ungkapan yang selalu diucapkan oleh Winnetou ketika mengambil kebijakan penting atau memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dengan begitu, rakyat bisa menuntut langsung jika perbuatan anggota DPR telah melenceng dari koridor etika politik yang baik dan benar. Sehingga, para politisi tak bisa lagi berpura-pura menjadi seorang greenhorn(sebutan bagi Old Sattherhand) yang selalu bersikap polos (inocent) dan rendah hati namun berani mempertanggung jawabkan atas segala apa yang telah diperbuatnya. Akhir kata, konfrontasi politik yang sering terjadi, tindakan plesirakhir-akhir ini barangkali perlu diminimalisir dengan meminjam pipa perdamaian milik Winnetou agar konflik tidak semakin berlarut-larut. Atau, bila hal ini tidak cukup, agaknya mereka perlu menerapkan "ritual meminum tetesan darah satu sama lain". Tujuannya adalah menyadarkan bahwa sesama anggota DPR adalah bersaudara tanpa harus dibedakan oleh sekat-sekat ideologis dan kepentingan individu maupun kelompok. Bila demikian, kehancuran stabilitas politik dapat dihindari. Pada gilirannya, tugas dan kewajiban anggota DPR mengangkat derajat kehidupan rakyat dapat direalisasikan secara optimal. Sebab, rakyatlah pemegang kedaulatan secara penuh di republik ini!!!. Sebab, mereka bukanlah dewa yang tampaknya selalu diagung-agungkan. Dalam konteks ini segala perilaku dan tanggung jawab melaksanakan tugas harian dianggap misi suci. Padahal, tindakan itu sarat dengan budaya korupsi yang tak. Barangkali kita, perlu merenung makna filosofis Vergilius (2004): "Sesungguhnya terlalu gila dan bijaksana mempercayakan Roma kepada perlindungan dewa-dewa... Dan, adalah masuk akal untuk percaya, bahwa bukannya Roma luput dari kehancurannya seandainya dewa-dewa telah binasa sejak lama, seandainya Roma tak berusaha menyelamatkan mereka.." Salam hangat selalu... picture source : http: www.photobucket.comBeta Chandra Wisdata

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun