Ciciitt..ciciittt...citt..
Suara burung pipit yang 6 bulan ini sudah kupelihara. Burung liar yang tak sengaja kutemukan ketika mencari kayu bakar di hutan, kuberi nama Cicit. Aku tidak peduli dia jantan ataupun betina, toh sama saja. Awalnya aku kira akan sangat ribut jika aku memeliharanya di rumah, mengingat suaranya yang merdu-merdu cempreng memekakkan telinga. Tapi, setelah kucoba, tidaklah terlalu mengganggu, suaranya mengisi kekosongan gubuk yang aku tinggali sendiri. Ketika pagi menjelang ia akan menjadi istri yang membangunkanku saat adzan subuh telah berkumandang, ketika siang ia akan menjadi teman ngobrol yang sangat rewel dan ketika malam ia akan menjadi anak yang harus kuberi makan. Seperti siang ini, kami mengobrol layaknya orang yang sangat akrab. Orang yang lalu terkadang memandangku dengan heran. Dapat kupastikan apa yang mereka pikirkan, tapi biarlah, aku tak terlalu ambil pusing.
Pernah aku bertanya kepada Cicit, bagaimana bisa bertahan hidup dengan bahasa yang tak bisa dimengerti manusia. Lalu Cicit menjawab “ Jika mereka benar-benar menyayangiku, mereka pasti mengerti apa yang kukatakan”. Lama aku termenung dibuatnya, ‘ Jika benar-benar menyayangiku’ kata itu seolah membangkitkan luka lama yang pernah aku rasakan. Aku bertanya lagi “ bagaimana jika mereka meninggalkanmu?”. Cicit pun menjawab “ mereka yang benar-benar menyayangiku takkan pergi meninggalkanku”. Ah, benar. Menyayangi tak mungkin meninggalkan. Pikiranku mulai berkelana ke masa lalu, dimana bersama terasa sangat menyenangkan.
“ Mas, tidak bisakah kau mencari pekerjaan lain selain mencari kayu bakar?” tanya Maryam, wanita yang kunikahi 2 tahun lalu. Dia cantik dan rajin tapi sebagai seorang wanita , ia terlalu banyak menuntut. “ Susu Dimas sudah habis, beras juga sudah kosong. Aku tidak mau makan singkong lagi. Carilah pekerjaan yang menjanjikan Mas, yang menggajimu tiap bulan. Kayu bakar tak akan bisa membesarkan anak kita. Kenapa kau tidak menjadi buruh pabrik saja ?” runtunnya dengan sedikit merengek. Aku hanya diam,asap rokok mengepul tinggi di dalam kamar. “ Kau malu, Mar ?” ucapku dengan pelan tapi tajam. Hanya isakan tangis yang kudengar sebagai jawaban. Sejak berpacaran dulu, aku tau dia tipe wanita parlente, tak ingin ketinggalan zaman. Aku sadar, sebagai kepala keluarga aku belum bisa menyenangkan anak-istriku tapi apa yang bisa kudapatkan dengan ijazah SD. Menjadi buruh pabrik paling tidak harus lulus Aliyah (SMA).
“ Ini ada sedikit beras dari Buk Padmi, pemilik toko loak diujung jalan”. Maryam hanya diam tak menjawab. Akhir- akhir ini kayu bakar sulit didapatkan, terpaksa hari ini aku harus mencari kedalam hutan hingga sore . Letih yang kurasakan benar-benar membuat kepalaku sakit. “ Kau kenal dekat dengan janda Padmi itu, Mas ?” tanya Maryam menghentikan langkahku menuju dapur. “ Apa kau merayunya untuk mendapatkan beras ini ? “ Aku hanya termenung mendengarnya. Tuhan, apalagi ini. Tidak sadarkah dia kalau aku hanya seorang pencari kayu bakar sampai dituduhnya aku berselingkuh?. Kucoba memandang tepat dimatanya, wanita ini cemburu. Terbersit rasa senang dihatiku, melihat tingkah kekanak-kanakan Maryam barusan. “ Aku tidak mungkin berselingkuh, Mar. Kalau itu yang kau maksud”. Senyum mengembang dibibirku ketika mengatakannya. Bertahun-tahun aku mengenalnya, baru kali ini aku melihatnya cemburu, meskipun ujung-ujungnya aku dituduh selingkuh. Hubunganku dengan Bu Padmi memang terbilang dekat, janda tak beranak itu sudah mengannggapku seperti adik laki-lakinya. Dia pernah bercerita adik laki-lakinya merantau ke Malaysia dan sampai sekarang tak pulang-pulang. Tapi, demi Tuhan. Sedikitpun tak terbersit di hatiku untuk mencintainya. Walaupun begini, aku tipe lelaki yang setia. Satu saja sudah membuatku hilang akal, apalagi dua.
“ Mas, aku ingin bekerja sebagai tukang cuci di kota. Boleh? ” pertanyaan ini sudah sering ia lontarkan padaku dan selalu kutolak. Tapi memang dasar wanita, tak pernah berhenti mencoba. “ Kau sudah tau jawabannya, Mar. Urus saja Dimas di rumah, biar aku yang mencari nafkah” jawabku datar dan sedikit menegaskan. Aku tau kalau Maryam sangat ingin membantu, melihat perekonomian keluarga kami yang semakin melarat. Tapi, jika dia bekerja, siapa yang akan menjaga Dimas. Kadang aku heran melihat istriku ini, tidak terpikirkah olehnya bagaimana selama ini desas-desus yang ada di kota. Kejahatan dimana-mana, belum tentu sejahtera. Apa yang bisa didapatnya dengan wajah cantik itu jika kepandaian tak ada. Memang mencuci bukan hal yang harus dipelajari tapi tetap saja. Kota sangat berbahaya untuk perempuan kampung. “ Kau mencari kesenanganmu, Mas. Bukan mencari nafkah. Seolah seperti orang kaya, kau mencari kayu hanya pada waktu luangmu. Mungkin kau bisa hidup seperti ini selamanya, Mas. Tapi aku dan Dimas tak bisa.Coba kau lihat Mas, anak kita sudah semakin besar. Belum lagi nanti dia akan bersekolah dan segala macamnya. Pikiranmu tak pernah sampai kesanakan ?”. tuntutnya tajam. Burung-burung sawah bersahut-sahutan di luar. Bahagianya mereka. Tak ada beban apapun. Untuk makan, bisa didapat sesukanya. Lalu kupandangi Maryam dengan wajah sendu. Berusaha mencari jawaban atas sikapnya akhir-akhir ini. Kondisi melarat seperti ini sudah berlangsung lama dan dia tak pernah protes selagi ada uang yang kubawa pulang tiap harinya, meskipun tak cukup beli beras. Tapi akhir-akhir ini dia sedikit berubah, mulai menuntut, mengungkit yang sudah-sudah. “ Apa kau mencintaiku, Mar?” kalimat itu keluar begitu saja. Sedikit terkejut ia menatapku. Lama. Raut wajahnya berubah, aku tau dia sedang menahan kesal. Tanpa menjawab pertanyaanku, ia masuk ke dalam kamar. Ntah apa yang dilakukannya tapi yang pasti dia sedang menangis.Dapat kudengar dari isak yang ditahannya. Ah, aku benar-benar kecewa dengan diriku sendiri. Aku sudah mempertanyakan kesetiaanya selama ini. Dasar lelaki bodoh kau ini Deni. Sudah pasti istrimu mencintaimu, kalau tidak mana mau dia menikah denganmu. Lelaki miskin yang hanya bermodalkan cinta. Kususul langkahnya ke dalam kamar. Wanita yang kucintai itu sudah tertidur dikarenakan menangis. Wajah yang dulu menjadi pujaan itu, kini terlihat tua. Kekesalan telah membuatnya sedikit berkeriput. “ Maafkan aku , Mar”. Hanya itu yang dapat kuucapkan saat ini.
Hujan turun lebat pagi ini, tak satupun kayu bakar kudapatkan. Dimas masih tidur nyenyak disinggasananya. Tak tega aku membangunkan, hanya langit gelap yang didapatnya nanti. Maryam yang sedari tadi di dapur tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sudah tiga hari semenjak pertengkaran hari itu, dia mendiamkanku. Gundah rasanya, melihat istrimu cemberut dan anakmu tiap detiknya menangis. Beberapa kali kucoba mengajaknya bercerita, tak satupun perkataanku disahutinya. Beras yang kemarin sudah tinggal rantangnya, Dimas akhir-akhir ini lebih sering makan roti. Mau tidak mau, singkong menjadi makanan kami siang malam.
Kudatangi Maryam yang sedang menanak air. “ Aku akan mencoba mencari pinjaman. Jangan mendiamkanku terus-terusan, wajahmu terlihat tua jika cemberut” ,runtunku dengan sedikit kejahilan. Aku hapal sekali dengan sifat istriku ini, dia paling tidak suka dibilang tua. Seolah gadis remaja, dia akan kembali membalas dengan mengataiku kakek-kakek, dikarenakan rambutku yang sudah mulai beruban. Tapi tidak kali ini, ia hanya diam. Kutinggalkan saja dia, wanita memang seperti itu, jika kau sudah menyerah maka ia akan mendatangimu dengan sendirinya.
Beberapa jam menjelang matahari terbenam, aku mendapatkan pinjaman dari Pak Bambang, teman seperjuangan mencari kayu bakar. Dia bisa terbilang pencari kayu yang sukses, hasil pencariannya langsung dijual ke kedai nasi yang tiap harinya membutuhkan beratus-ratus kayu bakar.
Setelah mendapatkan beberapa pinjaman uang, dengan langkah seribu aku menuju jalan pulang. Maryam pasti sudah menunggu dengan wajah cemberutnya. Sesampainya di rumah, seperti biasa aku langsung ke dapur menemui Maryam, tapi tak kujumpai dia disana. Bergegas aku menuju kamar. Berantakan dan benar-benar berantakan. Lemari terbuka dan baju-baju berserakan. Apa rumah kami baru saja diterpa badai tadi pagi ? kuberesi baju-baju tersebut, anehnya tak satupun baju Maryam dan Dimas terlihat. Pikiranku mulai kacau. Kuambil langkahku menuju ruang tamu. Tampak secarik kertas yang diselipkan di bawah asbak.
“ Untukmu suamiku..
Jangan kaget melihat apa yang kau temui ketika pulang. Aku ke kota mencari pekerjaan dan membawa Dimas bersamaku. Maaf jika tidak meminta ijin darimu. Aku tak sanggup lagi hidup seperti ini. Ampunkan aku jika menjadi istri yang durhaka, kulakukan ini demi kebahagiaan kita bersama. Jangan mencariku, jaga saja rumah. Aku tidak tau akan kembali. Mungkin suatu hari..
Maryam”....
Ciciittt...ciiciittt..ciitttt...
Lagi-lagi aku termenung. Mengenang masa lalu selalu membuang waktuku yang tersisa. Ini sudah tahun keempat semenjak kepergian Maryam, tak banyak yang berubah pada diriku. Hanya semakin tua, semakin tak terurus. Jika kuteruskan seperti ini, aku akan semakin terlena. Kupandangi Cicit untuk terakhir kalinya. Benar katanya, “ mereka yang menyayangi takkan mungkin meninggalkan”. Ah. Mungkin inilah waktunya. Kain panjang yang sedari tadi kupegang mulai kugantungkan di plafon kamar, kursi yang sedari tadi kupersiapkan telah kupanjat. Mereka yang menyayangi takkan mungkin meninggalkan. Lalu haruskah aku merasa menyesal?. Kain panjang itu tergantung dengan sesosok pria setengah baya yang terkulai tak bernyawa dikamarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H