Ketua Umum PBNU, Said Aqiel Siradj, mengungkapkan kewajiban berpuasa mempunyai ”pertalian sejarah” dengan umat sebelumnya. Meski dalam bentuk yang berbeda-beda, sejarah membuktikan bahwa setiap peradaban selalu menggenggam perintah bagi kaumnya untuk berpuasa. Ada puasa Nabi Ibrahim as, Nabi Daud as, puasa Siti Maryam, dan kakek Nabi Muhammad saw, Abdul Mutholib.
Dalam perspektif historis tersebut, yang penting dikemukakan adalah kebiasaan berpuasa menyimpan makna dan hikmah perlunya kesadaran atas pluralitas. Puasa bukanlah sesuatu yang orisinal berasal dari Islam. Islam sebagai agama penyempurna sekadar memberikan ”sentuhan lain”.
Penghargaan terhadap pluralitas pula yang menjadikan bangsa ini tetap tegak. Tanpa pilar kesadaran pluralitas niscaya usia negeri kita tidak akan sampai hingga umur ke-68. Dengan ribuan pulau, bahasa, etnis, dan dengan agama yang beragam pula, penghormatan terhadap pluralitas menjadi satu-satunya faktor penentu kelangsungan hidup. Pengingkaran, penistaan, atau pengabaian terhadap pluralitas (dalam berbagai dimensi kehidupan) bukan saja bertentangan dengan hukum alam (sunnah al-Lam) dan konstitusi negara, tetapi juga membawa bangsa ini ke hitungan mundur untuk bubar.
Eksistensi Kebangsaan
Penghilangan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dan pengakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas harus menjadi cermin hidup kaum muslimin di masa mendatang. Bahwa pluralitas membutuhan kerelaan untuk berkorban dari siapapun anak bangsa ini. Nilai kerelaan kian tinggi jika yang melakukannya adalah kaum mayoritas muslim seperti di Indonesia.
Kerelaan berkorban bagi kelangsungan dan keutuhan bangsa itu equivalen dengan keikhlasan tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri di siang hari ketika berpuasa. Meski bentuk pengorbanannya berbeda, keduanya memiliki nilai yang sama di sisi Tuhan, ibadah. Umat Islam terdahulu bisa saja egois dengan enggan membuang kata-kata dalam Piagam Jakarta dan tidak mengakui Pancasila, pun setiap muslim bisa saja makan, minum, dan berhubungan suami istri di siang hari ketika bulan puasa. Namun, semua itu tidak dilakukan karena dengan satu alasan, kaum muslimin tidak mau mengumbar hawa nafsu.
Kemampuan mengendalikan hawa nafsu di bulan Ramadhan ini pula yang membuat seorang muslim bisa memperoleh lailaltul qodr. Mendapat lailatul qodr bagi anak bangsa ini berarti adanya perubahan sikap dan perilaku, khususnya dalam membangun kerukunan hidup beragama dengan landasan etika Alquran. Inilah makna lailatul qodr sebagai proses “menjadi” (becoming). Ia ada dan berjalan sepanjang tahun dan Ramadan hanyalah sebagai puncaknya.
Semoga kita semua mendapat lailatul qodr tahun ini, pasca-Ramadhan kita berharap tidak mendengar lagi berita tentang belenggu kemiskinan yang mendera umat Islam, pembagian zakat massal yang rawan memakan korban, pengusiran umat beragama, tidak melihat pembakaran rumah ibadah, tidak tumbuh ideologi radikal sebagai sumber terorisme, dan hilangnya diskriminasi terhadap kaum minoritas. Sehingga Umat Islam sebagai mayoritas anak bangsa Indonesia tidak saja mampu mengisi kemerdekaannya melainkan juga mampu mendapatkan predikat ”merdesa” (berperadaban/bermartabat) yang menunjukkan wujud eksistensi kebangsaan kita. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H