Mohon tunggu...
Rohayati Aya
Rohayati Aya Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer/A wife/A mother

S.KPm, IPB 2012 M.Si, IPB 2017 Pernah bekerja di lembaga pendidikan tinggi dan kementerian

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Untung Rugi Era Digital

24 Maret 2016   11:52 Diperbarui: 24 Maret 2016   14:32 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya awali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan mengenai handphone

  1. Apakah saat ini Anda memiliki handphone (hp)?
  2. Apakah hp Anda Andorid, IOS, Windows Phone, atau Blackberry?
  3. Berapa banyak aplikasi yang Anda miliki dalam hp? Sebutkan?

Umumnya orang-orang Indonesia memiliki hp entah jenis Andorid, IOS, Windows Phone, atau Blackberry. Jenis hp tersebut merupakan hp smart yang mampu menampung beragam jenis kegiatan. Jika hp Anda masih hp keluaran lama yang hanya untuk SMS, telfon, dan radio fm, sudah tentu jauh tertinggal. Memang hp tipe baru terlalu rumit untuk digunakan orang-orang yang gagap teknologi. Tetapi barangkali ketika jaman sudah berubah, hp jenis baru pun akan ditinggalkan seiring dengan penemuan baru.

Dari pengalaman saya hidup di era digital ada banyak keuntungan yang saya temukan. Pertama, saya tak perlu bersusah payah bertemu atau berdiskusi dengan teman-teman. Cukup buka aplikasi whatsapp, BBM, line, dll lalu buat grup dan jadilah diskusi dengan beberapa teman. Gampang kan tak perlu keluar ongkos untuk bertemu. Kedua, saya tak pernah ketinggalan informasi. Tinggal donwload aplikasi facebook, twitter, Gmail, Yahoo mail, dan berita online lalu baca bisa sambil berdiri di kereta. Juga tidak perlu keluar biaya, hemat kertas, dan praktis pula. Ketiga, tak perlu bersusah payah melambai-lambai untuk panggil taksi, tak perlu melakukan penawaran dengan tukang ojek. Tinggal donwload aplikasi transportasi online cukup ketik tempat bertemu dan ketik alamat tujuan. Beberapa menit driver datang, ketika sampai tinggal bayar sesuai tarif yang sudah ditentukan. Semuanya dikemas dalam satu ponsel dan sudah tentu semua itu membuat kemudahan. Tapi jangan lupa untuk terus berlangganan paket internet untuh mengakses semua aplikasi itu (kecuali aplikasi yang bisa offline).

Sebagai seorang idealis, saya sempat tegas dengan pendirian saya untuk tidak membeli hp smart. Namun apalah arti sebuah pendirian jika saya hidup di lingkungan yang plural. Mau tidak mau saya harus mengikuti perkembangan dengan membeli hp smart. Semakin lama bermain-main dengan hp smart, terkadang merasa ingin kembali ke era dulu sebelum era digital mewabah. Itulah, saya beru menyadari ternyata dibalik kemudahan ada kerugian juga. Pertama, banyak orang yang tiba-tiba menjadi 'sinting'. Sebab ketika berjalan sendiri tiba-tiba tersenyum bahkan tertawa, saya pun pernah demikian. Tiba-tiba ketika sedang asyik diskusi di Whatsapp ada hal-hal lucu. Atau ketika membaca status teman di facebook ada hal-hal yang menggelikan. Kedua, orang-orang menjadi semakin autis bahkan alay. Berjam-jam memelototi layar hp, tiba-tiba cekrek-cekrek ternyata sedang selfie. Tidak lama, muncul foto di laman facebook atau instagram nya. Ketiga, lunturnya budaya gotong royong, kebersamaan, karena tergerusnya kelompok-kelompok atau kelembagaan di suatu komunitas. Orang-orang menjadi malas untuk berjumpa dengan teman lebih senang membuka obrolan di hp. Keempat, anak-anak tidak mau lagi bermain permainan tradisional. Mereka lebih memilih main games di hp atau layar komputernya.

Menurut hemat saya, hp smart memang sangat membantu bagi orang-orang yang tinggal di kota. Atau lebih tepatnya orang-orang yang super sibuk. Baik sibuk dengan pekerjaan ataupun sibuk dengan kemacetan. Karena itu berkaitan dengan transportasi konvensional yang akhir-akhir ini tengah diperbincangkan, dianggap ketinggalan jaman dan tidak mampu memecahkan permasalahan orang-orang kota.

Lalu bagaimana dengan orang-orang desa? Sebagian besar orang desa adalah perantauan. Mereka merantau ke kota-kota besar untuk mengadu nasib demi anak istri di kampung. Bagi orang desa yang memiliki pendidikan tinggi, mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun bagi orang desa dengan pendidikan rendah, pekerjaan yang bisa dilakoni hanya mentok sampai pedagang kaki lima. Orang desa yang memiliki ketrampilan mengemudi, tentu bisa jadi supir taksi konvensional. Namun mereka dituding ketinggalan jaman dan akhirnya sepi pengunjung. Imbasnya demo supir taksi konsensional yang berujung anarkis. Apakah mereka ketinggalan jaman? Tentu tidak. Bukan mereka yang ketinggalan jaman, namun sistem yang menaunginya. Sebetulnya sasaran empuk demo supir taksi tidak diarahkan pada transportasi online namun sistem yang menaunginya. Mengapa tidak bisa seperti mereka yang mampu berjalan beriringan dengan era digital?

Jika disimpulkan maka, keuntungan era digital memang sangat terasa karena mampu memberikan kemudahan beraktifitas. Namun di sisi lain banyak kerugian yang timbul seperti mematikan ekonomi rakyat dan mematikan budaya leluhur. Tinggal memilih beradaptasi dengan era digital atau menolaknya dengan tantangan mampu membuat era baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun