Mohon tunggu...
Eva Gumelar PGSD KBM
Eva Gumelar PGSD KBM Mohon Tunggu... -

tak patah arang!!!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Implementasi dalam Teori Kognitivisme dalam Tradisi Behaviorisme

9 November 2010   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:45 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PENDAHULUAN

Teori pembelajaran telah banyak dirintis oleh para pembaharu pembelajaran mulai dari masa lampau hingga masa kini. Sebelum merancang pembelajaran, seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat tentang belajar, termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Teori belajar tersebutsebagian sudah dikenal dalam pelaksanaan Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004. Sebagian bahkan sudah dikenal dalam mata kuliah tentang pendidikan dan pengajaran. Penguasaan teori itu dimaksudkan agar guru mampu mempertanggungjawabkan secara ilmiah perilaku mengajarnya di depan kelas. Berbagai perkembangan yang terjadi yang dilakukan dan dirintis oleh para pembaharu tentu saja bertujuan untuk melengkapi kekurangan yang ada pada teori belajar yang ada pada sebelumnya.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa setiap teori tidak dapat dikatakanterbaik atau terburuk. Semua kembali pada penggunaannya pada medium tertentu yang sesuai dengan keadaan dan tujuan dari pembelajaran tersebut. Sehingga memamg merupakan hal yang bijak bila kita sebagai seorang guru memiliki kesadaran diri untuk berusaha mengerti dan menghayati teori belajar, dengan harapan dapat mengaplikasikan dengan keadaan yang ada dan tujuan yang hendak dicapai. Lebih jauh, dengan mengetahui berbagai teori belajar yang telah dirintis tersebut, guru dapat mengembangkan menjadi suatu pembelajaran yang membeerikan inovaasi, motivasi, dan memiliki azas yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. Semoga..!!

PEMBAHASAN

Teori pembelajaran behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek  mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat  dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari  pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1.Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya:

a.Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons  menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula  hubungan  yang terjadi antara Stimulus- Respons.

b.Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

c.Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan  semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2.Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :

a.Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

b.Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3.Operant  Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :

a.Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

b.Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning  itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons  dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah  stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons  tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4.Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,  Bandura  memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana  yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

Dalam sumber lain, Teori behaviorisme di dalam linguistik diikuti antara lain oleh L.Bloomfield dan B.F.Skinner. Teori ini lebih mementingkan faktor eksternal ketimbang faktor internal dari individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif saja menunggu stimulus dari luar (guru). Belajar apa saja  dan oleh siapa saja (manusia atau binatang) sama saja, yakni melalui mekanisme stimulus – respons. Guru memberikan stimulus, siswa merespons, seperti tampak pada latihan tubian (drill). Behaviorisme lebih mementingkan bentuk dan struktur materiketimbang makna dan maksud. Namun, Edward Chace Tolman (1886-1959) seorang pengajar di Universitas Calivornia mengaku terkessan oleh objektivitas behaviorisme. Dia juga merasa bahwa behaviorisme terlalu sedikit memperhatikan aspek-aspek kognitif perilaku. Ia berargumen dengan tidak hanya merespons stimuli, kita juga bertindak atas dasar keyakinan, mengekspresikan perasaan, dan mengupayakan tujuan. Untuk itu kita membutuhkan suatu teori yang mengakui aspek-aspek perilaku ini tanpa mengorbankan objektivitas. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Tolman berusaha menciptakan apa yang disebut sebagai behaviorisme purposive (purposive behaviorism).

Behaviorisme Purposif (Tolman)

Perbedaan teori ini dengan teori murni behaviorisme adalah terletak pada: dalam teori ini yang dibahas adalah mengenai perilaku objektif. Membahas efek stimuli ekstternal pada perilaku, bukan han ya satu ruang hidup yang tersirat dari perilaku. Teori ini terkait dengan persoalan pembelajaran, denga berubahnya perilaku seiring perubahan pengalaman menghadapi dunia eksternal, menekankan perhatiannya pada tujuan-tujuan yang menggerakkan dan nenuntun perilaku. Jadi bukan hanya memandang perilaku sebagai sekedar sebagai respon atas stimuli yang baru saja terjadi, namun Tolman menekankan hubungan perilku dengan tujuan. Memang stimuli menuntun kita ke tujuan dan menentukan sarana yang akan kita gunakan untuk meraihnya, namun pengupayaan tujuan itulah yang memberikan kesesuaian dan makna pada perilaku kita. System Tolman ini disebut behaviorisme purposif karena system ini mengkaji perilaku dalam kaitannya dengantujuan yang hendak dicapai melalui perilaku itu sendiri.

Perilaku yang hendak dicapai itu adalah perilaku molar . Istilahini tidak menunjuk pada sejumlah perilaku, melainkan pada cara kita menganalisis perilaku. Perilaku molar diianalisis dalam satuan wajar yang cukup besar ukurannya, dalam praktiknya carainilah yang yang digunakan oleh semua pembelajaran dengan menganalisis perilaku.

Suatu tujuan dapat didekati dengan tindakan yang berlainan, bukan hanya sebagai rangkaian respon melainkan juga sebagai cara-cara terpilih yang dilakukan untuk memperoleh tujuan. Dalam hal ini terdapat permaslahan yaitu, bagaimana mengemebangkan sebuah teori untuk membahas berbagai macam perilaku molar yang kompleks ini dalam peranannya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai hal ini, perlu memperhitungkan aspek kognisi individu-persepsi dan keyakinan seorang mengenai tujuan mereka. Cara yang digunakan adalah menggunakan variable perantara (intervcerning variables). Sehingga perlu melihat konteks historisnya. Pada masa itu teori behavioris bahwa segala sesuatu yang memerantarai stimulus dan respon adalah respon itu sendiri., baik yang bersifat fisik maupun potensial, sebagai hal yang bisa diukur seperti respon-respon lainnya.

Tolman menggunakann isitilah kognisi secara objektif tanpa harus melakukan sebagai suatu yang dapat diukur secara langsung. Untuk itu dia menyebut kognisi sebagai suatu perantara. Dengan cara demikian, maka kita dapat membuat konsep kognisi menjadi suatu yang patu untuk diharagai. Kognisi adalah abstraksiyang dihasilkan oleh rumusan teoritis. Walaupun tidak menutup kemungkinan jika para fisiologi akan menemukan aktivitas tetentu di dalam otak yang terkait dengan kognisi. Jadi, pengalaman menghadapi stimuli tertentu akan menghasilkan terbentuknya kognisi tertentu. Keberhasilan akan menghasilkan tuntutan akan objek tertentu.

Implementasinya dalam pembelajaran adalah kita hendaknya membentuk kognisi yang berbeda hendaknya bagaimana keadaan lingkungan, dalam artian hal apa yang sesuai dan tidak sesuai, jalur mana yang baik untuk ditempuh. Jadi, tidak hanya “jika saya melakukan ini”, maka saya akan mendapatkan,,,. Kognisi dari berbagai pengalaman yang berbeda bisa kita padukan sehingga individu dapat merespon secara adaptif terhadap situasi baru yaitu dengan perilaku fleksibel dan orisinal. Sehingga, dalam hal ini pula dapat kita terapkan bagaiman pentingnya proses untuk mencapai sesuatu yang tanpa kita sadari akan menghasilkan atau kita peroleh suatu yang baru yang bermanfaat bagi hal lainnya.

Teori Kognitif-Behavioristik Terbaru (Bolles)

Latar belakang dari munculnya Teori Bolles adalah karena pendekatan informal yang dilakukan oleh Tolman yang tidak dapat diinterpretasikan dalam pembelajaran. Sehingga para teoroitisi kognitif berupaya untuk melakukan sesuatu agar dapat menformalkan teori Tolman. Teori Tolman memnyatakan tentang terbentuknya kognisi seekor tikus, namun kemudian tikus itu dibiarkan tenggelam dalam pikiran. Jika seelor tikus bisa sampai ke makanan di ujung maze, hal itu dilakukan dengan kemampuannya sendiri, tanpa teori. Entah teori ini dianggap lucu atau apa, Bolles memendang pernyataan tersebut tidak berimbang. Ia bertanya, mengapa kita memiliki anggapan bahwa kebiasaan akan menghasilkan perilaku, sedangkan pengharapan hanya menghasilkan pikiran. Baik kebiasaan maupun harapan hanya variable perantara, yang menghasilkan perilaku jika dan hanya jika kita mempostulasikan bahwa kedua hal itu menghasilkannya. Berbeda dengan Hull, menyatakan bahwa kombinasi yang tepat dari kebiasaan, dorongan, dan insentif akan menghasilkan respon tertentu. Tolman megatajan bahwa respon tertentu berasal dari pengharapan sehingga respon tertentu akan menghasilkan hasil, ditambah dengan tuntutan hasil itu.

Rangkaian variabel jika dirumuskan secara benar akan memungkinkan mita memprediksi respon apa yang akan terjadi dalam kondisi tertentu, namun tidak satupun yang menghasilkan respon yang lebih menonjol daripada yang lainnya. Bolles juga merumuskan teori kognitif sebagai cara untuk memprediksi perilaku. Hal yang ia lakukan adalah merumuskan tiga peristiwa. Dua yang pertama adlah stimulus (S) sebagai sinyal, dan respon (R). yang ketiga adalah S* , yang menunjukkan stimulus yang berperan penting terhadap psikologis. Jenis-jenis peristiwa stimulus yang terkait dengan S* sama dengan apa yang disebut oleh para teoritis lain sebagai penguat positif dan negatif. Senuag S pada sebuah stimulus memungkinkan kita untuk memprediksi terjadinya sebuah peristiwa S* sebagai konsekuensi signifikan.

Dari hubungan dari ketiga jenis peristiwa ini, bisa terbentuk dua jenis pengharapan (expectancies). Yang pertama adalah pengharapan S-S*, berupa kognisi bahwa ketika S terjadi, S* akan mengikuti baik konsekuensi positif maupun negatif. Jenis kognisi lainnya adalah pengharapan R-S*. disini, tindakan individu sendiri yang memprediksikan munculnya konsekuensi signifikan secara biologis. Inilah yang disebut oleh Skinner sebagai respon positif negatif.

Meskipun sebuah teori pembelajaran biasanya berfokus pada jenis pengharapan yang terbentuk sebagai hasil pembelajaran, jenis itu bukanlah satu-satunya. Baik pengharapan S-S* maupun R-S* juga bersifat bawaan –berasal dari heriditas organisme, bukan dari pengalaman sebelumnya. Namun, Bolles sendiri tertarik dengan pengharapan R-S* bawaan. Adanya pengharapan semacam ini ditunjukkan oleh bermacam-macam respon khas yang dihasilkan oleh berbagai spesies terhadap situasi penting lainnya yang penting terhadap biologis. Meskipun banyak dari psikolog koneksionis akan menginterpretasi perilaku khas spesies ini sebagai bukti adanya koneksi S-R, Bolles lebih memandangnya sebagai cerminan pengharapan R-S* bawaan. Dengan demikian, kombinasi dua jenis pengharapan bisa digunakan untuk memprediksi perilaku, entah pengharapan tersebut bersifat bawaan atau hasil dari pembelajaran.

KESIMPULAN

Dalam teorinya, Tolman menekankan hubungan perilaku dengan tujuan. Meskipun kebanyakan teoritis koneksionis memndang perilaku sekadar sebagai respon atas stimuli yang baru saja terjadi. Kita memiliki keharusan unutk memiliki kemungkinan untuk bergeser dari bergeser dari satu pendekatan ke pendekatan lain sesuai tuntutan lingkungan sembari tetap mengarahkan upaya kita ke tujuan yang sama.

Jika kita memendang Tolman memasukkan asoek terbaik behaviorism eke dalam teori kognitif, luasnya cakupan variabel yang digunakan, dan antisipasi secara dini atas perkembangan logika pembentukan teori mendatang, kita bisa dengan muda menyimpulkan bahwa Tolman adalah teoritisi pembelajaran terbesar diantara yang lain. Dalam konsepsinya, teorinya mungkin yang terbaik yang prnah ada. Namun, konsepsinya tidak pernah benar-benar dijalankan. Dalam penelitiannya Ia melakukan eksperimen unuk menunjukkan bahwa rumusan kognitif lebih baik dari rumusan koneksionis, namun eksperimennya mengenai rumusan kognitif ini tidak cukup tiliti sehingga tidak bisa digunakan unuk memprediksi. Ia merintis arah baru teori kognitif, sehingga mencakup aspek-aspek terbaik teori koneksionis, namun tidak meneruskan program tersebut. Pada intinya, dia tidak memberikan dasar untuk memprediksi dari stimuli menuju perilaku, ia memberikan kerangka kognitif untuk menginterpretasi pembelajaran, namun ia tidak memberikan hokum pembelajaran mendetail.

Sehingga kemudian muncul teori kognitif behavioristik terbaru Bolles. Dalam teori ini, terlihat jelas pendirian Bolles dalam perdebatan mengenai apakah variabel perantara merupakan entitas nyata yang kita temukan atau merupakan rekaan yang kita ciptakan untuk menjelaskan sesuatu. Dalam rumusan Bolles mengenai teori kognitif,yang dirumuskan dalam S-R-S*, tersirat bahwa jika kita mendekatkan seorang pelayan, maka kita akan mendapatkan makanan yang berdampak pada pengharapan yang menghasilkan konsekuensi signifikan positif maupun negatif.

Meskipun mengandung banyak kerumitan, sistem Bolles nampak lebih ringkas jika dibandingkan persebaran vektor dan peta kognitif Tolman. Sebagian dari perbedaan ini bersumber dari fakta bahwa Tolman lebih berfokus pada bagaimana menyusun kejadian dalam dimensi ruang, sementara Bolles lebih berfokus pada bagaimana merangkai kejadian dalam dimensi waktu. Tolman meneliti bahwa tikus mencari jalan memutar di jalan maze (ruang dua/tiga dimensi), Bolles meneliti apa yang terjadi ketika tikus menerima isyarat akan adanya sengatan listrik. Karena itu bisa dipahami bila Bolles mampu bekerja dengan asumsi-asumsi yang lebih sederhana dari Tolman. Namun demikian, ketika teorinya diterapkan dalam situasi yang lebih beragam, mungkin akan diperlukan postulat yang lebih banyak lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun