Mohon tunggu...
Boil
Boil Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja dalam soenyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Galuh Banjar (Intan)

9 Februari 2012   08:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari masih garang memelototiku, aku hanya bersembunyi di bawah rindang akasia sambil mataku menatap orang-orang yang tubuhnya berkubang dengan lumpur. Sebagian mereka nampak serius menggali tanah merah kekuningan, dan sebagian lagi asik memainkan alat yang mirip topi caping dengan ukuran besar dalam pelukanya, gayanya mirip orang yang sedang menari, melenggang-lenggang.

Dan di sudut kananku terduduk nampak beberapa orang sedang mengatur selang yang diarahkan dari sebuah mesin dumping, bunyinya memenuhi areal yang dulunya hanya anak sungai kecil yang kini telah mirip sebuah danau yang ditemani jurang-jurang yang terjal nan menyeramkan.

Aku mencoba mendekati seorang pria yang membawa legangan [ alat memilah batu yang mirip caping ].

" Apakabar Pakacil, kolehan juakah hari ini? [ apakabar paman, ada dapet gak hari ini].
" Nang kaya ini pang Nang ae, kada tantu nasib urang mandulang galuh itu, syukur-syukur dapat galuh, dapat amas atawa jamrud halus gin syukur dah, tapi lamun kada kolehan jua mau kada mau ya ngumpulakan koral gasan diolah akik atawa bahan bangunan [ ya beginilah nasib pendulang intan, syukur-syukur dapat intan, dapat emas atau jamrud ya disyukurin aja, tapi kalo gak ada dapat, mau gak mau ngumpulin kerikil buat dibikin akik atau sebagai bahan bangunan].

Aku menyimak pembicaraan bapak tua disampingku sambil sesekali kami menikmati sebatang rokok dan sebotol air mineral yang kubawa.

Tak terasa hari mulai sore, akupun segera menyusuri jalan setapak di areal pendulangan intan tersebut. Setelah aku puas memilih-milih beberapa batu kerikil yang bisa diasah untuk menjadi hiasan mata cincin dan liontin.

" Agh, dulunya batu-batu ini geratis kudapatkan, namun sekarang sudah dihargai Rp 1000 perbijinya. Tak apa-apalah, karena merekapun butuh makan sepertiku.

Aku tatap sekeliling areal pertambangan rakyat itu. Ada perasaan sedih, karena lingkungan semakin nampak berantakan, dan daratan telah menjadi kubangan yang mirip danau dan jurang. Erosi dan banjir siap tuk dinikmati kapanpun bila sang hujan datang dengan derasnya.

Cempaka banjarbaru, riwayatmu dulu.
Disinilah intan-intan itu berasal, dan kota martapura sebagai tempat mengolah dan menjualnya.

Ket : galuh = intan

banjarbaru 90212
bvb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun