Senja telah merayap pelan menuju malam. Lampu-lampu di atas langit mulai berkedip manja menyapa sepasang mataku. Sedikit demi sedikit penat mulai menggerayangi punggung dan pantatku, sudah lebih dari dua jam aku duduk bersama lelaki berambut cepak di sampingku.
Tentunya telah puluhan puntung rokok yang sudah kami kumpulkan dalam asbak tembikar. Tiang dan atap pendopo mungkin telah jenuh dengan bicara kami yang ngalor ngidul.
" Monggo kopinya di sruput lagi mas, nyantai saja selagi rasa masih setia, he he he.
" Matur suwun mas, hehe sampean bisa aja. Boleh saya numpang ke belakang bentar mas, soalnya sudah dua cangkir saya minum kopinya, hehe nyuwun sewu gih.
" Oh, boleh, monggo biar saya antarkan ki sanak.
Akupun segera bangkit dari duduku, berjalan membelakangi lelaki berambut cepak yang baru aku kenal siang tadi di tepian jurang. Aku mulai mempersilakanya ke kamar kecil di ujung dapur. Namun ketika aku mencoba berpaling, tak sengaja tangan kananku menyentuh dadanya. Darahkupun spontan berdesir, ada yang janggal dari tamu lelaki berambut cepak ini.
Aku mencoba mengamatinya dari belakang. Matakupun menyelidik dari kaki yang terbungkus celana jeans hitam yang bergaya metal, kuamati cara dia berjalan.
" Mas apa jeng ya, hmmm dadanya yang nampak bidang terbungkus jaket hitam itu terasa kenyal. Agh!
.
..
...
~¤~
trotoar banjarbaroe 31/07/12
bvb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H