Matahari sudah merangkak tepat di atas ubun-ubunku. Teriknya tak membuat tubuhku yang lemah dan menggigil tak membuatku merasa gerah. Aku hanya menatap sekitarku yang penuh dengan aneka kuliner yang membawa aroma khasnya menyambangi penciumanku.
Tubuhku nampak semakin lemah. Karena sedari pagi tak ada sebutir nasi atau secuil makanan apapun yang dicerna perutku. Perih, cuma itu yang dapat kurasakan dalam perutku yang kian terdengar irama rock and roll ala cacing-cacing didalamnya.
Sekali lagi aku hanya bisa menatap beberapa buah warung makan yang berjejer di seberangku. Sesekali kurogoh ke dalam saku celanaku, berharap ada sebuah keajaiban tentang selembar kertas bergambar proklamator tercinta. Namun lagi-lagi hanya gumpalan kertas kasbon yang kulipat serapi mungkin.
Belum habis lamunanku tentang sebuah keajaiban. Mendadak dibuyarkan oleh tepukan tangan halus di pundaku. Wajahnya begitu menawan dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai. Begitu harum tercium dikedua lubang hidungku.
" Hey Mas, kok melamun sih? Kenapa, cerita dong.
" Eh, gak kok Tik. Nyantai aja.
" Beneran? Tapi kok badanmu gemetaran, matamu merah lagi, kenapa dengan kamu mas?
" Oh, anu Tika, aku, aku AIDS Tik.
" Apa mas, ya ampun mas, kenapa bisa sampai begini? Kita ke rumah sakit sekarang ya mas, bentar aku mau telpon teman aku dulu biar dia jemput kita di sini pake mobilnya, mau ya mas...
" Jangan Tik aku mohon jangan!
" Sudah mas diem aja.