Waktu terus saja menggelinding. Tapi aku masih saja menatapmu disini, di tempat dimana dulu kita bertemu. Saat rambutmu yang panjang kau biarkan terurai dibelai bayu yang semilir. Dan kitapun duduk menatap air yang berlarian dalam anak sungai, sambil sesekali kita titipkan penat pada gemericik mereka yang bening meliuk diatas kerikil pada dasarnya.
Aku ingin menitipkan kabar pada camar, tapi aku malu pada mega yang menggumpal. Sebab mereka pasti mendengar bisik rinduku. Maka biarlah kuputuskan lewat puisi diatas kertas putih. Dan kupatri sebuah komitmen dalam gumpalan daging berwarna cokelat bercampur darah.
" Jarak. Antara aku, kamu dan segara lepas.
Kita senantias menyaksikan detik pada jarum jam yang tak pernah tau rindu yang mengingin. Kita teramat egois kepada era, mendikte pada kuasaNya, padahal kita tahu ini hanya sebuah rasa yang bergelora.
Maka biarkanlah ini menjadi puisi, sebab komitmen telah terpatri.
" Long distance love. Hanya sebuah istilah buat raga kita, namun sukma kita selalu bertatap mata tiap detiknya. Sebab rasa kita ada diantaranya.
¤¤¤¤¤
hahahaha kok bisa ya gw bikin yang ginian * tepok jidat*
awas ye copas, gw sumpahin jadi presiden.
Bvb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H