Mohon tunggu...
Zainul Muttaqin
Zainul Muttaqin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep Madura. 18 November 1991. Alumnus Ponpes Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Pimpinan Redaksi Majalah Activita LPM STAIN Pamekasan Madura. Tulisannya dimuat di pelbagai media lokal dan nasonal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monolog Seorang Pelacur

31 Agustus 2014   16:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebentar lagi dia akan lewat di jalan itu. Seperti biasa jalannyadibuat-buat, pinggulnya dibuat bergoyang ke kiri ke kanan. Berlenggak. Layaknya seorang penari. Perempuan itu tampak menggoda, ia memainkan bibirnya yang penuh dengan lipstik tebal, dan ia memakai baju tipis sementara dadanya dibiarkan sedikit terbuka. Wajahnya penuh dengan ekspresi, selalu ia begitu.

Jika pada jam itu orang-orang berada di Mesjid, anak-anak kecil belajar mengaji. Melafalakan alif yang selalu salah. beberapa rumah tertutup, ada juga beberapa rumah yang terbuka. Mereka memandanginya yang entah berarti apa. Perempuan itu menyapanya dengan takzim, mereka diam tanpa ekspresi. Percakapan lirih terdengar ketika perempuan itu menghilang ditelan pengkolan jalan.

Senok!” kata seorang ibu yang masih memakai mukenah. Begitulah selalu, sambil menunggu adzan isyak. Merekatak pernah melepas mukenanya. Meskipun tidak di musholla, memilih duduk santai di depan rumah. Gerah, katanya.

“Ah, Ibu jangan berkata seperti itu. Tidak baik” Suaminya menasehati.

“Tapi itulah kenyataannya” Rupanya Ibu itu tidak suka dengan perempuan itu.

“Tak usah bicara kejelekan orang. Lagi pula ini masih waktu maghrib, tak baik seperti itu”

“Najis!”

“Cukup bu, sudahlah itu urusannya, sudah isyak. Sebaiknya kita sholat”

Rupanya percakapan semacam ini selalu terjadi. Orang-orang kampung sudah mulai membicarakan perempuan itu, mereka menginginkan agar perempuan itu meninggalkan kampung. Perempuan itu bernama Lastri, sejak lahir ia tinggal di kampung itu. Tak ada alasan baginya untuk pergi dari tanah kelahirannya. Hanya saja akhir-akhir ini orang-orang kampung mulai tak suka dengannya.

Suatu pagi. Ibu-ibu sibuk menilik uban satu sama lain ditemani obrolan-obrolan ringan, mulai dari harga sembako yang selalu naik, sampai merembet membincangkan Lastri. Memang, sejak ditinggalsuaminya Lastri hidup seorang diri, dan satu minggu setelah kepergian suaminya. Ia menjadi buah bibir. Tepatnya setelah ia menjual diri.

“Memang tak ada cara lain apa? selain melacur?” kata ibu yang sibukmenelisik rambut temannya,

“Mungkin dengan begitu lebih mudah dapat uang” kata ibu yang lain.

“Padahal dulu ia sangat alim, sholatnya rajin. Tapi kenapa sekarang ia seperti itu?”

“Itu dulu. Tak ada yang tahu kehidupan manusia”

Matahari mulai meninggi. Ibu-ibu itu pulang membawa cerita masing-masing pada suaminya, sampai di rumah mereka akan bercerita. Dengan nada yang mengggebu-gebu. atau jika suaminya tidak di rumah. Maka pada waktu apapun mereka akan bercerita, sambil memasak, mencuci bahkan ketika habis mandi. Mereka akan bercerita. Tentunya dengan selalu mengatakan kalau Lastri adalah perempuan najis, sebenarnya mereka takut suaminya terpincut rayuan Lastri.

Lastri selalu tampak segar. Meski usianya tidak muda lagi, tubuhnya tampak mulus dan putih. Pahanya yang sengaja selalu dipamerkan terlihat menggoda. Namun ia tak pernah mau menjual dirinya pada lelaki-lelaki suami orang di kampung itu. Bahkan pada semua lelaki di kampung itu. Ia memilih membiarkan tubuhnya digerayangi lelaki-lelaki dari luar kampung.

***

Di depan cermin ia merias diri. Parfum beraroma tajam disemprotkan ke seluruh bagian tubuhnya, bibirnya tebal oleh lipstik berwarna merah. Seperti biasa, ia akan selalu lewat di jalan itu. Aroma parfumnya sudah tercium dari jauh, Tak asing lagi. Ia menyapa setiap orang yang ditemuinya dengan takzim. Tanpa ekspresi, mereka hanya diam.

Malam itu. Lastri belum juga lewat di jalan itu. Dia tak akan pergi. Baru saja ia mengunci pintu rumahnya. Tiba-tiba seorang lelaki kampung itu memintanya mengobrol sejenak, awalnya ia menolak. Karena ia tak pernah menerima tamu lelaki di rumah itu, dan ia tak mau menjual tubuhnya di rumahnya sendiri. Tapi lelaki itu menawarkan bayaran yang tinggi, lebih tinggi dari bayaran para lelaki hidung belang yang membeli tubuhnya.

“Kenapa kau mau membayarku hanya untuk sebuah obrolan?”

“Karena aku tahu. Yang kamu butuhkan uang”

“Jangan sok tahu!”

“Kalau tidak begitu kau tak mungkin melacur”

“Sebenarnya apa yang kau inginkan. Jika kau mau tidur bersamaku. Tidak di rumahku”

“Tidak, aku tak mau tidur denganmu”

“Lalu?”

“Aku ingin menikahimu” Mendengar kalimat itu. Lastri tertawa terpingkal-pingkal. Klasik, kata Lastri dalam hatinya.

“Bukankah semua lelaki seperti itu. Setelah menikahiku, lalu kau akan meninggalkanku. Sama seperti suamiku. Itu hanya cara agar kau bisa tidur denganku tanpa merasa berdosa. Bukan?”

“Tidak, aku benar-benar ingin menikahimu. Aku ingin kau keluar dari tempat berdosa ini, aku ingin menuntunmu ke jalan yang benar. Bukankah dulu kau seorang yang alim? dan Bukankah dulu kau tak pernah bisa melepas kerudungmu?” rupanya lelaki itu tahu banyak tentang Lastri.

“Itu dulu. Tapi sejak suamiku meninggalkanku demi perempuan lain. Aku senang dengan hidup seperti ini. Bukankah lebih berdosa seorang suami yang menghianati istrinya?” tanpa terasa air mata itu mengalir di pipi Lastri. Baru kali ini ia menangis begitu. Barangkali ia ingat masa lalunya yang menyedihkan.

“Lalu apalah arti perempuan bagi seorang lelaki? jika demikian, bukankah sebenarnya perempuan hanya menjadi pemuas bagi lelaki!”ia melanjutkan kata-katanya, tangis Lastri semakin tersedu.

“Tidak semua lelaki seperti itu. Dan aku bukan bagian dari itu” lelaki itu mencoba meyakinkan.

“Aku sudah tidak minat untuk menikah lagi. Aku tahu ini dosa besar, aku bisa taubat jika aku sudah bosan dengan pekerjaan ini. Karena dosaku hanya pada Tuhan, lagi pula Tuhan maha pemaaf bukan?” mendengar perkataan Lastri. Lelaki itu tak berkutik. Diam sambil berfikir, mungkin ada benarnya yang dikatakan Lastri.

“Lalu bagaimana jika kau tak sempat taubat?”

“Kenapa kau yang risau. Ini hidupku, aku yang menanggung dosanya. Tak usah sok suci!”

Tanpa terasa malam semakin larut. Aroma parfum Lastri mulai tak tercium wanginya, lipstik di bibirnya memudar. Seperti janji, lelaki itu membayar Lastri. ia tak berhasil membujuknya. Begitulah sebenarnya Lastri, segala bentuk rayuan lelaki tak pernah didengarnya. Mungkin trauma dengan masa lalu.

***

Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan lewat di jalan itu dengan wangi parfumnya yang khas. Serta pinggulnya yang berlenggak seperti memainkan komposisi menari. Sungguh menarik mata yang memandangnya. Hanya saja, malam ini lebih awal ia lewat di jalan itu, ketika anak-anak kecil masih berlarian menuju Mesjid juga beberapa ibu yang akan sholat jamaah di mesjid. Suami-suaminya juga pergi ke Mesjid.

Ia mempercepat langkahnya. Sehingga ia bagai memainkan komposisi menari dengan cepat, pinggulnya menghentak ke kanan ke kiri, tetap tampak seksi. Beberapa pengeras suara di Mesjid mengumandangkan adzan. ia semakin mempercepat langkahnya, agar tak ada seorangpun yang melihatnya. Itu mustahil. ia berpapasan dengan beberapa ibu bermukenah putih. Ia menyapa dengan takzim. Tanpa ekspresi, mereka hanya diam. Tapi saat perempuan itu sedikit menjauh dari mereka. Bisik-bisik diantara ibu-ibu mulai terdengar.

Senok!” kata salah seorang ibu sambil menaik turunkan bahunya dengan ekpresi kecut. Tanda merasa jijik dengan Lastri.

“Pezina!” ibu yang lain menimpali dengan ekspresi yang sama.

“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana di neraka nanti. Katanya kelaminnya akan ditusuk dengan api” tambah ibu yang lain.

Astagfirullah, kita tidak bisa menghakimi seseorang seperti bu. bahkan kita mencacinya. Agama kita tidak mengajarkan seperti itu. Justru kita harus mengingatkannya, bukan justru mencibirnya” kata seorang ibu yang paling sepuh. Beberapa ibu itu terdiam sejenak.

“Sulit rasanya bu, dia sudah memilih jalan itu”

“Tak ada yang tidak mungkin bagi Allah, entah mitos atau cerita di kitab-kitab. Dalam kisah ada seorang pelacur masuk surga karena hatinya terketuk oleh seorang lelaki beriman. Kita sebagai muslim tidak pernah menunjukkan sikap sebagai seorang muslim. Bisanya hanya menghakimi dan mencaci orang yang menurut kita itu hina. Bisa-bisa kita yang masuk neraka, karena kita belum tentu lebih baik dari seorang pelacur” kata ibu yang sepuh itu. Petuahnya membuat ibu-ibu yang lain diam merenungi kata-kata itu. Lalu mereka seperti kehabisan kata untuk memperbincangkan Lastri.

Sejak itulah ibu-ibu di kampung itu mulai tak memperbincangkan Lastri, meski ada beberapa ibu yang masihselalu menghujat Lastri. Entah dendam atau apa. Baginya. Lastri perempuan murahan. Suatu ketika Lastri melewati rumahnya. Ibu itu mencerca, sumpah serapah keluar darimulutnya bagai air mengalir dengan deras.

“Dasar pelacur!” Ibu itu bernama Sekar. Entah apa yang sedang merasukinya, ia mendaratkan tamparan. Keras sekali.

“Aku melacur, tak ada hubungannya dengan kamu” Lastri memegangi pipinya.

“Jelas ada, karena suamiku pernah tidur denganmu” Sekar meradang.

“Aku tak pernah meminta suamimu tidur denganku, karena aku tidak pernah tahu suamimu”.

“Dasar pezina!. perempuan murahan”.

“Katakan itu pada suamimu dan tanyakan kenapa suamimu lebih suka tidur bersama seorang pelacur? kalau kau katakan aku murahan. Maka suamimu lebih murahan. ”.

Begitulah yang sering terjadi. kadang kala Lastri diperlakukan layaknya seekor anjing. Tapi tetap saja Lastri memilih melacur. Karena sampai kapanpun pasti selalu ada orang-orang yang menghinanya. Kata Lastri mereka hanya bisa menghina tanpa pernah mengerti kehidupan pelacur sebenarnya. Lastri selalu berandai-andai menjadi orang kaya dan memiliki suami yang setia, ada banyak alasan bagi seorang pelacur memilih jalan kotor itu.

***

(Diceritakan…

Perempuan itu tidak lagi lewat di jalan itu. Dan tak akan pernah lewat jalan itu, tak ada aroma parfum menyemerbak. Atau langkah kaki dengan gaya yang dibuat-buat agar menggoda. Lastri sudah berhenti melacur. Berdasarkan sebuah kabar yang tersebar di kampung itu. Lastri mulai sakit-sakitan. Penyakit aneh bersarang di tubuhnya. Lebih anehnya, jarang -bukan berarti tak ada- penduduk kampung untuk menjenguknya.

Katanya, kelaminnya mengeluarkan aroma busuk lebih busuk dari aroma bangkai sekalipun. Sampai ia mati di atas ranjangnya dengan tangan bersedekap seperti seorang sembahyang. Bibirnya tersenyum tipis. Kematiannya tepat pada hari jumatLegi. Anehnya, bau busuk itu seperti lenyap tanpa ada sedikitpun yang tersisa. Orang-orang kampung saling menduga.

“Kalau mati hari jumat Legi berarti matinya Khusnul Khatimah”.

“Itu mitos”.

“Anehnya tubuhnya beraroma wangi, seperti kiai-kiai saat wafat juga menyemerbak aroma wangi”.

“Secara kasat mata, kita hanya bisa menduga. Tapi kita tidak tahu yang sebenarnya. Semoga saja Tuhan mengampuni segala dosanya”.

Maka tubuh Lastri dikubur di pemakaman kampung. Menjadi akhir dari monolog pelacur. Sampai hari ini tak ada yang tahu bagaiamana tubuh Lastri menyemerbak wangi pada kematiannya. Karena aroma itu persis seperti aroma pelacur, aroma itu tetap menjadi misteri.

Pamekasan Madura

Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep Madura. 18 November 1991. Alumnus Ponpes Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Cerpendan Puisinya dimuat di beberapa Media, seperti:Jurnal Nasional, Majalah Kuntum Yogyakarta, Majalah Almadina Surabaya, Banjar Masin Post, Merapi, Joglo Semar, Radar Surabaya, Radar Madura, Kabar Madura. Koran Madura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun