Tapi seiring bertambah dewasa, tabu itu hilang. Lingkungan-lingkungan kita yang eksklusif dalam belajar agama membuat kita paranoid terhadap yang berbeda agama, bahkan yang sekedar berbeda mazhab.
Efek dauroh mingguan kelompok A, menyalah-nyalahkan kelompok dauroh B. Pengikut Holaqoh 'anu' yang mengusung paham 'anu', menyalahkan pengikut jemaah Thoriqoh 'anu' yang mereka sebut ahlul bid'ah, ingkar sunnah, musyrik, bla..bla..
Sungguh mengerikan, begitu banyak hari ini yang salah kaprah dalam beragama. Semakin belajar agama, semakin paranoid terhadap yang berbeda agama. Semakin mengenal Tuhan, semakin menjauh dari sesama makhluq Tuhan. Beginilah persisnya cara belajar agama para teroris. Bukankah selalu terbukti bahwa lingkungan para tetangga teroris selalu berkata para terduga teroris itu selalu "eksklusif", jarang bergaul dengan tetangga, tapi mereka begitu akrab dengan sesama anggota jemaah kelompoknya sendiri.
Jika belajar agama membuat anda semakin jauh dari sesama hamba Tuhan, membuat anda membenci sesama makhluq Tuhan (bukan karena dia zalim atau berbuat kerusakan) maka pasti yang anda ikuti bukan "Agama Tuhan", tapi agama ashobiyyah (fanatisme kelompok).
Jika agama membuatmu menjadi semakin buruk sangka, membenci perbedaan, gampang men-cap buruk orang lain (bukan karena dia zalim atau berbuat kerusakan) maka kau harus mengecek yang kau sembah itu Tuhan atau egomu.
Caramu mempraktekkan agama lebih penting dari agama itu sendiri. Agama tidak membuatmu menjadi lebih mulia sampai tingkah lakumu dalam beragama yang membuatmu mulia.
Jadi teringat kata-kata Guru bangsa K.H Abdurrahman Wahid, "Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H