Permasalahan transportasi perkotaan merupakan suatu permasalahan yang telah berlangsung secara berkepanjangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan transportasi perkotaan yang ada muncul dari berbagai macam aspek seperti keselamatan, kenyamanan, kesehatan, serta kualitas dari prasarana dan sarana transportasi yang tersedia.
Penyebab utama dari munculnya permasalahan transportasi perkotaan yang terjadi di Indonesia adalah adanya ketidakseimbangan antara aspek supply (ketersediaan) dari fasilitas transportasi perkotaan yang ada, baik dari segi prasarana mapun sarana, dengan aspek demand nya (permintaan). Ketidakseimbangan antara supply dan demand ini disebabkan oleh tingginya angka urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) di Indonesia dimana fenomena urbanisasi yang terjadi kemudian turut berpartisipasi dalam meningkatkan angka kendaraan bermotor terutama jenis sepeda motor serta mobil penumpang di wilayah perkotaan.
Pada tahun 2013, terhitung sebanyak 51,4 persen penduduk Indonesia bermukim di wilayah perkotaan yang membuat Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan populasi urban terbanyak se-ASEAN setelah Malaysia. Angka ini kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2016 yang menyebabkan Indonesia kini menempati posisi pertama dengan persentasi sebesar 60%.
Hingga penghujung tahun 2014, oleh Badan Pusat Statistik Indonesia tercatat ada kurang lebih sebanyak 114.209.266 unit kendaraan yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia baik perkotaan maupun bukan perkotaan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 9,11% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 104.118.969 unit.
Permasalahan transportasi perkotaan yang adatentunya merupakan hal yang sangat penting untuk ditangani mengingat kebutuhan akantransportasi yang sangat tinggi serta peran dari transportasi perkotaan itusendiri sebagai prasarana bagipergerakan manusia dan/atau barang dan juga sebagai alat bantu untukmengarahkan pembangunan di daerah perkotaan. Perhatian terhadappermasalahan transportasi perkotaan mulai terlihat dengan didirikannya TheCentre for Sustainable Urban Transportation pada tahun 2002 di Kanada yangkemudian berhasil melahirkan konsep “Sistem Transportasi Berkelanjutan” dimanaterdapat 3 komponen yang dianggap mewakali konsep tersebut yaitu :
Sebagai upaya dalam merealiasasikan transportasi perkotaan yang berkelanjutan,, di Indonesia kemudian diterapkan pendekatan Manajemen Kebutuhan Perjalanan atau Transport DemandManagement (TDM). Manajemen kebutuhan perjalanan sendiri merupakan suatu manajemen yang bertujuan untuk mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi yang ada di wilayah perkotaan.
Dalam pelaksanaanya, harus terdapat keseimbangan antara faktor push dan faktor pulldari manajemen kebuuhan perjalanan ini sendiri dimana faktor push, merupakan upaya untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi dengan membebani biaya perjalanan yang lebih besar, memberikan pembatasan fisik lalu lintas, maupun regulasi. Sementara itu, faktor pull merupakan upaya untuk mengembangkan sistem angkutan umum dengan biaya terjangkau agar pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Salah satu contoh pelaksanaan TDM pada wilayah perkotaan di Indonesia terdapat di Kota Bogor yaitu proyek pengembangan fasilitas bagi pejalan kaki (jalur pedestrian).
Proyek pengembangan fasilitas bagi pejalan kaki di Kota Bogor dilaksanakan dalam 9 tahapan yang telah berlangsung sejak tahun 2012 dimana jalur pejalan kaki yang dibangun merupakan jalur yang saling terintegrasi antar satu dengan yang lainnya yang menghubungkan jalan - jalan protokol di Kawasan Pusat Kota Bogor. Pelaksanaan proyek dimulai pada ruas jalan Nyi Raja Permas yang kemudian dilanjutkan pada ruas jalan Kapten Musihat di tahun 2013.
Hingga saat ini, proyek pengembangan fasilitas bagi pejalan kaki di Kota Bogor telah memasuki tahapan akhir (tahap 4, 5, 7 dan 8) dimana pada tahap ini, jalur pedestrian yang dikembangkan merupakan jalur pedestrian yang berada di sekitar kawasan Kebun Raya dan Istana Bogor dan Jalan Padjajaran. Pembangunan jalur pedestrian pada tahap ini direncanakan akan rampung pada 22 Desember mendatang.
Sejauh ini, adanya pengembangan jalur pedestrian di Kota Bogor telah menuai banyak pro dan kontra. Ada pihak yang menilai jalur pedestrian yang ada nantinya tidak akan berfungsi secara optimal atau sebagaimana harusnya dan hanya akan menambah kemacetan di Kota Bogor. Tidak optimalnya fungsi dari jalur pedestrian di Kota Bogor dapat terlihat pada ruas Jalan Nyi Raja Permas dimana jalur pedestrian yang ada justru dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL) untuk menjajakan barang dagangannya. Selain itu, adanya jalur pedestrian tidak diimbangi dengan reformasi (perbaikan) dari angkutan umum perkotaan yang ada yang membuat adanya jalur pedestrian di Kota Bogor dirasa kurang dapat menekan penggunaan dari kendaraan pribadi oleh masyarakat.