Seratus Perak
Aku tidak akan tau apa yang akan terjadi denganku jika hari ini aku tidak bekerja. Mugkin aku akan kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan. Mungkin aku juga akan kehausan karena tidak bisa membeli sebotol soda minuman favoritku. Jangankan untuk membeli sebotol soda,segelas air putih pun tidak mampu aku beli jika penghasilanku hari ini tidak mencapai dua ribu rupiah. Kadang aku haya menelan air ludahku sendiri untuk mengobati rasa haus yang tak tertahankan, terkadang aku juga hanya memita segelas air putih kepada penjual minuman di setasiun dengan tampang memelas. Itu pun jika merek mau memberiku segelas air putih dengan Cuma-uma.
Ya, aku hanya seorang anak kecil berusia 14 tahu yang mejadi seorang glandangan di ibu kota. Bayak orang yang memandangku tidak berharga, bahkan ada yang memandang diriku seperti sampah ibu kota yang tidak berguna.
Berawal dari bakatku bernyayi dan sebuah gitar kecil tua dalam genggamanku aku berinisiatif untuk mencari uang untuk menyambug hidupku dengan menjadi seorang musisi jalanan. Bahasa kasarnya aku hayalah seorang pengamen jalanan.
Di lampu merah aku menukarkan suaraku dengan uang seratus perak, di perumahan aku mengetuk pintu setiap rumah peduduk berharap mereka memberiku sekeping uang seratus perak atau berharap selembar uang hijau yang diberikannya padaku. Itulah kesibukan sehari-hari yang aku jalai dibawah kolong langit ini. Bergelut degan panasnya matahari siang, bertahan dari sesaknya udara-udara kotor kota metropolitan ini. Kehidupan yang berat bagi seorang anak kecil sepertiku.
Aku tidak habis pikir megapa semua ini terjadi padaku, aku tidak habis pikir mengapa jalan hidupku sesulit ini. Pernah aku berpikir ini adalah anugrah dari Sang Maha Esa, pernah juga aku berpikir ini adalah kutuka dari Sang Maha Esa. Namun jika ini anugrah mengapa yang kurasakan sesakit ini? toh kata orang anugrah itu mengembirakan, namun apa sebaliknya? Dan jika ini kutukan, kesalahan fatal apa yang pernah aku lakukan? Ini nampaknya menjadi misteri bagi diriku sendiri dan tak tahu kemana aku mencari jawaban atas teka-teki kehidupan ini.
Walau kehidupanku amat berat tapi aku masih bisa mesyukurinya. Banyak orang di luar sana lupa akan hal mengucap syukur karena mereka berkelimpahan harta. Mata mereka seakan-akan buta karena sebuah kekayaan dan kekuasaan yang tidak lain itu hanyalah kenikmatan sesaat di dunia. Mereka sering lupa atau pun tidak mau untuk sekedar member sedekat kepada orang-orang kecil seperti ini.
Sisi lain di kehidupan jalan sering pula banyak kutemuhi hal-hal yang menimpang. Teman-teman seperjuanganku sering mencopet dompet-dompet tebal milik anak kuliahan atau milik tante kaya. Namun aku tidak ikut-ikutan hal yang buruk itu. Aku masih diberi kekuatan, ketabahan dari yang Maha Pencipta untuk terus berjuag walau dengan cobaan yag begitu berat ini. Mengamen adalah caraku bersyukur dan beribadah karena dari mengamen aku mampu memahami tentang arti syukur itu. Toh didalam hidup ini kita sebagai manusia haya bisa berusaha dan berusaha hasilnya Allah SWT yang menentukan.
Untung saja aku punya teman seperjuangan yang masih bisa menguatkaku untuk menjalani hidup, Doni namanya. Doni sangat mengerti keadaanku begitupun aku mengerti keadaan Doni. Nasib kita hampir sama. Jika Doni menjadi pengamen karena kedua orang tuanya telah meninggal lain halnya denganku. Orang tuaku masih hidup tapi akau tidak tahu dimana mereka berada karena berawal dari sebuah perceraian akhirnya aku menjadi pengamen jalanan hingga saat ini.
Hari demi hari aku lalui bersama sahabatku Doni. Kita megamen bersama, aku bermain gitar dan menyanyi,Doni memukul drum yang terbuat dari peralon bekas bangunan. Sesederhana itu kami menjalaninya dan hasilnya juga sederhana sekali. Beruntung sekali jika kita mendapat uang receh banyak. Sisanya masih bisa kita tabung, sisanya lagi kadang dipalak oleh pengamen-pengamen stasiun, dan sedikit sekali untuk kami gunakan makan dan minum.
Hingga suatu ketika masalah menimpa Doni sahabatku. Hal yang tidak pernah aku bayangkan bisa terjadi. Aku melihat Doni tergletak ditengah jalan simpang lima. Mirisnya lagi tidak ada orag yang perduli pada Doni. Tidak ada yang mau menolong ataupun membopong Doni kepinggir jalan. Aku sempat berpikir apakah karena kita adalah orang-orang kecil hingga tidak ada yang meolong ditengah kondisi miris. Terpaksa aku lari miniggalkan warung minuman yang aku singgahi tadi menuju jalanan besar simpang lima untuk membopong Doni ke pinggir jalan.