Mohon tunggu...
mufid fiddin
mufid fiddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

saya adalah pribadi yang sangat suka dengan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Nikmatnya Merokok yang Membawa Petaka

18 Oktober 2014   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu itu hari munggu, aku sedang menemani sekaligus menjaga temanku yang sedang terserang penyakit yang membuatnya tidak bisa jalan di sebuah rumah sakit ternama di pekanbaru. Karena asuransi yang digunakan hanya kelas 3, tentu saja mendapatkan fasilitas kamar yang dalam ruangan itu diisi oleh 7 pasien, lain dengan orang-orang yang menjaganya. Luas ruangannya kira-kira 8 x 12 meter. Ruangan itu terlihat begitu sempit, dan tentu saja membuat sesak untuk sekedar mendapatkan rasa nyaman.

Temanku ini masih muda, kira-kira usianya baru 26 tahun. Sedangkan pasien lain yang menghuni tempat tidur di ruangan itu rata-rata sudah tua semua, umurnya di atas 50 tahunan.

Seorang ibu lantas menghampiri kami dan mengajak berbincang-bincang ringan yang pasti berupaya melepas rasa jenuh dari menunggu orang yang sedang sakit. Ibu itu yang pertama kali membuka pembicaraan dengan bertanya temanku itu sakit apa. Setelah kami jawab, untuk upaya timbal balik, kami pun juga bertanya tentang sakit suaminya yang sedang terbaring lemah di samping temanku itu.

Dengan sedikit terlihat berat, ia menjawab sedih “paru-paru dek.” Ujarnya dengan wajah yang tak bahagia. Dan tanpa diminta, ibu itu melanjutkan ceritanya. Katanya, suaminya itu sangat kuat sekali merokok, tidak bisa dilarang, ditegur, apalagi dinasehati. Sepertinya rokok sudah menjadi menu wajib yang harus dinikmati setiap hari selain nasi, bahkan, kalau di suruh milih antara nasi dan rokok, ia pilih rokoknya. Saat sudah tua seperti ini baru menikmati akibatnya, batuk yang berkepanjangan, nafas yang serba pendek-pendek, dan sakit yang tak berkesudahan. Ini saja beruntung dibawa ke RS, kalau tidak, ia pasti akan tetap merokok walau kondisinya sangat sakit begini. ujar ibu itu dengan bibir yang sinis. Sambil sesekali terdengar suara batuk lirih dari suaminya yang terbaring lemah itu.

Mendengarkan cerita ibu itu, kami pun hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala pertanda paham dari yang diceritakan ibu itu, dan tanpa komentar sekidikit pun, karena memang terasa segan juga untuk berkomentar. Usai bercerita itu, sang ibu kembali menghampiri suaminya itu meninggalkan kami. Aku dan temanku itu pun saling pandang setelahnya, merespon dari cerita ibu itu.

Tak lama dari itu, seorang laki-laki yang masih terlihat gagah juga menghampiri kami. Ia datang dari tempat tidur yang sebelah kiri, sementar ibu tadi dari sebelah kanan. Mengawali pembicaraan, pria itu juga melontarkan pertanyaan yang sama dengan ibu tadi mengenai sakit sahatbatku itu. Dan tentu saja, setelah kami menjawab, kami gantian bertanya. Jawabannya cukup mengejutkan “ayah saya sakit paru-paru, akibat rokok yang terlalu banyak. Tak bisa dicegah, tak bisa dikasih tau, dan tak bisa disuruh berhenti. Tetap saja menikmati asap yang katanya nikmat itu. Tidak dibelikan, ia beli sendiri. Sudah dijaga agar ia tidak keluyuran membeli rokok, ia menyuruh anak-anak yang tampak, atau malah cucunya yang disuruh beli. Sekarang baru terasa saat kondisinya sudah seperti ini, tak berdaya dan baru menyadari selama ini telah menikami yang akan menyiksa dirinya sendiri.” Ujar pria itu dengan wajah yang terlihat sedih. Aku bisa merasakan kesedihannya. Sebagaimana anak yang orangtuanya sedang sakit, tentu saja hatinya pasti sedih.

Usai cerita, pria itu kembali kepada ayahnya yang sedang mengeluh sakit. Pasien yang satu ini sakitnya terlihat lebih parah dari suami ibu yang cerita pertama kepada kami tadi. Pasien ini terlihat muntah-muntah setiap 10 menit sekali. Sampai-sampai hati ini terasa jiji. Satu sisi juga merasa ikut sedih karena sakit yang diderita itu.

“kita mungkin sering tak menyadari, khususnya bagi para perokok, bahwa apa yang dianggab nikmat saat masih muda dihisap itu akan menjadi petaka di kemudian hari. Saya beruntung bisa berhenti dari belajar menghisap asap itu karena belum terkan candu waktu masih sekolah dulu. Dan bukan maksud memberikan kesombongan karena saya tidak merokok, tapi saya hanya ikut bersedih tatkala teman, sahabat bahkan saudara akan mendapatkan penyakit yang sama dari yang saya ceritakan ini. Semoga saja bisa menjadi bahan pertimbangan.”

Mufidin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun