Siang itu begitu panas. Matahari yang bersinar tak di bayang-bayangi oleh awan. Di dalam sebuah gubuk yang atapnya terdiri dari seng tidak dilapisi dengan paltfon, membuat pantulan panas sangat terasa di dalam rumah, membuat kami yang berada di dalamnya berkipas-kipas gerah. Aku dan keluarga sedang berkumpul karena aku dan adikku baru pulang dari sekolah, semantara ayah dan ibu baru pulang dari kebun untuk bertani. Waktunya makan siang sehingga kami berkumpul walau makannya tidak bersama.
Karena tidak ada kegiatan siang itu, aku berinisatif mengajak adikku untuk menangkap ikan di parit rawa yang sering kami lewati ketika akan ke kebun. Adikku pun setuju, kami bersiap menyiapkan peralatan yang dikenal dengan nama anco dikampungku, yaitu sebuah jaring segi empat dengan panjang sekitar satu meter lebih di semua sisi dengan di beri bambu berukukan jari tangan yang panjangnya lebih dari satu meter juga di masing-masing sudutnya. Lalu masing-masing ujung bambu yang tidak bersentuhan dengan jaring dimasukkan dalam pipa kecil yang sudah diikat menyilang. Dikampungku alat semacam ini sangat dikenal dan digemari, karena bisa menangkap semua jenis ikan. Kalau menggunakan pancing tentu hanya ikan-ikan tertentu saja yang bisa ditangkap.
“Mak, kami nanti cari ikan di bekoan yang mau ke ladang ya?” pintaku pada ibu sambil menikmati nasi bersayurkan kangkung buatan ibu tercinta.
“Ya, yang pengting hati-hati, jangan sore-sore pulangnya, bantu mamak cuci piring nanti.” Pesan ibu pada kami.
Dalam keluargaku, memang tidak ada sosok perempuan kecuali ibu. Saat itu orang tua kami memiliki anak lima, yang kesemuanya laki-laki. Dua yang paling kecing belum sekolah. Sedang aku sudah kelas 6 SD, dan adikku baru kelas 2. Ayahku saat itu hanya diam, tidak ikut campur dengan rencana kami, mungkin karena lelah usai bekerja dari kebun.
Setelah semua peralatan selesai kami persiapkan, kami pun berangkat menuju tempat pencarian ikan. Sebuah rawa yang sangat sepi dari keramaian manusia, karena berada di samping hutan. Sangat sepi. Yang terdengar hanya hembusan agin yang masih segar belum tercemar polusi yang menyapa dedaunan, dan tentu saja suara nyaian burung bareka macam dalam alam bebasnya.
Begitu sampai, aku dan adikku begitu semangat memasukkan anco itu ke dalam parit yang dibuat untuk batas lahan. Panas mentari yang terik itu pun kalah dengan semangatku. Perlahan ikan-ikan mulai kami dapatkan, mulai ikan sepat, ikan lele, ikan gabus, dan macam-macam ikan sungai.
Tak terasa, matahari sudah beranjak menuju senja, sinar yang tadi terasa panas, kini terlihat kuning dan tidak lagi terasa hangat. Ikan pun lumayan banyak kami dapatkan. Lebih dari kata cukup untuk kebutuhan makan satu hari dalam keluarga. Karena sudah terlihat sore, kami pun bergegas pulang.
Sesampai dirumah, ibu terlihat senang, karena ikan yang kami dapatkan memang terlihat bayak dan juga besar-besar. Ikan itu masih pada hidup, lalu di tampung ke dalam sebuah ember yang besar, ikan itu terlihat berenang-renang.
Ketika ibu menyuruh kami untuk menyiangi ikan-ikan itu, sayang rasanya. Karena terlihat ikannya besar-besar, dan juga terlihat masih begitu segar, aku pun punya rencana lain.
“Mak, kita jual saja ikannya!!!” aku memberikan tawaran
“Sama siapa?” tanya ibu
“Sama agen yang biasa lewat kalau sore itu loh, Mak.” Tambahku meyakinkan ibu.
Dikampungku memang salah satu desa yang dikenal banyak menghasilkan ikan rawa. Sehingga ikan-ikan itu menjadi salah satu rezki yang diberikan Tuhan bagi warga kampungku untuk menyambung kehidupan memutar roda ekonomi.
“Ya sudah kalau gitu” ujar ibu menyetujui.
Lantas ikan yang sudah berada dalam ember itu aku simpan di dapur rumah dengan ditutup oleh talam besar yang atasnya diganjal batu agar ikan itu tidak melompat. Sembari menunggu agen ikan itu lewat saat-saat manghrib seperti biasanya. Tetapi setelah ditunggu, manghrib malam itu agen ikan yang sudah aku tunggu itu tidak lewat. ‘ah, mungkin hari ini dia tidak mengambil ikan, besok dia pasti lewat’ ujarku dalam hati.
Setelah hari kemaren berlalu, hari ini aku masih menunggu agen ikan yang aku hanya kenal wajahynya itu lewat di saat waktu menjelang manghrib. Aku sengaja cepat mandi untuk menunggunya. Tetapi, sampai lewat jam tujuh malam, agen itu belum juga terlihat, sementara ibuku sudah memanggil-manggil untuk belajar mengaji-satu aktivitas mengisi waktu malam yang selalu dilakukan anak-anak seusiaku di kampung.
Ikan-ikan yang ada dalam ember yang kami tangkap kemaren itu kondisinya semain kurus, karena tidak makan dan tidak pula aku beri makan, yang pada saat menangkapnya aku lihat kira-kira sampai sekitar 4 kilo gram, kini terihat hanya tinggal 3 setengah kilogram. Sementara ayahku, sudah mulai bosa melihat ikan tangkapan itu.
Ayahku memang tidak suka dengan ikan sungai, dengan bau amisnya pun ia sangat alergi, bahkan bisa sampai muntah ketika bau amis ikan itu sudah terasa sangat menyengat di hidungnya, oleh sebab itu lah ia mulai tak nyaman.
“Sudahlah, disiangi saja lah ikan itu din, entah kapan pun mau kau jualnya, udah buat sesak pulak rasanya dirumah ini !!” ucap ayah malam itu setelah usai mengaji dengan mimik tubuh yang marah.
Aku hanya diam. Ibuku juga diam. Dalam hati aku memang merasa takut pada kemarahan ayah,aku juga merasa kalau ikan itu aku siangi sendiri dan untuk makan keluargaku rasanya terlalu banyak.
Sampai pada di pagi hari minggu yang libur sekolah setelah dua hari ikan itu aku tangkap, ikan itu belum terjual. Ikan itu aku letakkan di tengah rumah karena di dapur sering ada kucing yang coba membukanya.Sekitar jam 9 pagi, aku masih asik bermalas-malasan dan belum bercuci muka setelah bangun tidur, wajar hari libur. Tiba-tiba ayah terdengar marah-marah dan membangunkanku untuk sengera menghilangkan ikan-ikan itu dari rumah. Aku pun masih hanya diam.Terlihat ayah sangat marah, karena tidak dapat lagi menahan emosinya, ayah tiba-tiba menumpahkan ember yang berisi ikan-ikan itu di rumah itu juga. Spontan ikan-ikan itu berserak di lantai rumah yang masih tanah. Lantai menjadi basah dan ikan melompat-lompat kesana-kemari. Aku bingung menangkapnya.
“Buang saja ikan-ikanmu ini. Buat semak rumah saja!!!” bentak ayah dengan wajah merah dan pergi berlalu meninggalakan rumah. Ibu yang sedang sibuk di dapur pun langsung mengampiriku dan terkejut melihat ikan-ikan itu berserak di lantai rumah. Dan ibu membantuku mengukut ikan-ikan itu dan menyuruhku untuk menyianginya. Aku pun menyiangi ikan-ikan itu dan dibantu oleh ibu.
Setelah selesai, ibu menyuruhku untuk menjual ikan itu kepada salah seorang tetangga yang lumayan kaya, tetangga itu memang biasanya mau membeli ikan dari orang-orang yang menjual kepadanya untuk dijadikan lauk bagi mereka.
“Malu, Mak,” ucap ku berat. Masih terasa takutku atas kemarahan ayah tadi.
Ibu terlihat kecewa. Dibibirnya yang biasa ramah itu tidak terlihat senyum, bahkan terlihat sangat kaku. Namun dengan kasih sayangnya, ia tidak memarahiku. Ia lantas mengambil kantung plastik dan membungkus ikan-ikan itu lalu bergegas pergi meninggalkan rumah.
Hatiku sangat lirih. Aku gemetar. Takut dari kemarahan ayah, dan gemetar telah mengecewakan ibu dan menjadikannya ikut menanggung dari ulahku ini. Aku tak bisa berkata-kata. Diam duduk di belakang rumahdengan pikiran yang beragam. Tiba-tiba suara ibu mengejutkanku dari arah belakang
“Ikannya udah dibeli sama buk Ina, laku 5.000.” Kata ibu sambil menunjukkan uang 5.000 dan akan memberikannya padaku. Aku tak kuasa. Aku bangun menuju arah ibu dan aku peluk ia dengan tangis. Tak kuhiraukan sama sekali uang 5000 itu. Dalam hati yang ada hanya kekaguman betapa besar kasih sayangmu ibu, rela malu demi anakmu yang pemalu ini.
Cerita dari sudut desa yang sepi di kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H