Mohon tunggu...
Lina Amalina, S.Pd.
Lina Amalina, S.Pd. Mohon Tunggu... lainnya -

Saya seorang guru Bahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Air Mata Penyesalan

26 Oktober 2014   12:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:42 4764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AIR MATA PENYESALAN

karya     : Lina Amalina, S. Pd.

Babak I

Di tengah rumah, seorang ibu tua renta sedang merapikan kue-kue yang akan di jual. Ia sudah dua tahun menjanda. Suaminya telah meninggal dunia dikarenakan penyakit jantungnya. Ia tinggal bersama dua orang anaknya. Kedua anaknya menempuh pendidikan pada sekolah yang sama. Ratih, anak pertamanya,  sudah tingkat akhir sedangkan Seli, anak keduanya, baru tingkat satu. Untuk menghidupi keluarga, sang Ibu tersebut berjualan kue.

Ibu          : (merapikan kue-kue yang akan di jual ke dalam toples lalu memanggil Ratih) “Ratih! Ratih!”

Ratih       : (berteriak dari dalam kamar) “Tunggu sebentar dong, Bu! Cerewet sekali Ibu ini!”

Ibu                          :  (memanggil kembali) “Ratih! “

Ratih       : (keluar dari kamar dengan penampilan yang urakan) “Ada apa sih, Bu? Dari tadi teriak terus. Memangnya aku ini tuli apa?”

Ibu          : (masih membereskan kue) “Tolong antarkan kue-kue ini ke warung bu Ijah sebelum pergi ke kampus!”

Ratih                       : “Kan biasanya juga Ibu yang mengantar. Kenapa Ibu suruh aku?”

Ibu                          : “Ibu sedang tidak enak badan, Nak!” (batuk-batuk)

Ratih                       : “Kalau begitu suruh saja Seli!”

Ibu          : “Dia juga sedang tidak enak badan. Hari ini dia tidak akan masuk kuliah.”

Ratih       : “Alah, paling juga dia pura-pura sakit.”

Ibu          : “Dia memang lagi sakit. Tadi waktu Ibu periksa, badannya panas sekali.”

Ratih       : “Ah, Ibu ini selalu saja memanjakan dia. Kapan Ibu akan memanjakan aku?”

Ibu          : “Ibu tidak pernah memanjakan dia. Kasih sayang yang ibu berikan terhadap kalian sama.”

Ratih       : “Bohong! Buktinya, waktu itu Ibu pernah berjanji akan membelikan aku HP. Tapi sampai sekarang, mana?”

Ibu          : “Bukannya Ibu tidak mau membelikan kamu HP, tapi uang Ibu kan belum cukup untuk membelinya. Ibu sedang menabung. Mana pengeluaran kamu dan adikmu sangat banyak.. Apalagi kamu sebentar lagi wisuda. Sabar ya, Nak!”

Ratih       : “Alah, sabar, sabar. Sampai kapan? Aku tahu, Ibu hanya pandai mencari alasan. Ibu sebenarnya tidak menyayangiku. Jangan-jangan aku ini bukan anak Ibu.”

Ibu          : “Hati-hati kalau berbicara, Nak!”

Ratih       : “Sudahlah, Bu! Aku mau kuliah.”

Ibu          : (memberikan kue-kue dagangannya) “Jadi kamu tidak mau mengantarkan kue-kue ini?”

Ratih       : (mengambil toples itu, lalu menumpahkan isinya sehingga kue-kue dari dalam toples itu berserakan di lantai).

Ibu          : (mengusap dada sambil memandang Ratih dengan tajam).

Ratih       : “Kenapa? Ibu tidak suka? Ibu ini pura-pura bego atahu memang bego? Masih saja bertanya mau atahu tidak. Sudah jelas aku ini malas, Bu. Gengsi!”

Ibu          : “Apa? gengsi? Apa kamu tidak sadar? Kamu bisa kuliah uangnya dari mana kalau bukan dari berjualan kue? Kalau tidak mau tidak usah seperti ini. Ibu susah payah membuat kue ini. Kamu tidak pernah sama sekali menghargai kerja keras Ibumu ini. Apa kamu tidak sadar? Siapa yang ada di hadapan kamu ini? Aku ini Ibu kandungmu, Nak.”

Ratih       : “Mau Ibu kandung, mau Ibu tiri, mau Ibu angkat, aku tidak peduli. Percuma aku mempunyai seorang Ibu yang tidak sayang terhadap anaknya. Sekarang, Ibu ingin aku menghargai kerja keras Ibu. Baik. (mengambil kue yang berserakan lalu melemparkannya ke wajah Ibu) Sebagai bentuk penghargaanku terhadap kerja keras sang Ibu.” (tersenyum sinis).

Ibu          : (menangis).

Seli         : (keluar dari kamar sambil batuk-batuk) “Ada apa ini, Bu? (memungut kue-kue yang berserakan).

Ratih       : (mendorong Seli hingga terjatuh) “Heh, anak kecil, kamu tidak perlu ikut campur!”

Ibu          : “Ratih, jangan kasar seperti itu! Kasihan adikmu, sedang sakit.”

Ratih       : “Ah Ibu, lagi-lagi Seli, lagi-lagi Seli. selalu saja dia yang dibela. Sudahlah, Bu! Aku mau kuliah.” (pergi sambil menendang pintu).

Ibu          : “Ratih!” (terkulai lemas dan menangis).

Seli         : (memeluk Ibu) “Sudahlah, Bu! Jangan terlalu memikirkan Kakak! Sekarang biar aku saja yang mengantarkan kue-kue ini.”

Ibu          : (melepaskan pelukan seli) “Tidak usah, Nak! Kamu kan sedang sakit. Lagi pula, kue-kue ini sudah terlanjur berserakan.”

Seli         : “Kalau begitu, sekarang lebih baik Ibu istirahat. Ibu sudah terlalu lelah. Biar nanti aku saja yang membereskan kue-kue ini. Mari Bu, aku antar ke kamar!” (mengantar Ibu ke kamarnya).

Babak II

Hari semakin malam. Ratih tak kunjung pulang. Ibu sedang menunggunya di tengah rumah bersama Seli.

Ibu          : (mondar-mandir tampak cemas) “Sudah larut malam begini, kakakmu belum pulang juga.”

Seli         : “Mungkin sebentar lagi, Bu. Ibu sabar saja!”

Ibu          : “Kenapa kakakmu akhir-akhir ini berubah ya?”

Seli         : “Aku juga heran, Bu. Penampilannya jadi urakan. Belum lagi sikapnya yang sering marah-marah. Terus sekarang ini, dia mulai berani melawan Ibu.”

Ibu          : “Ibu juga heran, kenapa dia terus memaksa Ibu untuk membelikan HP?”

Seli         : “Mungkin karena lingkungan bergaulnya, Bu.”

Ibu          : “Memang lingkungan bergaulnya seperti apa?”

Seli         : “Sepengetahuanku, akhir-akhir ini dia sering bergaul dengan anak-anak berandal di kampus. Mereka senang sekali berfoya-foya.”

Ibu          : (kaget) “Apa? Sepertinya, Ibu yang salah. Ibu tidak bisa mendidiknya dengan baik.”

Seli         : “Tidak, Bu! Ibu tidak salah.”

Ratih       : (datang tanpa mengucapkan salam langsung pergi ke kamar namun Ibu cepat mencegatnya).

Ibu          : (menarik tangan Ratih) “Tunggu! Dari mana saja kamu? Sampai pulang larut malam begini.”

Ratih       : (melepaskan tangan Ibu dan membentak) “Ah, Ibu tidak perlu tahu. Bukankah, Ibu sudah tidak sayang lagi terhadapku?”

Ibu          : “Ibu masih sayang kamu, Nak.”

Ratih       : “Omong kosong!”

Seli         : (marah) “Kakak sudah berani ya, melawan Ibu? Sudah masuk tanpa permisi. Berani pula membentak Ibu.”

Ratih       : (membentak sambil menunjuk hidung Seli) “Heh, kamu tidak usah ikut campur!”

Tiba-tiba terdengar suara HP berdering.

Ratih       : (mengangkat telepon) “Halo, Sayang! Iya sebentar lagi aku ke sana. Tunggu di tempat biasa ya! Dah, Sayang!”

Ibu          : “Ratih, dari mana kamu mendapat uang untuk membeli HP?”

Ratih       : “Ibu tak perlu tahu. Yang jelas ini bukan uang Ibu. Ibu tidak mampu kan untuk membeli HP semahal ini? (menunjukan HPnya) Aku sudah bosan hidup miskin, Bu.”

Seli         : “Kakak seharusnya bersyukur sudah bisa kuliah. Banyak orang-orang yang lebih susah dari kita. Tidak usah menginginkan yang bukan-bukan!”

Ratih       ; “Aku tidak butuh nasihatmu, anak kecil!” (memasukan HP ke dalam saku bajunya  lalu tidak sengaja jatuh sebungkus kecil serbuk putih).

Ibu          : (mengambil serbuk putih itu) “Apa ini?”

Seli         : (mengambil serbuk putih dari tangan Ibu) “Ini kan narkoba, Bu! Barang haram.”

Ibu          : “Ratih, kenapa jadi seperti ini?”

Ratih       : “Ibu tak usah banyak tanya. Yang jelas, (mengambil serbuk putih dari tangan Seli) karena ini aku bisa membeli HP.”

Seli         : “Tapi itu kan barang haram, Kak. Haram!”

Ratih       : “Sekali lagi kau bicara aku tampar.”

Seli         : (mengambil tangan Ratih lalu mendekatkannya ke pipinya) “Tampar saja, Kak! Ayo tampar!”

Ratih       : (menampar Seli).

Ibu          : (membentak) “Ratih! Semakin kurang ajar ya kamu?”

Ratih       : “O, rupanya Ibu keberatan anak kesayangannya ditampar. Apa Ibu juga mau aku tampar?”(hampir menampar).

Seli         : (mencegah) “Jangan, Kak!””

Ratih       : “Sudah berapa kali aku katakan, jangan ikut campur urusanku!”

Seli         : “Astaghfirullaahal’azhiim! Kakak memang bukan kakakku yang dulu kukenal.”

Ibu          : “Ratih, apa kamu tidak sadar? Siapa yang membesarkanmu? Yang melahirkanmu dengan nyawa sebagai taruhan? Apa kamu hendak membalas air susu dengan tuba?”

Ratih       : “Ah, sudah, Bu! Kepalaku rasanya mau pecah kalau terus mendengar ocehan Ibu. Sekarang Ibu tidak usah lagi memikirkanku! Pikirkan saja di mana  Ibu akan dikuburkan? Ibu sudah bau tanah. Dan ... sebentar lagi ibu pasti akan mati. Ha ... ha ... ha.”(tertawa).

Ibu          : (menampar) “Kurang ajar! Dasar anak durhaka! Pergi kamu! Aku tak sudi lagi melihatmu. Dan ..aku tidak rela air susuku mengalir ditubuhmu. Kau bukan anakku lagi!” (menangis).

Seli         : “Iya aku juga tak butuh lagi Kakak sepertimu.”

Ratih       : “Baik, baik. Aku akan pergi. Lagi pula, aku juga tak butuh seorang Adik seperti kamu apalagi seorang Ibu seperti kamu!” (mendorong ibunya hingga terjatuh lalu pergi).

Seli         : (mememeluk Ibu sambil menangis) “Ibu!”

Ibu          : (batuk-batuk mengeluarkan darah penyakit radang paru-parunya kambuh.)

Seli         : “Ibu! Kita ke dokter ya, Bu!”

Ibu          : “Tidak usah, Nak. Ibu tidak apa-apa.”

Seli         : “Tapi, Ibu sakit. Ayo, Bu!”

Ibu          : (batuk semakin cepat dan semakin banyak mengeluarkan darah).

Seli         : (mengusap darah dari mulut Ibu) “Ibu! Darah Ibu semakin banyak. Ibu harus segera ke dokter.”

Ibu          : (kesakitan) “Sepertinya Ibu tidak akan lama lagi akan pergi. Maafkan Ibu ya, Nak! Ibu tidak bisa merawatmu sampai nanti. Ibu masih mempunyai sedikit simpanan untuk membiayai kuliahmu. Dan kalau bisa teruskanlah usaha Ibu menjual kue. Jaga dirimu baik-baik!”

Seli         : (terus menangis) “Ibu, jangan berbicara seperti itu! Ibu harus sembuh. Saya mohon!”

Ibu          : (sekarat) “Asyhadu ... alla .. ila ... ha ... illallah. Waasy ... ha ... du ... anna ... muhammadar .. rasu ... lullah!” (mati di pangkuan Seli).

Seli         : (menangis) “Ibu! Ibu ! Bangun, Bu! Jangan tinggalkan aku!”

Babak III

Pagi hari, Ibu sudah terbaring kaku di tengah rumah. Kain putih meliliti tubuhnya. Di atasnya di tutupi oleh kain samping. Para tetangga mengaji mengelilingi jenazah Ibu. Lantunan ayat-ayat suci bersahutan menyayat hati. Tiba-tiba Ratih datang dengan keadaan kaki yang terluka. Suasana mendadak menjadi sepi.

Ratih       : (berlari dengan kaki yang terluka menuju jenazah Ibu dan berteriak) “Ada apa ini? Ibu! Ibu! Bangun!”

Seli         : “Kenapa Kakak kembali lagi? Bukankah, sudah tidak butuh kami lagi? Sekarang Kakak puas? Melihat Ibu seperti ini? Ini semua akibat Kakak. Tadi penyakit radang paru-paru Ibu kambuh setelah Kakak pergi. Ibu sakit hati oleh Kakak. Ibu ... “

Ratih       : (memotong pembicaraan) “Cukup! Ini semua memang salahku. Aku tadi tertabrak mobil. Untung hanya kaki yang terluka. Mungkin ini hukuman bagiku. Aku menyesal dan tak pernah menyangka akan seperti ini.” (menangis).

Seli         : “Bukankah, Kakak menginginkan Ibu mati?”

Ratih       : (masih menangis) “Aku menyesal, Sel!”

Seli         : “Tak ada gunanya penyesalan di akhir. Sekarang Ibu sudah tak bernyawa lagi.”

Ratih       : “Aku benar-benar menyesal. Tolong maafkan aku! Terimalah kembali aku sebagai kakakmu!” (terus menangis).

Seli         : “Mohonlah ampun kepada yang Maha Pengampun! Bertobatlah! semoga dosa-dosa Kakak masih diampuni-Nya! Begitu juga dosa-dosaku. Baik. Aku mau menerimamu kembali sebagai kakakku. Sekarang kita antarkan jenazah Ibunda kita ke tempat peristirahatannya yang terakhir! Setelah itu, Kakak serahkan diri Kakak kepada pihak yang berwajib karena telah terlibat narkoba!”

Ratih       : “Baiklah, kakak akan lakukan semua itu. Maafkan Kakak, ya!” (memeluk Seli).

Akhirnya, Ratih harus menjalani hidupnya di penjara. Seli terus kuliah sambil meneruskan usaha Ibunya berjualan kue. Sang Ibu telah meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Penyesalan selalu ada di akhir.

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun