Mohon tunggu...
Lina Amalina, S.Pd.
Lina Amalina, S.Pd. Mohon Tunggu... lainnya -

Saya seorang guru Bahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Penguasa Abad 21

26 Oktober 2014   11:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:42 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naskah Drama ‘Penguasa Abad 21’

Di sebuah keraton tinggallah seorang permaisuri yang cantik menunggu kedatangan sang pangeran. Sang pangeran sudah lama tidak pulang.

Permaisuri

(berjalan mondar-mandir sambil memainkan kipasnya)

Aduh! Kapan ya Kanda pulang? Seandainya ia datang sekarang, pasti aku sangat senang! Eh, ngomong-ngomong kemana ya para dayang? (ke penonton) Ada yang melihat dayang-dayangku? Dayang! Dayang!”

Dayang I dan Dayang II

(datang)

Ia. Permaisuri.”

Permaisuri

“Kemana saja kalian?”

Dayang I

“Habis jalan-jalan dari taman.”

Dayang II

“Dia bohong. Aku yang habis jalan-jalan dari taman. Dia sebenarnya asyik pacaran.”

Dayang II

“Enak saja kau menuduhku. Dia yang pacaran, Permaisuri.”

Dayang I

“Dia!”

Dayang II

(bertengkar)

Dia !”

Permaisuri

(melerai)

Sudah! Sudah! Kalian sama saja. Kalian tahu kapan Kanda pulang?”

Dayang I dan Dayang II

Menekethe?”

Permaisuri

“Kalian ini tidak sopan ya sama Permaisuri?”

Dayang I dan Dayang II

“Ya maaf!”

Permaisuri

“Heh, tiada maaf bagimu!”

Dayang I

“Jangan begitu, Permaisuri! By the way, any way, bus way, Permaisuri sudah tidak tahan ya, ingin bertemu Pangeran? Sabar aja! Pasti dia datang.”

Dayang II

“Alah, lagaknya! Pakai sok-soan bahasa Inggris segala.”

Tiba-Tiba datanglah seorang pria tampan.

Dayang I dan Dayang II

(terpesona)

Waw! Siapa itu? Tampan sekali!”

Permaisuri

“Heh, siapa kau? Berani-beraninya datang kemari.”

Panji Asmara

(bersalaman lalu saling menatap)

Perkenalkan. Aku Panji Asmara. (merayau) Alangkah cantiknya, Permaisuri! Laksana bidadari turun dari kayangan.” (memegang dagu permaisuri. Permaisuri pun tersipu malu).

Pangeran datang bersama seorang pengawal.

Pangeran

(membentak)

Hentikan! Apa yang kau lakukan terhadap istriku?”

Permaisuri

(kaget)

“Kanda?”

Panji Asmara

“Aku terpesona oleh kecantikan istrimu. Aku ingin menikahinya. Sebentar lagi aku yang akan memimpin negeri antah berantah ini. Sebenarnya, sejak dulu aku ingin menguasai negeri ini. Hanya saja, saat itu aku belum mempunyai kekuatan. Dan, sekarang aku sudah mempunyai kekuatan. Aku sudah bertapa dan belajar ilmu silat. (memperlihatkan keris pusaka) Dan, keris pusaka ini adalah warisan dari guruku.”

Pangeran

“Apa? Kurang ajar! Lancang sekali kau bicara! Aku susah payah merebut kursi ini. Banyak sekali partai yang bersaing. Sekarang, kau ingin merebutnya? (tersenyum sinis) Jangan mimpi di siang bolong! Kau pikir, aku takut dengan kesaktianmu? (kepada pengawal) Pengawal!”

Pengawal

“Siap, Baginda!”

Pangeran

“Hajar dia!”

Pengawal

“Baik, Baginda. Melawan dia? (memetik jari) Kecil! Tapi ... “

Pangeran

“Apa?”

Pengawal

(tersenyum sambil memetik jari)

Biasa, Baginda.”

Pangeran

“Dasar matre!”

Pengawal

(memasang kuda-kuda)

“Ayo lawan aku!”

Pangeran

“Baik. Untuk melawanmu rasanya cukup dengan pukulan saja. Sayang apabila keris pusaka ini harus dilumuri oleh darah kau. Rasakan ini!” (memukul).

Pengawal

(bertarung dengan Panji Asmara lalu dia pingsan)

Pangeran

“Dasar pengawal pengecut! Bertarung saja tidak becus!”

Panji Asmara

(tertawa)

Pengawalmu sudah kubuat ikan pepes. Sekarang giliran kau! (menunjuk pengawal yang pingsan) Daripada kubuat ikan pepes seperti dia, lebih baik kau menyerah! Serahkan mahkotamu dan istrimu sekarang juga! Atau, kau mampus di tanganku?”

Pangeran

Sorry ya! Melawanmu? Siapa takut?

Pangeran bertarung dengan Panji Asmara. Pangeran pun kalah, tertusuk oleh keris pusaka Panji Asmara.

Permaisuri

(merangkul pangeran)

Kanda!”

Pangeran

(kesakitan)

Dinda, maafkan Kandamu ini!”

Permaisuri

(menangis)

“Kanda, jangan tinggalkan aku!”

Pangeran

(sakaratul maut)

Se ... la ... mat ting ... gal!” (mati).

Permaisuri

(menangis)

“Kanda!”

Panji Asmara

(tertawa)

Akhirnya mampus juga kau oleh keris pusakaku. Kini akulah penguasa negeri antah berantah ini dan kau, Manis (kepada permaisuri) akan menjadi milikku. Bagaimana?”

Permaisuri

“Bagaimana ya? Terima jangan? Tidak! Kau pembunuh!”

Panji Asmara

(merayu)

Ayolah, Manis!”

Dayang I

“Kalau permaisuri tidak mau, aku juga mau.”

Dayang II

“Aku yang lebih pantas.”

Dayang I

(bertengkar)

Aku!”

Dayang II

“Aku!”

Pengawal

(bangun dari pingsannya)

Daripada bingung lebih baik denganku saja, Permaisuri!”

Dayang I dan Dayang II

(menyoraki)

Huh!”

Dayang I

“Giliran mendengar wanita, dia bangun. Bukankah kau sedang pingsan?”

Dayang II

“Heh, pengawal jelek! Kalau mau ngomong, ngaca dulu dong!”

Pengawal

“Alah! Kalian ini suka pura-pura. Padahal sebenarnya kalian suka, kan? Kalian kagum kan, akan ketampananku? Coba kalian perhatikan! Wajahku tak jauh dengan Anjasmara, bukan?”

Dayang I

(tertawa)

“Anjasmara, tapi di lihat dari puncak Monas pakai sedotan.”

Dayang II dan Dayang I

(tertawa)

Pangeran

(bangun lalu tertawa)

“Bicara soal tampan. Tidak ada yang mengalahkan  ketampananku.”

Permaisuri

(kaget)

“Kanda? Bukankah Kanda sudah mati?”

Pangeran

“O iya ya? Aku lupa.” (mati lagi).

Permaisuri, Para Dayang, dan Panji Asmara

(pingsan)

Pengawal

“Lo, kok pada mati semua? Aku ikutan ah!” (hampir terjatuh tapi tertabrak oleh Panji Asmara yang bangun. Permaisuri dan para dayang pun bangun).

Pengawal

“Aduh! Baginda, kenapa bangun? Jadi saja aku tidak jadi pingsan.”

Panji Asmara

“Kalau kau mau pingsan, pingsan saja sendiri! (kepada Permaisuri) Permaisuri, bagaimana dengan tawaranku tadi? “

Permaisuri

“Baiklah. Aku bersedia menjadi istrimu.”

Pangeran

(bangun lagi)

“Dinda jangan mau!”

Permaisuri

“Lo, kok bangun lagi?”

Panji Asmara

“Heh, rupanya kau pura-pura mati ya? Baik. Sekarang aku akan membuatmu benar-benar mati!” (mengambil keris).

Pangeran

“E, eh, Jangan! Jangan! Baik. Sekarang aku akan benar-benar mati. Asli lo!” (mati lagi).

Pengawal

“ABCDE. Aduh Bo Cuape Deh Ekeu!”

Dayang I dan Dayang II

“Yu ... !”

Panji Asmara

“Baik. Mulai sekarang kau panggil aku Kanda dan aku panggil kau Dinda. (kepada Pengawal) Dan kau, Pengawal tolol!”

Pengawal

“Orang setampan aku, dibilang tolol. Sungguh teganya, teganya, teganya ... “

Panji Asmara

(memotong pembicaraan)

“Ah, sudah! Yang jelas, mulai sekarang kau harus taat terhadapku, mengerti!”

Pengawal

“Siap, Baginda!”

Panji asmara

“Nah, begitu dong!”

Tiba-tiba datanglah Ranggaseta anak dari Permaisuri dan Pangeran.

Ranggaseta

(naik ke pentas, menghampiri jenazah Pangeran dan menangis)

“Ada apa ini? Ayah? Kenapa kau? Bangun ayah! (kepada Permaisuri) Bunda, ada apa ini? Kenapa ayah mati? Siapa yang membunuhnya?”

Permaisuri

(memeluk Ranggaseta dan menangis)

“Anakku!”

Ranggaseta

“Ayo katakan, Bunda! Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

Panji Asmara

(kepada Permaisuri)

“Siapa dia?”

Permaisuri

“Dia anakku Ranggaseta.”

Panji Asmara

“O, rupanya kau sudah mempunyai anak. Kenapa tidak kau katakan dari tadi?”

Ranggaseta

(melepaskan pelukan ibunya)

“Bunda, siapa dia?”

Permaisuri

“Dia Panji Asmara yang akan menggantikan ayahmu.”

Ranggaseta

(kaget)

“Apa? Tidak! Aku tidak sudi mempunyai ayah tiri seperti dia!”

Panji Asmara

“Heh, anak kecil tahu apa? Baik. Aku juga tak sudi mempunyai anak tiri sepertimu! Lebih baik kau pergi! Atau kau mau kubuat seperti ayahmu?”

Ranggaseta

(marah)

“O, jadi kau yang membunuh ayahku? Bangsat!”(hendak memukul tapi dicegah oleh Permaisuri).

Permaisuri

(mencegah)

“Jangan, anakku! Kau tidak akan mampu mengalahkan dia. Dia sangat sakti. (kepada Panji Asmara) Kanda, jangan kau bunuh anakku! (kepada Ranggaseta) Anakku, aku tak mau kau mati seperi ayahmu. Terima saja ia sebagai ayah barumu. Dan relakan dia untuk menjadi penguasa negeri ini.”

Ranggaseta

(kaget)

“Apa? Aku tak rela jika dia yang menjadi penguasa negeri antah berantah ini. Cara memperoleh kekuasaannya saja sudah tidak baik. Dengan membunuh. Aku yakin hasilnya pun tidak akan baik. Negeri ini akan kacau. Rakyat akan menderita. Baik, Bunda. Aku juga tak mau mati konyol. “

Panji Asmara

“Heh, anak kecil tahu apa? Memangnya kau punya ilmu apa? Apa kau juga punya kesaktian seperti aku?” (memperlihatkan keris pusaka).

Ranggaseta

“Aku tidak punya kesaktian seperti kau. Akan tetapi, otakku bisa mengalahkan keris pusakamu itu.”

Panji asmara

“Maksudmu?”

Ranggaseta

“Kau berpikir menggunakan otot. Akan tetapi, aku menggunakan otak. Baik, kali ini aku mengalah. Aku akan pergi. Tapi bukan berarti aku kalah. Aku mengalah untuk menang. Aku akan melanjutkan pendidikanku di luar negeri.  Setelah itu, aku akan kembali. Kelak, aku yang akan menjadi penguasa di negeri ini. Dan kau penguasa bajingan, akan jatuh!”

Panji Asmara

“Aku tak yakin akan kata-katamu itu. Tapi, baik. Kuterima tantanganmu. Lihat saja nanti, siapa yang akan menang.”

Ranggaseta

(pergi)

“Selamat tinggal!” (pergi).

Permaisuri

“Anakku!” (hendak mengejar).

Panji Asmara

(mencegah)

“Jangan, Dinda! Biarkan dia pergi!”

Permaisuri

“Tapi dia anakku!”

Panji Asmara

Relakan saja, Dinda. Jika kau ingin mempunyai anak lagi, nanti akan kuberi.” (memegang tangan Permaisuri lalu pergi meninggalkan pentas bersama Pengawal dan Dayang-dayangnya).

Pangeran

(bangun)

“Hey! Tunggu! Aku ikut! Aku sekarang sudah benar-benar mati. Aku hantunya. (tertawa) Hi ... hi ... hi... !” (pergi meninggalkan pentas).

Satu tahun kemudian, Permaisuri,  Panji Asmara, Pengawal dan para Dayang naik ke pentas. Permaisuri dan Panji Asmara  duduk di kursi kerajaan. Pengawal berdiri di samping Panji Asmara sedangkan Para Dayang mengipasi Permaisuri dan Panji Asmara.

Panji Asmara

(tertawa sambil terus dikipasi para Dayang)

“Alangkah senangnya hidupku ini! (memegang dagu Permaisuri) Didampingi istri yang cantik, harta pun melimpah ruah.”

Pengawal

“Baginda sudah punya istri yang cantik sedangkan aku masih jomblo. Kapan aku bisa seperti Baginda?

Dayang I

“Sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang mau terhadapmu, Pengawal jelek!”

Pengawal

“Sudah kukatakan aku ini tampan! Makannya, pakai kacamata, dong!”

Dayang I

“Enak saja! Memangnya aku ini buta?”

Pengawal

(termenung)

“Bagaimana caranya ya agar aku segera mendapatkan istri yang cantik? (diam termenung sejenak) Aha! Aku dapat ilham!”

Dayang II

“Si Ilham mah masih di Garut!”

Pengawal

“Bukan Ilham yang itu! Ini ilham yang datang dari sini! (menunjuk dahi).

Panji Asmara

Memangya apa ilhammu itu, Pengawal tolol?”

Pengawal

“Begini. (kepada Dayang) Kalian juga belum punya pasangan, kan? Bagaimana kalau diantara kalian ada yang mau menjadi istriku? Atau kalau mau dua-duanya menjadi istriku. Kan lagi musim poligami. Sebuah ide yang cemerlang, bukan?”

Dayang I

“ Enak saja. Ku tak sudi dimadu! Lagipula siapa yang mau menikah denganmu? (menunjuk Dayang II) Lebih baik kau menikah dengan dia saja! Menurutku dia lebih pantas.”

Dayang II

“Lebih baik jomblo seumur hidup daripada harus menikah dengan dia.”

Pengawal

“Hati-hati kalau bicara! Nanti kalau aku diambil orang, bagaimana coba?”

Dayang I dan Dayang II

“Meneketehe?”

Pengawal

“Apa kalian tidak menyesall?”

Dayang I dan Dayang II

“Tidak tuh!” (memalingkan muka).

Tiba-tiba datang rakyat yang terkena busung lapar bersama utusan Cina.

Rakyat dan utusan Cina

Kami menghadap Baginda!”

Panji asmara

“Ada apa kalian datang kemari?”

Rakyat

“Lapor, Baginda! Rakyat banyak yang terserang busung lapar. Saya salah satu korbannya. Lihat perut saya semakin membesar! Harga-harga terus melonjak. Belum lagi di luar sering terjadi peperangan antar suku.”

Utusan cina

“Hayah. Oe juga mao lapor. Oe juga prihatin. Oe utusan dari Mongol mendapat perintah dari kaisar untuk memberikan surat ini.” (memberikan surat).

Panji Asmara

(menerima surat lalu membacanya)

“Saya turut prihatin terhadap kondisi negara Saudara. Apabila Saudara tidak sanggup, saya siap menggantikanya. (melempar surat) Enak saja! Saudara-saudara! Sejak kapan aku menjadi Saudara dia? Ingin merebut kekuasaan orang lain seenaknya.”

Rakyat

“Baginda, saya belum makan sudah tiga hari!”

Panji Asmara

Alah! Persetan! Mau lapar, mau perang aku tak peduli. Yang penting aku senang duduk di kursi ini didampingi istri yang cantik dan harta yang melimpah. Gue-gue, elu-elu! Betul tidak, Dinda?”

Permaisuri

(tersenyum)

Rakyat

“Baginda, anak saya di rumah juga sakit-sakitan. Saya tidak mempunyai biaya untuk membawanya pergi ke dokter. Dia juga terpaksa putus sekolah karena biaya pendidikan sangat mahal.”

Panji Asmara

“Itu bukan urusanku. Lagipula siapa yang menyuruhmu untuk membuat anak?”

Pengawal

(tertawa terbahak-bahak)

Panji Asmara

(membentak)

“Heh, siapa yang menyuruhmu tertawa?”

Pengawal

“Maaf, Baginda!”

Utusan Cina

“Hayah, sungguh tega Baginda bicara seperti itu.”

Rakyat

“Jika Baginda membiarkan kami begitu saja, semua rakyat bisa mati kelapran.”

Panji Asmara

Sudah kukatakan aku tak peduli. Pusing rasanya kepalaku mendengar ocehan kalian! (kepada Pengawal) Pengawal!”

Pengawal

“Siap, Baginda!”

Panji Asmara

Usir mereka!”

Pengawal

“Siap, Baginda! Tapi... (memetik jari) biasa, Baginda” (tersenyum).

Panji Asmara

Ah, kau ini dari dulu tidak berubah. Dasar mata duitan!”

Pengawal

“Bukankah masih banyak uang rakyat yang tersimpan, Baginda?”

Panji Asmara

Jangan buka kartu dong!”

Rakyat

“O, jadi selama ini kalian memakan uang rakyat? Pajak yang selama ini kami bayar, kalian makan? Pantas saja, fasilitas umum yang kami butuhkan sangat sulit. Dasar serakah!”

Panji Asmara

Pengawal!”

Pengawal

“Siap, Baginda!”

Panji Asmara

“Cepat usir mereka! Muak aku! Dari tadi siap-siap melulu.”

Pengawal

“Mana, Baginda?” (memetik jari).

Panji Asmara

(memberikan uang)

“Lama-lama kupecat kau!”

Panji Asmara

Jangan, Baginda! (kepada rakyat dan utusan Cina) Heh, pergi kalian!”

Utusan Cina

“Hayah, kau usir kami seenaknya. Kami tidak mau pergi. Penuhi dulu hak-hak rakyat, baru kami akan pergi!”

Pengawal

“E ... e ... e, banyak bacot ya! Ayo pergi! Kalau tidak, kupaksa kalian!”

Utusan Cina

“Kami tidak mau pergi!”

Panji Asmara

Budeg ya kalian! Pengawal! Potong telinga dia!”

Pengawal

“Baik, Baginda!” (mengeluarkan pedang lalu memotong telinga utusan Cina).

Utusan Cina

(kesakitan dan telinganya berdarah)

Auuuuuuuuu! Sakit! Ampun!”

Rakyat

“Dasar biadab!”

Pengawal

(menyeret utusan Cina dan Rakyat)

Ayo pergi!”

Rakyat

(meronta bersama utusan Cina)

“Lepaskan! Bangsat!” (meninggalkan pentas bersama pengawal dan utusan Cina).

Pengawal

(kembali masuk pentas)

Baginda, hamba telah menjalankan tugas!”

Panji Asmara

Bagus! Bagus! Kau ,memang pengawalku yang hebat!”

Pengawal

“Siapa dulu dong!” (menepuk dada).

Tiba-tiba datanglah seorang pria gagah dan berpenampilan sangat aneh.

Panji Asmara

“Heh! Siapa kamu?”

Ranggaseta

“Aku Panji Millenium. Anak tirimu yang dulu kau campakkan. Aku baru pulang dari luar negeri. Aku sekolah di sana. Sekarang aku sudah S4. Aku akan memenuhi janjiku.”

Panji Asmara

Anak tiri? Aku tak pernah punya anak tiri seperti kau! Ko, namanya mirip dengan namaku? Dilarang menjiplak namaku ya! Menurut Undang-undang, barang siapa melakukan penjiplakan nama orang, akan dikenakan hukuman kurungan penjara sekurang-kurangnya lima tahun atau denda sekurang-kurannya dua millyar. Mengerti?”

Ranggaseta

“Namaku memang bukan Panji Millenium. Dulu namaku Ranggaseta. Akan tetapi, semenjak aku pergi dari negeri ini aku ganti nama.”

Permaisuri

(memeluk Panji Millenium)

“Ranggaseta anakku! Kenapa penampilanmu jadi aneh? Mirip Zoro ya?”

Ranggaseta

(kepada Panji asmara)

“Kau bilang, penjiplakan nama adalah pelanggaran hukum? Alah lagaknya, sok menegakkan hukum. Kau sendiri tidak taat pada hukum. Bagaimana kau ini?”

Panji Asmara

“Maksudmu?”

Ranggaseta

“Apakah memakan harta rakyat bukan pelanggaran hukum? Apakah  menganiaya rakyat bukan pelanggaran HAM?”

Panji Asmara

“Alah, anak kecil tahu apa kau?”

Ranggaseta

“Aku bukan anak kecil lagi. Tadi sudah kukatakan, aku sudah S4.

Panji Asmara

“Mau S4, mau S teler, apa urusanku?”

Ranggaseta

“Ternyata benar dugaanku waktu itu. Jika kau menjadi penguasa, negeri ini akan kacau. Rakyat banyak yang mengadu terhadapku. Mereka semua menderita.”

Panji Asmara

“Sok pahlawan, kau! Tadi kau katakan bahwa kau akan memenuhi janjimu? Mana janjimu?”

Ranggaseta

“Aku sudah membuat organisasi bersama kawan-kawanku. Namanya Dewan Pembela Rakyat. Kami sudah membuat rancangan undang-undang baru. Setelah menyebarkan angket, 100 % rakyat setuju.”

Panji Asmara

“Apa? Mengapa aku tak tahu?”

Ranggaseta

“Karena kau hanya mementingkan urusan pribadi. Kau tidak pernah memperhatikan rakyat.”

Panji Asmara

“Lancang sekali kau ini! Akan ku bunuh kau!” (mengeluarkan keris).

Panji Millenium

“Baik terpaksa aku melawanmu. Kini aku sudah mempunyai senjata yang lebih moderen.” (mengeluarkan pistol).

Permaisuri

“Jangan, Anakku!”

Panji Millenium

“Tolong jangan halangi aku, Bunda! Aku terpaksa melakukannya. Demi negeri ini.”

Panji Asmara

“Baik. Aku tak takut.”

Pengawal

“Baginda, kenapa Baginda tidak menyuruhku untuk menghabisi dia?”

Panji asmara

“Tidak. Biar kali ini aku yang menghabisi dia.”

Permaisuri

“Jangan! Kalian jangan saling membunuh!”

Dayang I dan Dayang II

(panik)

“Iya. Jangan!”

Ranggaseta

“Rasakan ini!” (menembak)

Dayang  I dan Dayang II

(pergi meninggalkan pentas)

“Tidak!”

Panji Asmara

(kesakitan lalu mati)

“Auuuuuuuuuu! Brengsek!” (mati).

Pengawal

“Hey, kau telah membunuh majikanku, rasakan ini!” (mengeluarkan pedang tapi Panji Millenium menembaknya).

Pengawal

(kesakitan)

“Auuuu!”(mati).

Permaisuri

(menghampiri Panji asmara dan menangis)

“Kanda! Jangan tinggalka aku! (kepada Ranggaseta) Kau bukan anakku lagi! Kau pembunuh! Baik, aku akan pergi bersamanya.” (mengambil keris Panji Asmara)”

Ranggaseta

“Jangan, bunda!”

Permaisuri

“Selamat tinggal!” (menancapkan keris).

Ranggaseta

“Bunda! Kenapa kau lakukan ini?”

Permaisuri

“Aku terpaksa anakku! Maafkan ibumu ini yang tidak bisa merawatmu! Ibu memang salah terlalu mengikuti keinginan ayah tirimu. Sekarang kaulah yang memimpin negeri ini. Jadilah pemimpin yang sanggup memegang amanat! Selamat tinggal!” (mati).

Ranggaseta

(menangis)

Bunda! (kepada penonton) Rakyatku, tak ada artinya keserakahan. Janganlah terbuai oleh harta, tahta dan wanita! Kini aku akan membentuk sebuah negara baru. Akulah PENGUASA ABAD 21!”

Akhirnya, rakyat hidup tentram setelah Ranggaseta alias Panji Millenium menjadi Penguasa

***Naskah ini dibuat saat aku duduk di kelas 1 SMA tahun 2003.

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun