Kita sangat ingat betul dengan peristiwa 1998-1999. Bahkan siapapun yang hidup pada tahun itu pasti sangat merasakan kejadian yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang telah menjabat kurang lebih selama 30 tahun lamanya. Pada tahun 1998-1999 kita sangat paham betul dimana pada saat rezim orde baru telah menggiring masyarakat Indonesi yang notabenenya mayoritas beragama islam. Menjadi masyarakat matrealis dan hedonis, yang pada praktenya Allah SWT. Yang sejatinya menjadi Tuhan mereka yang patut disembah dan dupuji menjadi tersisihkan. Padahal jika kita cermati bersama, pada tahun 1998-1999 selain sebagai peristiwa runtuhnya rezim orde baru, pada tahun tersebut juga sebagai peralihan tahun masehi 1999 bertepatan dengan jatuhnya bulan suci ramadhan pada saat itu.
Kita semua juga tahu bahwa tidak ada bulan yang lebih mulia dibanding bulang ramadhan, bulan dimana Allah SWT menurunkan semua rahmatnya, melipatgandakan amal kebajikan yang dikerjakan pada bulan ramadhan, serta menutup rapat-rapat pintu neraka. Kaum muslim yang beriman akan senantiasa merindukan datangnya bulan tersebut. Mereka senantiasa menjadikan ramadhan untuk berusaha melatih dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengendalikan diri dalam bulan yang penuh berkah tersebut. Dengan hadirnya bulan ramadhan, mereka berusaha dan berlomba-lomba untuk mencari dan menemui keheningan bulan yang mulia tersebut.
Keheningan bulan yang didalamnya berbanjiran rahmat dan Rahim Allah SWT. Mengingatkan kembali kepada semua manusia untuk kembali melihat jati diri mereka sebagai hamba Allah SWT, mengabdi dan memuji-Nya, setelah bulan-bulan sebelumnya mereka tidak memikirkan-Nya bahkan ada sebagian yang melupakan-Nya. Mereka juga bisa menjadikan ramadhan sebagai bulan evaluasi atas kegiataannya sebelum ramadhan datang. Oleh sebab itulah ketika ramadhan datang, ini adalah momen yang sangat tepat untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri, baik lahir ataupun batin.
Dari sinilah kita melihat relevansi, hikmah yang bisa kita ambil bahwa bertepatan dengan untuhnya orde baru yang dianggab sebagai tahun kebangkrutan Indonesia, tahun tersebut juga peralihan tahun 1998-1999, bertepatan dengan datangnya bulan yang sangat mulia, yaitu bulan ramadhan. Menyadari hal yang demikian, saya ulangi lagi bahwa pada bulan yang sangat mulia ini, kita sebagai masyarakayt Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dapat dengan jernih melihat kembali apa yang terjadi di negri kita pada tahun 1998.
Namun meskipun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa kita akan lebih prihatin dan sedih jika mengingat kondisi pada tahun 1998. Terutama kondisi perekonomian, inflasi yang sangat tinggi, kerusahan diberbagai tempat, dan berbagai kerusakan-kerusakan yang lain. Kejadian yang demikian (ketidakteraturan) yang serba hitam, seakan megkritik dan sekaligus mengajak kita untuk merenungkan kembali tentang falsah pancasila yang sampai saat ini kita jadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam sila pertama yang berbunyi, ‘Ketuhanan yang Maha Esa,’. Dimana pada saat Pak Harto memimpin Indonesia kurang lebih selama 30 tahun, telah menjadikan kita lupa atas esensi dan pengamalan sila pertama tersebut. Kita tahu, kita juga faham bahwa pada saat kepemimpinan dipegang oleh Pak Harto masyarakat digiring untuk berfikir dan bekerja sebagaimana masyarakat matrealis dan hidup heddonis. Dimana kesalehan umat islam yang pada saat itu telah terlanjur digiring kepada gaya macam hidup yang demikian, akibatnya Otoritas dan kebesaran Tuhan kian tersisihkan. Waktu kita terkuras hanya untuk mengusi daging dan memanjakan jasad kita. Mengurus sukma dan jiwa yang seharusnya kita utamakan justru semakin terabaikan, jika tidak mau bilang hanya sekedar sebagai sambilan belaka.
Kita lebih sering mengingat dan bahkan melibatkan Allah SWT. Pada forum-forum ibadah, yang mana itu semua tidak lebih dari sekedar didorong kepentingan-kepentingan kita sendiri khususnya yang bersifat duniawi. Bahkan tidak jarang Allah SWT. Sering kali kita ajak dalam urusan kepentingan dunia tersebut. Lantas apakah itu yang dimaksud dengan mengingat Allah SWT.?
Barang kali karena hal itulah, ketika krisis 98 memenerpa negri ini. Kita merasa perlu untuk mendekat kepada-Nya. Kita kelabakan dan seakan kehilangan akal dalam menyikapi peristiwa krisis tersebut. Krisis itulah yang akhirnya menyeret kris lain yang berkepanjangan, yang lebih parah lagi krisis tersebut berdampak kapada lebih parahnya keadaan yang semakin tidak menentu. Dari perbaikan yang sejatinya kita kehendaki, alih-alih kerusakan yang kita peroleh. (Bisri, A. Mustofa. Membuka Pintu Langit, Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2007).
Allah SWT. Selalu mengingatkan kita dalam menjalankan kehidupan didunia, baik dalam kitab suci-Nya al Qur’an ataupun ayat-ayat semesta yang kita saksikan setiap saat. Dalam al Qur’an Allah megingatkan kita supaya tidak meniru orang-orang yang melupakan Allah SWT. Sebab mereka yang melupakan Allah SWT. Bisa jadi karena sibuknya mereka dalam mengejar kehidupan dunianya, mereka terlalu sibuk dengan mempertaruhkan yang lain, akibatnya mereka dibuat lupa sendiri akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai khalifah-Nya. Dan orang yang lupa diri, maka dia akan lupa kemanusiannya. Hal ini sebagaimana Allah jelaskan dalam Q.S: al Hasyr(059): 19. “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah SWT. Sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik”.
Bila kita kaitkan dengan refleksi memasuki tahun 1999, dimana pada saat itu kita telah memasuki bulan ramadhan yang sangat mulia. Saat yang sangat tepat untuk memperbaiki diri, mendekatkan kita kepada Allah SWT. Harapannya dengan hadirnya ramadhan tersebut, perenungan kita yang mendalam dapat mengantarkan kita kepada diri kita kembali sebagai manusia yang dimuliakan-Nya. Manusia yang telah memiliki akal dan hati, bertanggungjawab sebagai hamba dan khalifah-Nya. Manusia tidak hanya melihat dan menonjolkan kepentingannya sendiri. Manusia yang adil dan beradab.
Masnusia yang demikian akan dapat berbicara dari hati ke hati dengan sesamanya. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kehidupan kita sendiri, bangsa Indonesia merasa memiliki kapasitas melakukan perbaikan. Diharapkan dengan pikiran jernih dan hati yang bersih dapat memikirkan dan membicarakannya dengan orang-orang lain dalam suasana yang layaknya sebagai saudara, kemudian melakukan dan melaksanakan agenda perbaikan kehidupan bangsa dan Negara kita dengan sebaik-baiknya. Sedangkan komponen bangsa yang lain yang ikut memiliki Negara ini, dengan iktikad yang sama, dapat mendukung secara tulus agenda bersama itu.
Setelah ramadhan selesai kita akan memasuki dan merayakan Iedul Fitri. Bagi mereka yang berhasil menyerap hikmat dan berkah bulan ramadhan, hati mereka menjadi lapang. Orang yang demikian menjadi ringan dalam menerima maupun memberikan ma’af kepada sesama manusia, tidak perduli seberapa besar kesalahan manusia itu. Maka apakah momentum yang berharga akan kita lupakan begitu saja?.
Kebanggaan kita selamai lebih ditunjukan dengan gaya hidup yang kian hari semakin hedonis. Pembangunan manusia seutuhnya yang telah dikobar-kobarkan mulai dari orde baru sampai sekarang, sebagaimana bunyi petikan lagu Indonesia raya “……..bangunlah jiwanya, bangunlah badanyya……..”, pada kenyataanya hanyalah membangun badan, raga dan daging, jiwanya tidak tersentuh apalagi terbangun. Bahakn tidak hanya itu, pembangunan agama saja ini dimaksudnya pembangunan fisiknya, bangunan mensjid dan tempat-tempat ibadah yang lain. Bahkan olahraga yang saat ini telah dibina dan dibangun oleh para jendral dan mentri dengan terus menaikan aganggaran yang setiap tahunnya selalu bertambah, sementara pembangunan jiwanya jarang dilakukan bahkan mungkin sengaja diabaikan. Akibatnya kita menjadi masyarakat khas materialistis seperti yang kita anut dan kita contoh, baik dalam hal makanan, pakaian, maupun gaya hidup yang berlebihan. Ancaman terhadap jasad lebih kita takuti ketimbang ancaman kepada jiwa kita, padahal jika kita mau melihat lebih jauh ancaman jiwa lebih gawat daripada sekedar ancaman fisik/jasad.
Kita dibuat lupa dengan ‘isi kepala kita sendiri/jati diri bangsa kita’, kekaguman dan peniruann yang kita lakukan terhadap budaya dan gaya hidup yang berlebihan telah melupakan nilai-nilai mulia kita sendiri. Lebih ironis, kita seakan asing dengan norma-norma dan ajaran kita senddiri. Cara berfikir yang demikian, diam-diam telah menyeret kita untuk mengikuti selera mereka para kaun hedonis. Kita lebih pede makan di McDonald dan minum CocaCola daripada makan di warung padang dengan minum wedang jahe. Pola hidup yang demikian tidak hanya berlaku pada cara makan, gaya rambut, berpakaian ataupun menikmati hidup yang lain. Sangat ironis, meskipun kelihatan sangat sepele namun itu semua berimplikasi memudarnya ajaran kita sendiri sebagai jati dir bangsa. (Bisri, A. Mustofa. Membuka Pintu Langit, Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2007).
Dengan menikmati gaya hidup yang demikian, ajaran kita sendiri melihat dunia hanya sebagai “wasilah” bukan “tujuan akhir” diam-diam sudah kita tinggalkan dan perlahan-lahan semakin tertinggal. Disadari ataupun tidak kita semua telah memandang dunia sebagai ghoyah, tujuan hidup bukan sebagai sarana atau wasilah. Pendidikan yang pada mulanya dimaksudnya sebagai wujud dari pembangunan manusia, namun realitanya pendidikan saat ini hanya dipersiapkan untuk melahirkan dan diarahkan untuk mencetak manusia yang “pintar” menguasai dunia. Akibatnya manusia-pun hanya dipersiapkan untuk membangun kehidupan duniawi. (Bisri, A. Mustofa. Membuka Pintu Langit, Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2007).
Kehidupan yang hanya berorientasi kepada kedunpan belaka, ditambah sikap penguasa yang hanya berorientasi kepada penguasaan dunia, maka Tuhan akan memberikan Shock Therapy dengan mencolokan pada mata kita. Model kepemimpinan seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh Saddam Husain, Soeharto dan para pemimpin dunia yang lain. Dengan ambisi menguasai dunia, mereka menjadi gelap mata; membantai kemanusian dengan perasaan bangga, membajak dengan tidak menghirakan suara nurani dunia. Mereka akhirnya menjadi tuli, bisu, buta dan tidak bisa berfikir jernih.
“Allah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka[1] akan mendapatkan azab yang berat” (Q.S: al baqarah(002): 7).
Sudah menjadi kebiasaan Tuhan, bahwa ketika menghendaki menghncurkan sebuah kaum, dimulai dengan mencabut kemanusiaan dari penguasannya. Hal ini bisa kita lihat bagaimana, Fir’an yang telah dicabut kemanusaan dan penguasaanya. Kejadian tersebut juga berlaku pada Negara-negara islam yang lain, bagaimana para pengusanya telah menjerumuskan kaumnya kedalam kehancuran, dengan mengabaikan pesan-pesan Ilahiyah-Nya yakni dengan menjadikan kehidupan duniawi sebagai tolak ukur kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dengan tidak mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kehidupan dunia.
Jika benar demikian, itu artinya kaumdunia telah dihadapkan dengan ancaman kehancuran total, tidak hanya dinegara-negara ataupun pada agama-agama tertentu saja, melainkan semua umat manusia akan mengalaminya. Itulah hari kiamat, dimana tidak ada satu makhluk-pun didunia ini yang akan selamat dari kedahsyatan hari kiamat tersebut. Kecuali Dzat Allah SWT. Dan makhluk-mkhluk-Nya yang dikehendaki.
Meskipun demikian, kita tidak lantas berputus asa menyikapi kondisi dunia seprti yang demikian. Kita bisa menciderai Schock Therapi Tuhan dengan “Tidak” menjadikan “kehidupan” kita hanya berorientasi pada kehidpun dunia saja. Lebih tepatnya kita juga harus memikirkan kehidupan kita setelah hidup didunia, yakni kehidupan akhirat. (Bisri, A. Mustofa. Membuka Pintu Langit, Jakarta: PT Kompas Gramedia, 2007).
[1]Akibatnya nasehat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk kedalam hati mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H