Mohon tunggu...
Rahmah Fitroh
Rahmah Fitroh Mohon Tunggu... -

Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Pemikiran Filsuf Islam tentang Manusia

31 Mei 2014   04:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


  • 1. Al-Farabi

Manusia adalah makhluk yang terakhir dan paling mulia yang lahir di atas bumi ini. Terdiri dari dua unsur, yaitu jasad dan jiwa. Jasad berasal dari alam ciptaan dan jiwa berasal dari alam perintah (alamu’ l amar). Berdasarkan perbedaan antara jasad dan jiwa, jelas bahwa jiwa merupakan unsur yang lebih penting daripada jasad. Karena pada dasarnya jiwa dianggap sebagai hakikat manusia.

Menurut Al-Farabi, kesatuan antara jiwa dan jasad mempunyai substansi yang berbeda karena binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut an-nafs al-nathiqah yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad dari alam khalq, berbentuk, berupa, dan berkadar. Jiwa ini diciptakan jika jasad siap menerimanya.

Jiwa manusia mempunyai daya-daya berikut:


  • 1.Daya gerak, yaitu:

a.Makan

b.Memelihara

c.Berkembang


  • 2.Daya mengetahui, yaitu:

a.Merasa

b.Imajinasi


  • 3.Daya berpikir, yaitu:

a.Akal praktis

b.Alam teoritis

Pemikiran Al-Farabi tentang jiwa diwarnai oleh pemikiran para filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Konsep Aristoteles yang diterima oleh Al-Farabi adalah bahwa jiwa yaitu forma bagi jasad, “forma” dalam arti jauhar (substansi) yang berdiri sendiri dan yang berasal dari akal. Jiwa tidak akan fana dengan sebab kematian jasad. Dan Al-Farabi lebih menyukai konsep Plato mengenai keabdian jiwa. Al-Farabi membedakan jiwa khalidah dan jiwa fana’. Jiwa khalidah adalah fadhilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan. Dan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi. Ia akan hancur dengan hancurnya badan.


  • 2.Ibnu Sina

Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyatakan bahwa manusia terdiri atas unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengakapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktivitas. Jasad selalu berubah, berganti, bertambah, dan berkurang, dan ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. Dengan demikian, hakikat manusia adalah jiwanya, dan perhatian para filsuf Islam dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya daripada jasadnya.


  • 3.Al-Gazali

Pemikiran Al-Gazali tentang manusia banyak dipengaruhi oleh pemiki-pemikir sebelumnya, seperti Ibnu Sina. Al-Gazali membagi manusia menjadi beberapa bagian, yaitu: an-nafs, ar-ruh,dan al-jism. Manusia menurut Al-Gazali mempunyai identitas yang tetap dan tidak berubah-ubah, yang ia sebut dengan istilah an-nafs. Dan yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimasukkan ke dalam jasad, yang terwujud ketika sperma masuk ke rahim. Di mana sperma telah dipersiapkan untuk menerima jiwa. Bahwasanya esensi manusia itu adalah substansi yang berdiri sendiri, dan subyek yang mengetahui, maka pengetahuan-pengetahuan intelektual terapat di dalamnya. Esensi manusia Al-Gazali menggunakan berbagai term yaitu: an-nafs, al-qaib, ar-ru/i dan al-aqi. Keempat term tersebut sebagai al-lafadz al-mutafarridat.


  • 4.Ibnu Rusyd

Berbicara tentang manusia tidak lepas dari definisi an-nafs. Menurut Ibnu Rusyd, manusia itu terdiri dari dua hal. Yang menggerakkan dan digerakkan. Yang digerakkan ini lebih bersifat bentuk, sedangkan yang menggerakkan lebih bersifat materi.Yang menggerakkan ini menurut Ibnu Rusyd terdiri dari dua hal, yakni ar-ruh (nyawa) dan an-nafs (jiwa).

Ibnu Rusyd terkenal dengan idenya yang mengatakan bahwa an-nafs itu hanya satu. Berpedoman pada surat An-Nisa ayat 1 dan ayat-ayat yang lain menyatakan bahwa an-nafs itu hanya satu. Dan menurut beliau, an-nafs inilah yang mempunyai peranan besar dalam diri manusia untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.

Jadi, menurut Ibnu Rusyd kebebasan manusia memilih kebaikan dan keburukan yang diciptakan oleh Allah SWT adalah salah satu wujud aplikasi dari pengakuan eksistensi manusia. Juga sebagai pengakuan bahwa Allah SWT Maha Adil atas hamba-Nya seperti tertuang dalam surat Fushilat ayat 46.

Semoga bermanfaat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun