Noda itu bernama “GOLPUT”
Sebagai manusia tentu kita menginginkan kebersihan yang terletak pada penilaian dari jiwa kita. Walaupun konsep dari kebersihan setiap dari kita mempunyai pandangan tersendiri dalam menentukan batasan kebersihan itu sendiri. Namun ada hal yang harus kita sepakati terlebih dahulu, bahwa noda itu sesuatu yang tidak seharusnya berada di tempatnya. Secara sederhana apabila baju kita putih, dan terkena lumpur hitam tentu lumpur hitam itu pun kita sebut sebagai noda yang kotor.
Banyak hal yang semua di dasari dengan sebuah pemikiran, akan mendapatkan sebuah kritikan dalam membangun pemikiran itu atau pun solusi lainnya. Setidaknya itu lebih berarti dari pada tidak memberikan kontribusi apa-apa untuk membangun atau mengkoreksi pemikiran itu. Menjadi kambing hitam yang hanya patuh dan menunggu di potong, tentu bukan itu yang kita inginkan. Pemikiran di sini ialah demokrasi, sebuah konsep yang setidaknya memberikan ruang aspirasi kepada semua rakyatnya. Aspirasi ini pun membutuhkan sebuah perwakilan di panggung kekuasaan. Untuk mencapai ini pun, peristiwa massal dalam memberikan dukungan sering kita sebut dengan pemilu ( baca : Pemilihan Umum ). tentu sebuah pemikiran hanyalah sebuah konsep berpikir yang mempunyai sebuah celah. Celah inilah yang harus kita koreksi dengan memberikan sebuah kritikan, apakah harus kita proteksi atau destruktif. Karena kita sejatinya warga negara yang mempunyai hak di dalam panggung demokrasi ini untuk terus berapresiasi.
Ada yang menarik dari proses pemilu di Indonesia, walaupun sebuah noda itu mulai kelihatan dari zaman orde baru. Namun bisa di redam dengan sebuah tangan besi dengan berlandaskan sebuah susunan kepatuhan. Noda itu bernama Golput ( baca: Golongan Putih ), yang katanya di cetuskan oleh arief budiman. Perlu di ingat bahwa yang di cetuskan, kemungkinan adalah katanya. Dari observasi, tak mungkin sebelum masa orde baru seluruh rakyatnya mengerti dengan hak-haknya. Tentu banyak juga yang mengabaikan haknya dalam memberi sikap tidak memilih siapa pun di dalam bilik suara atau netralitas. Tapi, rakyat tidak sadar apa namanya jika tidak memberikan dan bersikap netralitas dalam hal pemilu.
Memasuki ruang di mana sebuah nilai kebebasan menjadi pengendali sehingga nilai ketertiban pun di kebirikan. Itulah ruang di mana aspirasi tak bisa di bungkam dengan landasan sebuah kata yang bernama “hak”. Ruang itu terjadi setelah pasca reformasi, yang mengubah semua tatanan termasuk juga dalam hal pemilu. Begitu pun dengan nodanya, noda yang selalu di tambah dan di kurangi menjadikan noda itu mempunyai tempat dari kebosanan dan kekecewaan serta ketidakpercayaan dari kandidat. Sehingga ruang itu bisa menjadi laris manis di kalangan para rakyat yang sudah mengalami berbagai gejolak. Untuk bisa bersembunyi di ruangan itu, ruang yang tak bisa di akses selagi mengatasnamakan hak pribadi. Tentu berbeda apabila memberikan sebuah hak dengan untuk di tanam, dan menyebar virus itu di lokal dan nasional. Maka yang akan terjadi pun, mencari akar dari penyebarannya untuk berurusan dengan konsekuensi di negeri demokrasi ini. Ruang ini di sebut Golput, yang mempunyai tempat sendiri di hati rakyat yang selalu sendiri untuk tak berurusan dengan negeri.
Golput yang apabila di hitung mundur dari tahun 99 sampai kemerdekaan mempunyai nilai yang tak lebih dari 5%. Sudah cukup untuk membuat sebuah ruang untuk beraktualisasi di tempatnya, karena mempunyai modal tak lebih dari 5%. Ruang itu pun sekarang mempunyai legitimasi yang bisa mengalahkan legitimasi formal dari pemilu. Dari tahun pemilu 2004 sampai sekarang, banyak pemilu terutama di daerah kalah dengan Golput. Apabila melirik tahun 2004 dan 2009 yang merupakan pemilihan legislatif dan presiden. “Dalam hal persentase partisipasi pemilu dari tahun 2004 menurun menjadi 84,9% tahun 2009 turun lagi menjadi 70,9%”. Oleh arbi Sanit, pengamat politik UI.
Apabila menganalisis dari itu semua, tentu angka Golput itu mencapai 29,1% di tahun 2009. Sebuah angka yang cukup besar dalam sejarah pemilu di Indonesia. Tentu harapan dari kita, jangan sampai angka Golput menembus angka 50% di pemilu 2014. Memang tidak ada yang salah dari Golput, apabila kita sudah menyambungkannya dengan hak asasi. Namun, sebagai warga negara yang sadar dengan kewajibannya. Walaupun sering di liputi dengan rasa kecewa dan ketidakpercayaan kepada para pemimpin. Tentu kita berperan dalam memberikan legitimasi yang sesuai dengan harapan semua rakyat. Bukan hanya menyandarkan kekuasaan kepada suatu kelompok yang tidak memihak kepada rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H