Mohon tunggu...
Mujahid Hamdan
Mujahid Hamdan Mohon Tunggu... -

Pemikir, Peneliti dan Penulis. UIN Ar-Raniry.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persimpangan Sains dan Agama (Bagian 1)

17 Mei 2017   18:48 Diperbarui: 17 Mei 2017   19:06 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan sains telah mencapai titik gemilang. Nalar akal dan temuan eksperimen telah diubah menjadi piranti yang kita sebut sebagai teknologi. Kemajuan sains dan teknologi menjadi perkakas dalam peradaban. Konsentrasi kemajuan peradaban ada di wilayah barat Bumi. Kemajuan inilah yang membuat mereka mendominasi di semua bidang.

Dalam sejarah, kegemilangan Barat diwarnai penanggalan teologi dari domain sains, baik sebagian atau seluruhnya. Bahkan, noktah sejarah konfrontasi sains dan teologi menunjukkan penanggalan teologi tersebut adalah keniscayaan. Itulah sebabnya mengapa hari ini agama dan spiritualitas cenderung ada pada biliknya sendiri. Dogma dan doktrin keagaman menjadi sama sekali tidak berfusi dengan dunia sains. Model fusi yang dimaksud dapat terjadi dalam berbagai rupa, baik pertautan ayat suci dan fakta ilmiah, filsafat sains dan agama hingga dogma ketuhanan dan kosmologi.

Barat Tengah (Timur Tengah) kini dalam masa kemunduran di semua sektor, baik politik, sosial, ekonomi, sains dan teknologi. Di satu sisi, Barat Tengah adalah asal dari banyak agama, khususnya agama abrahamik. Terlepas dari latar belakang sejarah, kondisi ini seakan menjadi pembenaran bahwa menanggalkan agama adalah jalan peradaban.  Muncullah tesis mengenai dikotomi agama dan sains. Agama yang dogmatis tidak akan pernah harmoni dengan sains yang lahir dari akal budi.

Konfrontasi teologi dan natural science dimulai pada era abad pertengahan (medieval period). Di masa itu, kekayaan classical tradition meliputi beberapa bidang seperti drama, sejarah, politik, etika, metafisika dan natural science. Beberapa tokoh dalam tradisi klasik yang menonjol seperti filosof Aristoteles dan Plato, matematikawan Euclid, astronom Ptolemy dan pengikut-pengikut mereka. Khazanah tradisi klasik tertuang dalam bidang meteorologi, kosmologi, matematika, kedokteran dan teologi. Proses asimilasi tradisi klasik dan doktrin gereja menemui kendala yang serius. Sepertinya memang tak dapat dihindarkan, sebab tradisi klasik berasal dari paganisme sementara kekeristenan berasal dari tradisi gereja. Pusaran konfrontasi menyentuh isu fundamental seperti konsep tuhan dan iblis, pencipta dan penciptaan.

Kisah paling mahsyur tentang pertikaian gereja dan sains adalah debat mengenai holiosentris dan geosentris. Nicolas Copernicus mencoba membongkar katup katup cara berfikir ummat di masa itu. Tradisi gereja meyakini bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Semua benda langit berputar terhadap Bumi. Copernicus  menuliskan nalar sehatnya dengan matematika yang detail dalam On the Revolutions of the Celestial Orbsdi tahun 1543. Ia menunjukkan teori yang benar-benar berbeda, radikal dan ekstrim di zamannya. Ia meyakini bahwa Bumi tak seistimewa yang diyakini gereja.

Ide gila Copernicus itu mengguncang. Namun ia tidak berdiri sendirian. Meskipun tidak dalam satu garis zaman, Galileo juga masuk dalam kubangan pertikaian ini. Sebenarnya, ia tak pernah benar benar sengaja menjadi seorang copernican. Ia hanya tunduk pada hasil pengamatan ilmiah melalui teleskopnya. Kisah Galieo berakhir sebagai tragedi. Bagi saya konfrontasi sains dan gereja adalah momentum dan awal mula keputusasaan manusia pada dogma agama. Mungkin gereja telah memulihkan Galileo sebagai ilmuan, tetapi itu tidak lantas menghapus kekeliruan hukuman pada Galileo dari sejarah. Keputusasaan semacam inilah yang melahirkan anggapan bahwa akal budi dan sains terlalu sehat untuk dicampurkan dengan doktrin gereja yang “sakit”.

Bukan hanya kisah tragedi yang mewarnai pertalian sains dan agama. Saintis tidak serta-merta mananggalkan agama dalam tradisi ilmiah mereka. Pengembangan teleskop yang dilakukan Galileo adalah gerbang besar kosmologi Moderen. Hukum fisika berkembang sedemikian drastis. Apalagi setelah Issac Newton meletakkan dasar-dasar kalkulus, mekanika dan gravitasi. Sebagai seorang ilmuan (filosof) yang dibesarkan dalam lingkungan Gereja Anglikan, ia menghabiskan sebagian masa mudanya dalam pengabdian untuk gereja. Bagi saya, ia adalah seorang “ilmuan yang ulama” dalam tradisi kekristenan. Filosofinya banyak bertautan dengan refleksi dirinya sebagai penganut agama. Terlalu panjang ruang yang dibutuhkan untuk menjelaskan falsafah Newton mengenai alam semesta dan tuhan. Namun dalam kalimat pendek, Newton berkeyakinan bahwa alam semesta bukanlah mesin otomatis yang bekerja sendiri, harus ada “tangan” tuhan di dalamnya. Ia bahkan memasukkan kata God di salah satu edisi Natural Philosphia, Mathematical Principia untuk menjelaskan mekanika alam semesta.

Atas gagasan keajaiban tuhan dalam teorinya, Newton menghadapi arus balik pemikiran. Salah satunya datang dari  seorang ilmuan jerman Gottfried Leibniz. Persilangan pendapat antara Newton dan Leibniz sebenarnya diwarnai kisah lain. Terdapat kontroversi mengenai siapa yang sebenarnya menjadi peletak dasar kalkulus. Leibniz berkeyakinan bahwa ialah yang menemukan dasar-dasar kalkulus tersebut. Pertentangan itu merembet menjadi sentimen pribadi, bahkan hingga ke adu pendapat mengenai konsep tuhan dalam gravitasi Newton. Tema perdebatan bukan pada gagasan  teori gravitas Newton, tetapi menyentuh pada filsafat tentang tuhan dan alam.

Teologi dan kosmologi nampaknya selalu dalam pertalian. Pada abad 20 Albert Einstein membawa kita pada revolusi sains yang sangat radikal. Gagasan Einstein dalam Teori Relativitas Khusus dan Umum menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai ruang dan waktu. Hasil sampingan dari pemikiran Eisntein adalah prilaku alam semesta menjadi nyata dalam matematika. Penjelasan mengenai sejarah alam semesta dan ramalan masa depannya juga sudah dapat dihitung dengan nalar. Teori relativitas adalah dasar kosmologi modern. Oleh sebab itu  muncullah tantangan baru, bagaimana teologi menjelaskan semua muatan di dalam kosmologi modern.

Secara gradual, sains dan teologi semakin dikotomis. Namun manusia tidak menanggalkan teologi sama sekali. Selau saja ada perdebatan di dalamnya. Kosmologi modern benar-benar berbeda dengan ajaran Bibble yang  dianut dalam tradisi kekeristenan. Misalnya, bahwa bumi hanya berumur enam ribu tahun, semesta diciptakan dalam waktu enam hari, dan masih banyak lagi.

Kosmologi modern memuat Teori Big-bang untuk mejelaskan sejarah pembentukan semesta. Teori ini bercerita bahwa semesta tidak hidup dalam keabadian, ada awal dan ada akhir. Seiring waktu, teori inisemakin hari semakin menguat melalui beberapa observasi, seperti pengamatan sisa ledakan besar dan pengembangan jagad raya. Konsep awal dan akhir semesta adalah angin segar bagi konsep penciptaan. Olehnya Big Bang seakan menjadi pintu masuk baru bagi sains dan spirtualitas dalam harmoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun