Mohon tunggu...
Dewi Sumardi
Dewi Sumardi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel dan ibu Rumah Tangga

IRT. \r\nMenulis untuk berbagi manfaat. \r\n Buku : 1. Let's Learn English Alphabethical A-Z, oleh nobel edumedia 2. Buku Keroyokan "36 Kompasianer Merajut Indonesia", oleh Peniti Media 3. Buku Keroyokan "25 Kompasianer Wanita Merawat Indonesia" oleh Peniti Media 4. Novel "Duka Darah Biru", penerbit Jentera Pustaka 5. Novel "Janji Di Tepi Laut Kaspia' oleh penerbit BIP 6. Novel " Ada Surga Di Azzahra" oleh penerbit Jentera Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Orang Tua Hobi Membully, Anakpun Jadi Pembully?

25 Maret 2015   00:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bullying, kata yang masih saja berseliweran di media cetak/elektronik atau bukan tak mungkin kita temukan di dekat/sekitar kita. Bullying atau penindasan bahkan rasanya semakin hari bertambah mengerikan . Selain pembullyan mental dengan ejekan-ejekan atau maki-makian,  banyak juga pembullyan fisik dengan penganiayaan ringan sampai berat yang bisa mengakibatkan terbunuhnya sang korban.  Semua kejadian yang diberitakan di media atau mungkin kita saksikan sendiri tentu saja membuat kita miris, sedih dan yang paling penting adalah mengharuskan diri kita untuk introspeksi, `mengapa semua itu bisa terjadi. Pembully-an bisa terjadi di mana saja dalam sebuah interaksi sosial antar manusia, bisa dalam lingkungan sekolah, dunia kerja, lingkungan rumah, bahkan yang saat ini marak terjadi adalah di dunia maya.

****

Bullying yang paling membuat kita prihatin adalah penindasan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, yang ternyata tak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga di daerah-daerah yang masih kental dengan dengan suasana agamisnya atau suasana kekeluargaannya.
Tak pernah terbayang di benak saya sebelumnya, seorang anak yang duduk di Sekolah Dasar mendapatkan perilaku yang buruk dari teman-teman di kelasnya, dan terkadang bukan hanya satu dua anak pelakunya tetapi banyak.  Anak-anak yang seharusnya masih polos dan asyik dengan dunia candaan dan bermain ternyata bukan hanya membully mental (hinaan,  ejekan)  tapi juga fisik.  Yang membuat saya menarik nafas panjang menahan rasa sakit di dada adalah mereka terlihat seperti "asyik" tanpa beban,  tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa berdosa saat menjadikan temannya sasaran tinju,  tendangan,  jambak rambut,  tampar dan lain sebagainya.

****
Anak-anak sesungguhnya bagai kertas putih yang orang tua bebas untuk menggambarnya.  Mau mempunyai gambaran anak yang seperti apa,  hampir 100 persen tergantung pada orang tua dalam mendidik,  merawat dan memberi mereka contoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.  Kita berkata baik Insha Allah anak akan berkata baik, sebaliknya kita suka memaki dan berkata kotor rasanya bagi anak akan menjadi kata-kata yang disimpan lekat dalam pikirannya dan dikeluarkan saat dia berbicara.  Orang tua yang saling mengasihi satu sama lain pasti akan membuat anak nyaman dan dia akan berbuat kasih juga pada teman-temannya.  Sebaliknya anak yang selalu melihat ayah menendang ibu atau mungkin ibu menampar ayah bukan tak mungkin berpikir bahwa perbuatan tersebut adalah hal yang biasa dilakukan dan....  boleh (???).Mungkin pernah kita temui keluarga yang orang tuanya baik tapi anaknya buruk tindakannya atau sebaliknya.  Tapi pasti ada pengaruh luar yang besar sehingga bisa merubahnya.

****

Dalam media sosial saat ini saja fenomena pembullyan terlihat luar biasaaaa karena sepertinya menjadi hal yang sangat biasa dan wajar dilakukan. Dari perbedaan  pilihan kepala negara yang mengakibatkan saling hina,  caci dan maki satu sama lainnya.  Atau candaan antar teman dalam group sekolah dan lain-lain yang terkadang kebablasen tak tahu lagi mana batasannya,  yang penting lucu dan membuat geli teman temannya.  Ada lagi sebuah group yang saya ikuti,  rasanya saat menjadi anggotanya hanya bertujuan untuk mencari ilmu biar bisa pintar di dapur,  ehh tapi tak jarang ada pembully-an yang "menyeramkan"  antar anggota saat ada member lain membuat kesalahan  atau kuper (tidak update akan sesuatu hal meski kadang hal hal yang umum).

****

Melihat semua itu,  timbul pertanyaan dalam benak saya, bagaimana mereka mengajarkan pada anak-anaknya tentang tenggang rasa,  toleransi,  atau kasih sayang pada sesamanya,  kalau diri sendiripun tak mampu untuk menahan diri agar tak emosi, agar tak merasa menang sendiri, agar tak merasa pendapat sendiri paling benar dan agar tak menyakiti orang lain. Mari kita cegah bullying agar semakin tak merajalela . Dan semuanya harus dilakukan dari dalam diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi orang yang punya rasa kasih sehingga berpkir seribu kali saat akan “menindas’ orang lain, meski hanya di dunia maya, meski hanya dengan kata-kata. Dan tebarkan rasa kasih tersebut pada anak-anak kita agar berbuat hal yang sama dengan kita. Kita semua pasti  tak pernah mau mempunyai anak seorang pembully atau bagaimana jika anak kita yang menjadi korban pembullyan??



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun