Mohon tunggu...
suryati mahmud
suryati mahmud Mohon Tunggu... -

saya suryati ttl bima 26 september 1993. kuliah di fkip unram

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketidakadilan Hukum di Indonesia

23 Maret 2015   15:22 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 33544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dimana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Tujuan hukum adalah memberikan keadilan kepada setiap orang.

Namun dalam prakteknya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.

Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Kita seharusnya merasa malu dengan moral bangsa ini yang begitu naif. Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini.

Banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi. Kasus ketidakadilan hukum yang lagi dibicarakan saat ini adalah kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Asyani diseret ke Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo.Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun.

Selain kasus nenek Asyani masih ada kasus lainnya. Bandingkan nasib ibu Minasih, beliau dituntut 7 tahun penjara Cuma gara-gara mencuri buah randu milik perusahaan. Bandingkan dengan Seorang Mafia Pajak Gayus Tambunan beliau dihukum 7 tahun penjara namun masih bisa keluar masuk penjara dengan bebas bahkan sampai berlibur ke Bali.

Semakin kentara jika membandingkan penanganan kasus kecelakaan maut anak Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Rasyid Rajasa dengan kasus loncatnya mahasiswi Universitas Indonesia Annisa Azward dari angkot yang terjadi hari Rabu tanggal 6 Februari 2013. Jika menengok kasus Jamal tentu tak seberat dengan Rasyid. Putra bungsu Hatta Rajasa itu pada 1 Januari 2013 silam, mengemudikan mobil BMW dengan kecepatan tinggi lalu menabrak mobil Luxio di Tol Jagorawi. Rasyid sudah menjadi tersangka, tapi diistimewakan. Rasyid dijerat pasal 283, 287, dan 310 UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Kemudian kasus lainnya adalah penabrakan pejalan kaki di trotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah diselidiki, penyebab penabrakan tersebut diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda, yaitu membunuh orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.

Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. kasus-kasus diatas merupakan contoh kecilnya saja. Itulah fenomena yang terjadi di bangsa ini. mereka para koruptor yang mencuri uang Negara bermilyar-milyar, dihukum seringan-ringannya. Bahkan tak jarang terjadi dibeberapa kasus korupsi, para koruptor malah dibebaskan dengan uang jaminan atau hanya menjadi tahanan rumah. Kemanakah hukum Negara kita yang katanya tidak memihak? mungkin itu semua hanya kata-kata, hukum di Negara kita belum bisa dikatakan baik.

Dari beberapa kasus-kasus yang ada, dengan demikian, belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem. selain itu solusi yang dapat dilakukan Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar ia segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Kedua, secepatnya memutus hubungan dengan persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang mengepung dari berbagai lini.pemutusan hubungan ini bisa dilakukan dengan cara radikan (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dilakukan dengan cara kompromi (ampuni dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas. Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun