Mohon tunggu...
Risna Puspita Sari
Risna Puspita Sari Mohon Tunggu... -

"Kebaikan orang lain padaku tak boleh melebihi kebaikanku pada orang lain". Itulah motto hidupku. Walau tak cerdas dan hebat, semoga optimis untuk terus melakukan apa yang kubisa dan berusaha mempelajari yang tak bisa, bisa bermanfaat. Seperti Zainal Arifin Thoha, seorang budayawan, kolomnis, sastrawan, dan dosen UGM pernah berkata, "Lebih baik berbuat walau sedikit daripada tenggelam dalam angan-angan".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Kekalahan Tim Garuda

22 Juli 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:29 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika anda masih ingat tayangan kekalahan tim garuda pada Desember 2010 yang berlaga di Final AFF Suzuki lalu, tentunya anda juga akan kembali merasa bahwa kekalahan yang dialami tim kebanggaan Indonesia itu menjadi shock therapy bagi seluruh rakyat Indonesia. Saat itu, Malaysia memegang kendali atas Indonesia. Kecewa, itulah yang dirasakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang menyaksikan kekalahan tersebut. Bukan bermaksud mengusik kembali rasa kecewa yang pernah ada, namun dari kekalahan tersebut ada bagian menarik yang pantas kita ambil pelajaran.

1. Indonesia hanya belum “berjodoh” dengan Kemenangan

Jika pada pertandingan tahun lalu Indonesia dinyatakan kalah, maka sesungguhnya hal itu hanyalah karena Indonesia belum berjodoh dengan kemenangan. Meski beberapa kali Indonesia memiliki kesempatan melakukan tendangan bebas untuk memberikan goal, namun tetap saja hal itu tidak membuahkan hasil. Hal ini membuktikan bahwa sekeras apapun kita berusaha untuk membuat apa yang kita inginkan tercapai, namun apabila belum waktunya untuk berjodoh dengan keinginan itu, maka hal itu takkan terwujud. Yang perlu diingat adalah setiap keputusan yang Allah tetapkan adalah jawaban yang terbaik untuk kita. Mungkin tidak selalu sama dengan apa yang kita impi-impikan, namun dengan ketentuan yang porsinya sesuai untuk kehidupan kita menurut Allah. Maka jika hasil yang kita harapkan tidak sama dengan realitanya, jangan lantas mengutuk Allah atas ketidaksesuaian itu. pahamilah Allah mengerti kebutuhan kita lebih dari yang kita tahu. Teringat ucapan seorang teman di dunia maya,”Ini bukan masalah kapan sampai ke puncak, melainkan lebih kepada bagaimana mendaki?”.


2. Indonesia tetap menang dengan caranya

Bila anda mengikuti prosesi pertandingan tersebut, pasti anda juga akan ingat bahwa terjadi beberapa kecurangan dari pihak lawan. Dari berbagai macam pemberitaan, pendukung Malaysia dituding sengaja mengarahkan laser ke pemain asal Indonesia. Bahkan di salah satu final leg, sempat terdapat ledakan mercon dan petasan di tengah-tengah lapangan ketika Markus(keeper Indonesia) lakukan protes atas laser yang berkali-kali mengarah padanya. Ribuan pendukung Indonesia pasti geram menyaksikan kecurangan yang terjadi. Namun bukan dengan alasan itu Indonesia lantas berhak memberi cacian dan makian kepada Malaysia karena geramnya mereka atas perilaku unfair itu. Kebenaran akan terungkap walau tanpa gemuruh cacian sekalipun.Seperti Umar bin Khathab pernah berkata, "Kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata yang lemah lembut". Untuk itu, biarlah dunia yang menilai. Biarlah kita kalah namun tetap nampak terhormat di mata dunia. Bukankah dengan mengumbar-ngumbar cacian dan kemarahan hanya akan menyakitkan diri sendiri? Bukankah dengan kemarahan, sesungguhnya kita hanya menambah jumlah penyakit hati yang bersarang di dalam dada?

Untuk itu, menangkanlah dulu hati kita dari sifat-sifat yang bisa mengikis habis kemurnian hati kita. Menangkanlah dulu diri kita dari segala sifat egois dan emosi yang labil. Menangkanlah dulu diri dari segala hal yang membuat kita terjatuh kepada hal-hal yang tidak bermanfaat dan hanya menciptakan kerusakan semata. Menangkanlah dulu diri kita, lantas biarkan orang lain dan Allah yang memberikan kepantasan atas diri kita untuk menang. Menang dari maksiat dan hal-hal yang tidak berguna untuk kebaikan hidup kita. Menang karena senantiasa berdamai dengan masalah yang bisa menghancurkan pembaikan hidup kita(Mario Teguh banget yach ^^). Bukankah itu lebih fair untuk hidup kita?

3. Kegentaran bukan mental seorang pemenang

Terlihat jelas kegentaran dan kecemasan Tim asuhan Alfred Riedl ketika Tim Harimau berhasil memberi satu goal untuk negaranya. Markus tak menampakkan senyum selagi menjaga gawang. Permainan tiba-tiba kacau karena ketidakrapian pemain. Dua goal dengan mudahnya dicetak kembali oleh Malaysia pada salah satu final leg antara Malaysia dan Indonesia tersebut. Pemenang tidak runtuh melihat begitu teguhnya pihak lawan. Pemenang tidak lemah melihat ‘istiqamah’nya pemain Malaysia mempertahankan angka. Seharusnya mental seperti itu yang tertanam pada jiwa-jiwa pemenang. Disaat yang lain mulai terlempar, ia tetap tegar walau dalam kondisi bahaya sekalipun. Disaat yang lain mulai tergelincir, ia dengan cepat tersadar untuk bangkit. Disaat yang lain mulai angkuh dan ingin lepas, maka ia telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan terus bertahan. Sesungguhnya, pada titik terlemah itu, kesabaran dan keteguhan seorang mukmin duji. Jiwa-jiwa yang lemah akan dengan mudahnya menyerah, namun yang kuat benteng pertahanannya akan berdiri tegak walau harus terluka parah. Maka, sebelum bermimpi menjadi pemenang, formatlah dulu mental-mental pemenang di dalam diri kita masing-masing. jika mental pemenang telah dimiliki, apalagi yang harus dikhawatirkan? Jangan cemas, stempel pemenang akan mengikuti orang-orang berperilaku untuk menang.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:'Rabb kami ialah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita". (QS. 46/al-Ahqaaf:13).

Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai mengambil hikmah di balik segala sesuatu yang terjadi. Amin. Wallahu'alam bishshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun