“Fanatisme Agama” merupakan hal yang tidak asing bagi masyarakat saat ini, mengingat banyaknya pemahaman radikal yang semakin meluas, terutama yang berkaitan dengan penerapan “Khilafah Islamiyah maupun Daulah Islamiyah”. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip fanatisme agama menjadi suatu faktor yang menyebabkan terpecahnya nilai nasionalisme. Disisi lain, fanatisme agama juga menyebabkan masyarakat tertentu tidak berfikir obyektif, mengingat mereka memandang perbedaan sebagai bentuk yang harus disamakan bukan dihargai, hal ini terlihat dari maraknya isu konflik SARA yang didasarkan atas perbedaan agama serta pandangan kelompok radikal kanan tertentu yang menganggap bahwa masyarakat yang tidak sepemahaman dengannya adalah “musuh”.
Pandangan-pandangan tersebut tentunya dinilai sebagai pemikiran yang tidak realis karena pemikiran tersebut mengabaikan nilai “Pluralisme” yang ada di Indonesia. Selain itu, Indonesia sebagai Negara dengan jumlah umat muslim terbesar memiliki sikap yang bersifat damai dengan pemeluk agama lain, mengingat Ideologi bangsa Indonesia pada sila pertama menegaskan bahwa Negara Indonesia menjamin kebebasan masyarakat untuk memilih agama yang diyakininya. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa secara hukum dan ideologi Indionesia menghargai antar pemeluk umat beragama, mengingat harmonisasi antara umat beragama merupakan faktor penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Harmonisasi dalam kehidupan beragama merupakan tanggung jawab semua pihak, terutama pemimpin yang menaungi pihak-pihak yang berkonflik. Dengan adanya ketegasan yang adil dari pemimpin maka konflik SARA (Agama) akan terselesaikan. Dengan menerapkan sikap adil pada diri sendiri terutama sikap adil pemimpin pada rakyatnya akan menghasilkan keputusan yang bijaksana yang dapat menyelesaikan konflik tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.
Pemahaman fanatisme agama secara tidak langsung telah mengikis kesatuan umat, karena umat beragama seharusnya bisa menciptakan toleransi baik pada kelompok sendiri maupun umat beragama lain, tapi dengan fanatisme yang berlebihan justru menciptakan kesenjangan. Hal ini tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah, dan konflik agama yang sering terjadi telah menodai harmoni kehidupan keberagamaan. Kilas balik dari kekerasan yang pernah terjadi lebih kejam berlangsung dalam konflik antaretnis dan antaragama, seperti Pontianak, Sampit, Ambon, dan Poso. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, menguatnya kembali isu terorisme dan radikalisme agama yang ditandai dengan kehadiran gerakan ISIS yang terus merebak di beberapa wilayah nusantara, menggejolaknya ancaman terorisme Poso, adanya pencekalan akibat penggunaan nama Muhammad dan Ali di bandara yang diidentikan dengan teroris, yang secara langsung memperuncing ketidakstabilan kehidupan keberagamaan dan bangsa.
Radikal Kanan
Dalam perkembangannya, hasil pemikiran tentang fanatisme agama berubah menjadi gerakan radikal kanan yang secara utuh bertujuan untuk mewujudkan cita-citanya melalui berbagai pergerakan, baik secara regional maupun internasional. Beberapa saat lalu, masyarakat di dunia sempat dihebohkan oleh pergerakan dan persebaran kelompok ISIS ataupun IS, yang tidak lain dinilai oeh masyarakat sebagai kelompok garis keras yang cukup memiliki nilai “mengancam”.
Hal ini dikarenakan banyaknya kekerasan yang dilakukan untuk memperluas kekuasaannya dengan tindakan yang cukup kejam melalui aksi teror, sehingga kelompok ini tidak memiliki ruang simpati bagi masyarakat dunia, terkhusus masyarakat Indoensia.
Di Negara Indonesia sendiri, beberapa waktu lalu pemahaman demikian telah berkembang bahkan meluas di kalangan tertentu seperti, mahasiswa, kelompok agama, maupun masyarakat umum. Secara tidak langsung kelompok tersebut telah memberikan rasa takut maupun kekecewaan atas tindakan yang kelompok tersebut lakukan, mengingat adanya tindakan teror yang mereka lakukan secara nyata.
Dengan demikian radikalisme dan terorisme kini menjadi musuh "baru" umat manusia. Meskipun akar radikalisme telah muncul sejak lama, namun peristiwa peledakan bom akhir-akhir ini seakan mengantarkan fenomena ini sebagai "musuh kontemporer" sekaligus sebagai "musuh abadi". Namun dengan maraknya kativitas terror beberapa periode ini menyebabkan banyak pihak mengembangkan spekulasi secara tendensius bahwa terorisme berpangkal dari fundamentalisme dan radikalisme agama, terutama Islam. Dengan kata lain, Islam dinilai sebagai agama yang mendukung tindakan kekerasan bukan agama yang mengajarkan nilai-nilai ketulusan, kebaikan, dan kelembutan yang merupakan esensi nilai-nilai Islam sesungguhnya yang tertuang pada kitab suci Al-Qur’an.
Peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi demikian vital. Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan ketidakamanan seperti teror peledakan bom perlu mendapat perhatian tersendiri. Negara harus benar-benar serius memikirkan upaya untuk melawan radikalisme dan terorisme yang kini kian menggejala. Beberapa agenda strategis yang dapat disiapkan antara lain: reformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan, dan kampanye sosial-kultural secara massif. Agenda ini boleh jadi bukan sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang telah dan sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikian, point terpenting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah dengan menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai musuh bersama.