Mohon tunggu...
Hairul Mubin
Hairul Mubin Mohon Tunggu... -

kuliah prodi PPKN FKIP UNRAM

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Wahai Pemimpin "Teliti dan Cermat"

7 April 2015   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah berita di laman Sekretariat Kabinet,setkab.go.id, Kamis 2 April kemarin, sempat membuat semua pihak yang membacanya mengkerutkan kening. Dimana Presiden kita tercinta Joko Widodo atau Jokowi tiba-tiba menaikkan tunjangan uang muka pembelian mobil bagi para pejabat negara seperti anggota DPR, anggota DPD, hakim agung, hakim konstitusi, anggota BPK dan anggota Komisi Yudisial yang mana sebelumnya sebesar Rp 116.650.000, kini membengkak menjadi Rp 210,89 juta. Bagaimana tidak hal ini membuat kening mengkerut. Selanjutnya berdasarkan Perpres tersebut merupakan suatu pemborosan uang negara. Hal ini sangat kontro dengan janji yang diucapkan saat kampanye dulu yang ingin melakukan reformasi fiskal yang dimulai dengan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Namun hasilnya belum nyata.

Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang  Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan, yang ditandatangani oleh Presiden kita tercinta pada 20 Maret 2015  yang lalu. Presiden mengambil kebijakan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa ketentuan yang tertuang dalam peraturan presiden sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan peningkatan harga kendaraan bermotor. Selanjutnya Perpres ini hanya mengubah Pasal 3 Ayat (1) Perpres No. 68/2010. Jika pada Perpres No. 68 Tahun 2010 disebutkan: Fasilitas uang muka diberikan kepada pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebesar Rp 116.650.000, maka dalam Perpres No. 39 Tahun 2015 diubah menjadi sebesar Rp 210.890.000.

Tak lama kabar ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kalangan menilai langkah pemerintah tak ubahnya membuang-buang uang. Sedangkan pihak yang setuju melihat hal itu perlu untuk meningkatkan kinerja pejabat. Namun saya disini lebih setuju bahwa keputusan yang diambil tersebut merupakan pemborosan dari uang negara, dan lebih baik uang itu digunakan untuk mensejahterakan rakyat yang masih hidup dalam kekurangan. Apakah para pejabat negara tersebut masih belum puas  dengan pemberian biaya seperti tunjangan untuk  istri, anak dan yang lainnya. Sehingga disini masyarakat kecil akan semakin sengsara dengan kebijakan tersebut sedangkan pejabat tidur nyenyak di kasur empuk.

Namun di lain sisi keputusan dari presiden ini merupakan usulan atau permintaan dari DPR sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto di Istana Kepresidenan, Jakarta. Selanjutnya beliau juga membantah bahwa penambahan ini merupakan upaya kompromi pemerintah terhadap DPR agar tidak menjegal berbagai program pembangunan yang diajukan pemerintah. Selanjutnya setelah proses kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selesai dilakukan, keputusan tersebut langsung diserahkan kepada Presiden Jokowi dengan penjelasan kalau kenaikan jumlah tunjangan merupakan kenaikan yang terjadi rutin setiap tahunnya, ujar Andi W.

Andi menjelaskan kalau kebijakan pemberian tunjangan pembiayaan mobil tersebut telah ada sejak 2010 lalu. Kebijakan tersebut menurutnya lahir karena banyak anggota DPR yang tidak memanfaatkan kendaraan dinas. Para anggota Dewan yang tidak memanfaatkan fasilitas tersebut, maka berhak mendapatkan tunjangan tersebut.

"Jadi sejak 2010 ada Perpres berikan bantuan uang muka untuk kendaraan bagi pejabat negara di lembaga tinggi negara, dan saat ini bantuan itu naik Rp 210 jutaberdasarkan permintaan Ketua DPR," pungkas Andi.

Lebih Aneh lagi disini bahwa  Presiden Jokowi sendiri tidak mengetahui isi dari Perpres No. 39 Tahun 2015 itu saat ditandatangani.  Jokowi mengaku tidak selalu memeriksa sejumlah Perpres secara rinci lantaran begitu banyak jumlah dokumen yang ia harus tandatangani. Berarti disini seolah-olah presiden terlalu percaya terhadap kementeriannya. Tidak ada yang salah terhadap kepercayaan tersebut namun disini setidaknya presiden harus lebih selektif dalam menandatangani suatu dokumen walaupun jumlahnya tidak sedikit karena hal ini toh kan juga tugasnya sebagai pemimpin, tidak semua dokumen ditandatangani mentah-mentah.

Selain itu disini ternyata tidak semua anggota lembaga negara mengetahui hal ini, seperti diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan. Yang mengatakan bahwa "Saya sih silakan saja karena kan jujur aja sesungguhnya banyak keputusan yang diambil anggota DPR saya nggak tau. Tapi mungkin niatnya bagus tapi kami tidak dilibatkan. Seandainya mau dievaluasi kami sih silakan saja,". Selain itu politisi PDI Perjuangan ini juga mengaku tidak mengetahui soal usulan menaikkan uang muka pembelian kendaraan bagi seluruh anggota DPR.

Selanjutnya peraturan ini akan ditinjau ulang oleh Presiden  yang mana tidak hanya akan mencabut Perpres Nomor 39 Tahun 2015 tersebut, melainkan Jokowi juga dipastikan bakal menertibkan sistem administrasi di Kantor Presiden. Harus ada sistem yang membuat Jokowi mengetahui ringkasan atau resume dari setiap dokumen yang ditandatangani.

Dari uraian di atas semua pihak mendukung langkah Jokowi mencabut Perpres tersebut. Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki sebuah 'kerusakan'. Tantangan terberatnya, bagaimana ke depan hal serupa tak lagi membuat pemerintah dipermalukan. Sehingga disini Pemerintah harus melakukan langkah yang tepat.

Menurut saya bahwa hendaknya setiap kebijakan yang akan diambil oleh presiden hendaknya dilakukan pengecekan ulang terhadap setiap dokumen yang akan dikeluarkan sebagaimanapun banyaknya agar tidak menyesal di kemudian hari. Selain itu juga agar tidak terkesan pemerintah terlalu percaya terhadap kementeriannya. Dan selain itu agar rakyat tidak merasa tertipu dengan kebijakan yang diambil, cukup yang harga BBM main-main dan hendaknya peristiwa yang kemarin dijadikan pelajaran bukan angin lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun