*Oleh: YAKOBUS SILA
Pada aksi May Day tanggal 1 Mei 2018 yang lalu, kaum buruh memenuhi bundaran Monas untuk menuntut upah yang layak. Dari sekian banyak kelompok buruh, ada kelompok  Guru Honorer yang berjuang untuk sejumlah besar guru honorer di Indonesia.
Ada beberapa hal yang dituntut, salah satunya adalah keinginan untuk diangkat menjadi PNS. Mengapa mereka ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (baca: PNS)?Â
Salah satu pertimbangan mereka adalah ingin mendapatkan penghasilan yang tetap setiap bulan, dan kehidupan yang layak karena selama ini Guru Honorer diupah sangat murah, dan jauh dari kata, layak.
UPAH MURAH
Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan sejumlah guru honorer, penulis sering mendengarkan keluhan tentang upah yang dibayar sangat murah. Mereka mengeluhkan gaji yang sangat rendah, dan bahkan gaji tersebut dibayar per tiga bulan; sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan kalau dibandingkan dengan para pekerja pabrik, yang dibayar dengan standard UMR (Upah Minimum Regional) atau UMS (Upah Minimum Sektoral).Â
Para pendidik berlabel honorer tersebut seharusnya digaji lebih layak dari para pekerja industri yang kebanyakan lulusan SMA, karena mereka (guru honorer) adalah asset bangsa yang turut mencerdaskan generasi muda.
 Mengapa guru honorer dibayar sangat murah? Hal itu bisa saja terjadi karena  pemerintah masih menghidupi adagium lama: "Para Pahlawan tanpa Tanda Jasa", untuk para guru. Mereka masih diberlakukan paradigm lama yang menindas di mana jasa-jasa mereka hanya diingat, tanpa dihargai dengan upah yang layak.Â
Karl Max pada masanya, sudah memperjuangkan hal tersebut melalui idenya tentang nilai lebih, di mana nilai lebih dimiliki kapitalis, sementara kaum buruh/ proletar, hanya mendapatkan sisa dari nilai lebih tersebut.Â
Praktik tersebut berkembangbiak di Indonesia, di mana para pemangku kepentingan mendapatkan jatah yang sangat besar, sementara guru honorer, misalnya, hanya mendapatkan sisa-sisa dari jatah tersebut; sebuah praktek yang sangat buruk, korup, dan memprihatinkan.
Kehidupan ekonomi antara guru honorer dengan para pemegang kekuasaan menjadi sangat timpang, pincang, dan irasional, sehingga ketika guru honorer dipaksa untuk meningkatkan kompetensi, paksaan tersebut tidak berbanding lurus dengan upah yang diperoleh setiap bulan atau setiap tiga bulan.Â