1. Catatan Awal
Teori kritis Mazhab Frankfurt yang telah dirintis oleh Adorno, Holkheimer dan Marcuse, menurut Habermas menemukan jalan buntu. Kebuntuan itu menurut Habermas terjadi pada konsep praxis. Habermas sendiri sebenarnya mengeritik ide Karl Marx tentang penggunaan term praxis.
Dalam pandangan Marx, praxis kehidupan manusia adalah kerja. Kerja, bagi Marx, adalah kegiatan indrawi manusia yang bersifat obyektif. Karena itu hubungan-hubungan produksi di dalam masyarakat juga bersifat obyektif, dalam arti relasi-relasi itu independen dari kehendak manusiawi. Totalitas hubungan-hubungan produksi itu membentuk struktur ekonomi masyarakat yang juga obyektif. Dengan menyamakan praxis dengan kerja, Marx secara sangat sederhana telah meredusir syarat-syarat pembebasan sejati umat manusia, yaitu lewat penghapusan pembagian kerja di dalam masyarakat.[1]
Habermas merupakan pelopor Generasi Baru Teoti Kritis. Di dalam pemikirannya, teori kritis mendapat dasar-dasar epistemologi yang sistematis, dan dengan cara itu dia berusaha mengatasi positivisme dengan menunjukkan keterkaitan teori dan praxis. Sama seperti para pendahulunya (Adorno dan Holkheimer), Habermas hendak membangun sebuah 'teori dengan maksud praktis'. [2] Konsep Kritik menurut warisan Mazhab Frankfurt tidak ditinggalkannya.
Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sebagai cara berpikir, merupakan faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. [3] Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, dia bersikap tegas (baca:kritis) terhadapnya bila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini seperti para pendahulunya, Habermas mengecam positivisme sebagai 'ideologis' dan saintisme karena positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.Â
2. Rasio Sebagai Kemampuan Linguistis ManusiaÂ
 Dengan mengeritik para pemikir Marxisme ortodoks, Habermas hendak mengganti 'paradigma kerja' dengan 'paradigma komunikasi'.[4] Implikasi dari paradigma baru ini adalah menemukan pemahaman akan praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Di sana ada ruang dialog yang diciptakan, sebagai sebuah kemungkinan untuk membebaskan individu dari tekanan idelogis tertentu. Di sini Habermas sebenarnya telah menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal, yaitu relasi-relasi sosial yang terjalin dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.Â
Dalam dialog tidak ada lagi penguasaan dari pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai pihak yang selalu benar, sebagai sumber kebenaran. Dalam konteks komunikasi ini perjungan kelas dalam pandangan klasik, revolusi politis, seperti yang hendak dihidupi Karl Marx, diganti dengan perbincangan rasional di mana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.[5]Â
2.1. Rasio Yang Memihak
Dengan mengembangkan konsepnya tentang rasio komunikasi, Habermas hendak menunjukkan sebuah model rasio yang memihak. Menurut Habermas, rasio yang memihak memiliki kepentingan emansipatoris.[6] Meskipun Habermas tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, rasio yang memihak itu akan menunjukkan siapa yang harus dibebaskan. Kelompok sasaran itu adalah mereka yang sedang berada di bawah kekuasaan dan kungkungan dogmatisme-politis.