Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bencana Alam Menurut Perspektif Teodice

11 Maret 2019   15:01 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:12 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringnya bencana yang melanda Indonesia melahirkan sejumlah pertanyaan. Manusia mulai mempertanyakan perilakunya terhadap alam dan relasi personalnya dengan Tuhan. Tentang perilakunya terhadap alam, manusia tampaknya menemukan jawaban yang sedikit memadai terkait kerusakan ekosistem yang dapat menimbulkan bencana seperti tanah longsor, banjir, dll. Namun tentang relasinya dengan Allah manusia sering sulit menemukan jawaban yang memadai.

Terhadap pertanyaan ini, para filosof sejak zaman klasik sudah berusaha mencari jawaban yang rasional dalam refleksi filosofis. Tetapi jawaban-jawaban rasional itu tetap tidak memuaskan karena keterbatasan akal budi manusia untuk menyelami misteri semesta. Rahasia semesta hanya dapat diselami lewat kepasrahan yang penuh kepada penguasa semesta yang oleh penganut agama Monoteis disebut Tuhan atau Allah.

Sebagai orang beriman, mempertanyakan relasi dengan Tuhan adalah hal yang lumrah, karena kaum beriman memiliki konsep tentang Allah Yang Mahabaik. Kini konsep kemahabaikan Allah tersebut diperhadapkan dengan realitas lain yang bertentangan dengannya. Adanya bencana adalah hal yang bertentangan dengan kebaikan yang ada dalam diri Allah.  

Persoalannya, apakah Allah yang Mahabaik menghendaki bencana  terjadi? Apa sebabnya Allah mengijinkan adanya penderitaan dalam dunia

Konsep Teodice Leibniz

Masalah tersebut pertama kalinya disebut masalah teodisea (dari "theos", Allah, dan "dike", keadilan) oleh filosof Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti pembenaran Allah. Yang dimaksud adalah bahwa adanya penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan. Karena itu, pembenaran memang dituntut. Kalau pun Allah tidak membutuhkan pembenaran kita, namun orang yang percaya kepada Allah tidak dapat menghindar dari pertanyaan tentang bagaimana keadilan dan kebaikan Allah dapat disesuaikan dengan segala macam malapetaka di alam ciptaan-Nya.            

Untuk menjawabi pertanyaan tentang adanya penderitaan, Gottfried W. Leibniz, adalah seorang filosof yang memberikan jawaban sangat rasional dan memuaskan. Berangkat dari pemikirannya tetang monade, Leibniz memberikan penjelasan tetang keberadaan dunia sebagai yang terbaik dari yang mungkin. Leibniz berpendapat bahwa sejak awal mula Allah telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan.

Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu dia menciptakan yang terbaik (optimal). Seandainya dunia yang tercipta bukanlah dunia yang terbaik, berarti masih ada kemungkinan lain yang lebih baik. Konsekuensi dari pengandaian ini adalah: atau Allah tidak mengenal kemungkinan terbaik itu -- namun ini bertentangan dengan kemahatahuan-Nya; atau Dia tidak sanggup menciptakan yang terbaik itu -- tetapi itu bertentangan dengan kemahakuasaan-Nya; atau Dia tidak mau menciptakan yang terbaik itu -- ini bertentangan dengan kemahabaikan-Nya. Tetapi, kalau yang dicipta adalah yang terbaik, mengapa ada sekian banyak penderitaan?

Pertanyaan di atas mendorong manusia untuk mencari jawaban yang memuaskan. Perlu diketahui bahwa masalah teodise hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara personal-dialogal dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah justeru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni kesalahan manusia (daripada secara keras selalu menghukumnya), yang menyembuhkan.

Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan menyembuhkan kenyataan penderitaan semakin tidak dapat dimengerti. Manusia tidak dapat memahami mengapa Dia yang Mahabaik dan suka mengampuni itu mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi yang dicintainya?           

Leibniz dalam bukunya Theodicy, Essays of the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil membedakan tiga macam keburukan, yakni keburukan metafisis, keburukan fisis dan keburukan moral. Di sini saya lebih menitikberatkan pada keburukan metafisis untuk menjelaskan konsep Leibniz tentang bencana. Keburukan metafisis (seperti bencan alam), merupakan ketidaksempurnaan belaka, dan ketidaksempurnaan ini mencakup semua ada yang terbatas.

Keberadaan ciptaan selalu terbatas. Dan terbatas selalu berarti tidak sempurna. Ketidaksempurnaan adalah akar dari kemungkinan adanya kekeliruan dan kejahatan.

Kita, yang memperoleh segala keberadaan dari Allah dimanakah kita akan menemukan sumber keburukan? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dijumpai dalam idea alam ciptaan, yang sangat jauh sebagaimana alam ini termuat dalam kebenaran-kebenaran abadi yang ada dalam pemahaman Allah secara bebas akan kehendak-Nya. Karena itu, kita perlu mempertimbangkan bahwa ada "ketidaksempurnaan alamiah dalam ciptaan". Setiap ciptaan terbatas dalam essensinya.

Manusia harus mengakui bahwa dia tidak dapat mengetahui semua, dan bahwa dia tidak dapat menipu dirinya sendiri serta komit terhadap kekeliruan-kekeliruan yang lain. Sumber terakhir dari keburukan demikian metafisis, dan pertanyaan muncul, bagaimana Allah tidak dapat merespons keburukan, dalam kenyataan bahwa Dia menciptakan dunia, hingga memberi eksistensi yang terbatas dan tidak sempurna pada ciptaan. Menurut Leibniz, adalah lebih baik ada dari pada tidak ada sama sekali. Sejauh itu, sebagaimana kita berhak untuk membedakan momen-momen perbedaan dalam kehendak Ilahi, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan selalu menghendaki kebaikan bagi ciptaan-Nya.           

Ketidaksempurnaan dalam ciptaan tidak bergantung pada pilihan Ilahi, tetapi pada ideal essensi ciptaan. Allah tidak dapat memilih untuk menciptakan tanpa pilihan untuk menciptakan adanya ciptaan yang tidak sempurna. Dia tetap memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik yang mungkin.

Dalam menciptakan, Allah selalu menghendaki kebaikan tetapi konsekuensinya bahwa sekali memberikan keputusan Ilahi untuk menciptakan, itu akan menjadi yang terbaik dari yang mungkin. Itu berarti dalam menciptakan Allah menghendaki yang terbaik bagi ciptaan, namun tak dapat disangkal bahwa ada keterbatasan dalam ciptaan sesuai essensinya.

Allah tidak dapat menghendaki "yang terbaik" tanpa menginginkan eksistensi barang-barang yang tidak sempurna. Yang terbaik dari segala ciptaan yang mungkin harus ada yang tidak sempurna.

Kritik Atas Teodice Leibniz

Para pengkritik Leibniz berpendapat bahwa konsep teodise Leibniz, seakan menghadirkan hiburan baru bagi manusia untuk menerima penderitaan sebagai hal yang harus ada karena ketidaksempurnaan ciptaan. Itu berarti konsekuensi dari keberadaan manusia di dunia adalah bahwa dia harus menderita karena ketidaksempurnaan dunia itu. Namun konsep seperti ini dapat juga melemahkan usaha manusia untuk meminimalisir adanya bencana. Manusia menerima bencana sebagai kejadian yang harus ada.            

Bencana tidak selalu menjadi konsekuensi keberadaan manusia di dunia yang tidak sempurna ini, tetapi bencana dapat terjadi oleh tingkah laku manusia. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor dan keadaan musim yang tidak menentu adalah akibat dari relasi ketidakharmonisan manusia dengan alam ini.

Penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan untuk membuka kebun baru adalah bukti tindakan manusia yang serakah terhadap alam. Karena itu, penderitaan seperti bencana alam yang terjadi tidak harus dilihat sebagai "murka' Allah tetapi merupakan reaksi alam dalam dirinya sendiri, karena alam mengalami ketidakharmonisan. Alam menjadi Chaos bukan kosmos (teratur). Dengan demikian, selalu ada usaha manusia untuk meminimalisir penderitaan (bencana) yang sering terjadi akhir-akhir ini.            

Dalam gerakan ekofeminisme, alam dilihat sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan segala kehidupan yang ada. Karena itu, terhadap ibu yang melahirkan itu, manusia mesti memberi penghormatan lebih. Alam harus dilihat, lebih dari sekedar kumpulan benda-benda yang memberi hidup kepada manusia dan ciptaan lain.

Alam mesti menjadi partner dalam relasi subjek-subjek, di mana yang satu tidak dapat menguras dan menghabiskan yang lain. Yang satu mesti memandang yang lain sebagai subjek yang patut dihargai dan dipelihara. Penghargaan dan pemeliharaan terhadap alam merupakan bukti penghargaan manusia akan kehidupanya dan kehidupan orang lain. Manusia dengan itu turut bertanggungjawab atas alam agar bencana yang sering menambah penderitaan hidupnya dapat dikurangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun