Mereka menjadi Buruh Asing
Aku yakin ada beberapa diantara kalian yang ingin,
Bekerja diperusahaan tambang mereka,
Mengeruk emas dan menangguk besi
Mengambil minyak dan mencuri batu bara
Dari perut bumi ibu pertiwi
Aku yakin dengan bangga kalian akan berkata
Ketika ditanya dimana kau bekerja
“kamu sekarang kerja dimana?”
“Di PT. Bla-Bla-Bla” (asing) dengan wajah tersenyum dan bahu terangkat
Aku yakin kau lupa bahwa ada idealisme yang kau buang
Atau jatuh tidak sengaja
Dengan fasilitas dan gaji melimpah banyaknya
Kau juga lupa dimana dulu menyulam ilmu, mengenyam tau
Di sudut negeri ibu pertiwi, kau belajar tentang alam dan lingkungan
Tapi ketika lulus dengan tak ragu kau menyambut lamaran
Lamaran asing dengan berjuta pujian
Kemana dulu sudut fikirmu yang dulu menjunjung kedaulatan bangsa
Kemana dulu sudut idemu yang ingin memperjuangkan mereka
Tukang ojek di perempatan
Pengamen di lampu merah
Pengemis di gerbang masjid
Tukang sampah di pinggir kali
Tukang tambal ban di ujung gang
Dan semunya yang satu penderitaan
Walau ekonomi negara kita terbukti naik pertahunnya
Perjanjian dagang, investasi dan kontrak kerja dimana-mana ada
Yang katanya atas nama “rakyat Indonesia”
Tapi kenapa nasib mereka masih sama
Tak berubah sedikit saja
Apanya yang ekonomi?
Apanya yang sejahtera?
Didiklah dan makmurkan bangsa ini, jangan mau jadi buruh asing walau gaji besar dan penuh fasilitas penunjang. Bahkan lebih bangga berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Indoensia. Menjadi buruh untuk “mereka” berarti sebenarnya mereka membutuhkan ilmu dan kemampuan kita. Kenapa kita tidak bersatu untuk merebut semua pasar yang ada ditangan mereka?
Ibu pertiwi dulu bangga sekali ketika kita semuanya masih satu tujuan disaat awal pembentukan bangsa, masih sama sama bersepatu lusuh, berbaju kumuh, tapi memiliki fikiran yang sama. Waktu berjalan, negara berkembang, banyak inovasi yang muncul, sembada pangan, Perusahaan pesawat terbang, perusahaan Mobil. Tapi sekarang? Kita hanya ”bangga” dengan buaian sejarah. Malah menjadi bangsa yang konsumtif. Apa saja yang dibawa kenegeri ini laku, mulai dari budaya, yang transaksinya tidak terlihat, sampai pakaian, gadjet, kendaraan, bahkan rokok sekalipun.
Sadarlah bahwa sekarang kita ada dititik terendah, jauh dari kemakmuran yang diimpikan. Setiap harinya sekarang tempe yang kita makan bukan lagi berkomposisi kedelai Indonesia, tapi sudah impor. Apel yang kita makan disuatu waktu bukan lagi hasil petani Malang, tapi sudah impor. Daging sapi yang kita santap bukan lagi hasil para penggembala, tapi sudah impor. Beberapa jenis sayur yang ada didalam kulkas kita bukan lagi hasil sentuhan petani lokal, tapi sudah impor. Bahkan butir nasi yang terhidang pada piring setiap hari beberapa bukan lagi padi lokal, tapi padi impor.
Apa ini yang namanya Berdaulat dan Merdeka?
Yogya, 19-09-2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H