Mohon tunggu...
Ita Salukh
Ita Salukh Mohon Tunggu... profesional -

Merindukan bangkitnya generasi baru Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepasang Tangan Malaikat

15 September 2014   04:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:41 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tahu hari ini sangat melelahkan. Kutarik selimut yang membungkus tubuhku, berusaha untuk bangkit dari pembaringan. Matahari pagi menerobos melalui jendela nako. Kurentangkan tanganku dan menarik napas dalam-dalam, melakukan gerakan senam ringan. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 wita. Tidak ada banyak waktu lagi, aku harus bergegas mandi dan bersiap diri.

Lima tahun sudah aku mengabdi di sekolah ini. Sebuah lembaga pendidikan yang mengasuh anak-anak usia pra sekolah, anak-anak usia 4-5 tahun. Banyak suka dan duka sebagai guru. Aku menikmati semua hari-hariku sampai suatu hari datanglah Benaya. Kesibukanku seolah bertambah dua kali lipat sejak kehadirannya.

Setiap hari selalu saja ada murid yang melapor, “Bu Guru, Benaya menarik-narik rambutku.” Lagi-lagi Cindy protes ketika tangan Benaya menjambak rambutnya.
“Bu Guru, Benaya meludah di mejaku.”
“Bu Guru , tanganku …. tanganku…. digigit Benaya, sakiiit, Bu Guru…”
“Bu Guru, Benaya pipis di kelas, Bu…”
Dan masih banyak lagi teriakan-teriakan protes dari murid-murid di kelasku. Rasanya aku kehabisan akal untuk menghadapi si pendatang baru, Benaya.

Usianya sudah enam tahun, namun perilakunya tak beda dengan anak usia empat tahun. Aku harus memberikan perhatian ekstra kepadanya. Sengaja kutaruh tempat duduknya di sebelahku, supaya gampang kuawasi. Cukup melelahkan memang, sementara muridku yang lain juga butuh perhatian.

“Ben, tidak meludah sembarangan!” dengan nada tegas aku memandanginya, namun terlambat, cairan dingin dari mulut Benaya sudah pindah dan menempel di wajahku. Beberapa muridku tertawa melihat aku kebingungan mencari tissue. Perasaanku bercampur aduk antara kesal dan belas kasihan.

“Dihukum aja Bu, biar tahu rasa.” Alex berdiri dan menudingkan jarinya pada Benaya yang mendorong-dorong mejanya tanpa rasa bersalah.
“Sekarang Ibu Guru mau kalian menggambar bebas. Kalian boleh menggambar apa saja yang kalian suka, dan jangan lupa untuk diwarnai.” Metode ini kulakukan supaya aku punya kesempatan berdua dengan Benaya. Aku menarik Benaya mendekat. Matanya menari-nari liar menatap tembok kelas dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Kedua tanganku memegang wajahnya.

“Ben… Benaya… Ibu Guru mau bicara. Lihat mata Bu Guru.” Aku mencoba membuat ia fokus. Usahaku sia-sia karena bola mata Benaya masih saja menari liar kesana-kemari seolah mencari sesuatu yang hilang di kelas.

“Ben… Benaya…. Coba lihat Bu Guru.” Tetap tak berhasil, dan kini mulutnya kembali mengumpulkan air liur dan siap untuk disemburkan kewajahku. “Tidak !” ia seperti terkesiap. Kali ini matanya memandangiku, namun hanya sekejap, dua detik saja, dan ia kembali asyik dengan dunianya sendiri.

Bel panjang berbunyi, waktunya berpisah dengan murid-muridku. Satu persatu mereka menyalami dan mencium tanganku. “Terima kasih, Bu Guru, sampai ketemu besok pagi.” Maya melompat-lompat kegirangan melihat papanya berdiri diambang pintu dengan senyum mengembang dan tangan terbuka lebar, siap menangkap bidadari kecilnya.

Suasana sekolah sudah lengang, ingin rasanya aku cepat-cepat ke warung sebelah dan meneguk segelas es jeruk, namun niat ini kuurungkan. Benaya masih di kelas, meringkuk dibawah meja. Hanya dia satu-satunya murid yang belum dijemput, dan selalu begitu setiap hari. Aku bersandar di dinding kelas memandangi makhluk kecil yang asyik sendiri dengan dunianya. Otakku berpikir keras bagaimana cara mendapatkan perhatian atau tatapan matanya. Aku beringsut maju mendekatinya, berlutut di kolong meja. Tangan kananku terulur menjamah tubuhnya.

“Auuuwwwwww……” Gigi geligi Ben setajam pisau. Perihnya bukan main. Lengan kananku seperti mau robek. Ingin rasanya kutampar atau kujewer kupingnya, namun peraturan sekolah tidak memperbolehkan guru menampar, menjewer, memukul, atau melakukan hukuman fisik lainnya terhadap siswa.
“Selamat siang, Bu Guru, maaf, saya terlambat lagi.” Seperti yang sudah-sudah, seorang perempuan tua berdiri di ambang pintu kelasku. Ia terlihat pucat dan sangat letih, sebuah senyuman yang dipaksakan menghias bibir keriputnya. Tangan kanannya mengapit keranjang berisi dagangan yang tidak laku terjual. Kupicingkan mataku untuk menyelidiki apa saja yang ada dalam keranjang itu. Beberapa bumbu dapur, beberapa roti tawar dan biskuit, juga dua buah margarine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun