Menulis itu menyehatkan. Menulis bisa mengalirkan endapan kepiluan, kemirisan, kedukaan akibat goncangan pengalaman hidup yang bertubi-tubi. Menulis adalah ungkapan paling jujur bagaimana endapan itu dialirkan. Ajaib, menulis itu menyembuhkan.
Inilah pengalaman seorang mahasiswi, anak sahabat saya, yang saya tahu sangat berliku menjalani hidup. Sejak kecil ia kurang memperoleh kasih sayang orang tuanya. Ibunya mengalami tekanan mental yang sangat kuat sehingga tidak bisa mengasuhnya. Ayahnya merupakan tipe yang sangat kaku. Jarang berkomunikasi dengan anaknya. Kalau pun melakukannya, kekakuan komunikasi menjadikannya sulit mengakomudir kepiluan anaknya.
Beruntung ia memiliki embah yang sejak kecil mengasuhnya dengan kasih sayang yang berlimpah. Bahkan cenderung berlebihan, karena begitu memanjakannya. Seringkali pola asuhnya jauh berbeda dengan ayahnya yang keras dan kaku. Tetapi, kasih sayang embahnya tak bisa mencukupi kasih sayang orang tuanya, terutama ibu. Ada ruang kosong di bathinnya yang tidak terisi.
Akibatnya gadis ini tampil dengan “keperibadian ganda”. Kadang tampil dengan lembutnya, tetapi tiba-tiba hadir sebagai pemberontak. Terutama ketika ia didera masalah, pertahanan psikologisnya rapuh. Emosinya meledak-ledak. Cara pikirnya pendek. Sering kabur dari rumah tanpa pernah memberi tahu kemana. Terkadang berteriak sambil menyalahkan orang yang menenangkannya. Semua keinginannya harus dituruti. Meski kemudian pilihannya salah, ia tetap tidak pernah kapok. Ia begitu sulit menerima pendapat siapapun.
Mulai Menulis
Suatu hari, gadis yang baru semester awal ini, main ke rumah. Atas dasar ingin mengenalkannya pada “sahabat yang paling aman” sebagai tempat curhat, saya bilang sama dia, “menulis itu sahabat yang paling jujur.” Ketika punya masalah, kita bisa menuliskannya. Bersama kata, kalimat, dan paragraph yang kita bangun kebahagiaan hati ikut menjulang. Endapan marah, benci, kesal, trauma, semuanya lebur dalam bangunan kata, kalimat, dan paragraph itu. Ya semuanya luruh.
Saya pun memperlihatkan tips menulis yangfilenya saya dapatkan dari blogshop kompasiana, tips “menulis cepat, menarik, dan bermanfaat” ala mas Iskandarjet. Rupanya ia tertarik. Kemudian saya usul untuk membuatkannya akun di kompasiana (maaf saya rahasiakan), ia pun mau.
Sejak itu, ia mulai belajar menulis. Pengalaman kesehariannya sering dijadikan thema menulis. Kadang ada kisah sedih, senang, kesumpekan, dan kebahagiaan. Semuanya ia tampilkan dengan jujur. Meski ia relative baru menulis, ia termasuk produktif. Setiap hari ia paling tidak mem-publish satu tulisan di Kompasiana. Meski belakangan ini intensitasnya sudah mulai menurun.
Hidup Lebih Berwarna
Perkenalannya dengan dunia menulis, menjadikan hidupnya lebih berwarna. Wajahnya tidak lagi ditekuk kemurungan. Saya melihat dengan jelas ada keceriaan di wajahnya. Ketika ia mengirim SMS ia selalu bilang baik-baik saja, meski saya tahu masalahnya belum selesai semua. Tetapi ini sudah kemajuan, mengingat hal itu jarang diucapkan sebelumnya.
Saya juga melihatnya ia tambah dewasa. Terutama dalam merespon masalah ia lebih bisa menerima pendapat orang lain. Meski awalnya tetap meledak-ledak, tetapi perlahan ia bisa berpikir lebih seimbang, mendayung di antara emosi dan rasioanalitas.pada hal sebelumnya sulit saya temukan dalam cara pikirnya, kecuali satu, sangat emosional.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa dengan menulis permasalahan hidup akan selesai semua, termasuk masalah yang mendera mahasiswi ini. Tetapi perkenalannya dengan dunia menulis, ternyata menjadikannya lebih nyaman menjalani hidup. Lebih optimis dan lebih dewasa. Inilah yang meyakinkan saya bahwa menulis itu bisa menyembuhkan. Jika dilakukan dengan sepenuh hati dan kejujuran, menulis juga membahagaiakan. Ayo, jangan berhenti menulis.
Matorsakalangkong
Sumenep, 14 mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H