Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tips Meretas Konflik Menantu-Mertua

17 Januari 2011   16:41 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 4609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12952822771335761833

[caption id="attachment_83784" align="aligncenter" width="501" caption="blogdetik.com"][/caption] Bagi  Anda yang sudah berkeluarga, pasti merasakan hubungan yang tidak nyaman dengan mertua. Kecil atau besar masalahnya. Kalau kecil saya pikir wajar. Itu bagian dari dinamika berkeluarga. Anda cuma berusaha untuk mengendalikan bagaimana masalahnya tidak menggelinding ibarat bola salju. Kalau besar? Tentu hal ini tidak bisa didiamkan. Meski Anda harmoni dengan istri-anak,  Anda tetap tak akan bahagia jika punya masalah dengan mertua. Lucu juga kan, anaknya “diambil”, bapaknya “ditendang”. Menjadi runyam jika konflik melebar. Istri/suami  misalnya berpihak pada bapak/ibunya. Tentu Anda harus mencari jalan keluar, jika keluarga yang susah-susah Anda bangun tak mau terancam bubar. Satu hal yang harus disadari, bahwa konflik dengan mertua bisa datang kapan saja. Tak tergantung sama usia pernikahan Anda. Meski umumnya, konflik dengan mertua terjadi di usia muda pernikahan, tidak berarti yang usia pernikahannya tua tidak perlu mawas diri. Sampai kapan pun, pernikahan Anda akan dipantau oleh mertua Anda. Dan sampai kapan pun Anda juga pasti berinteraksi dengan mertua Anda. Posisi mertua jelas powerful. Tapi kuasanya sebenarnya tidak sama dengan orang tua sendiri. Cuma posisi mertua saya pikir unik. Mertua menjadi orang tua karena ikatan perkawinan. Karena itu, daya rengkuh emosional dan spiritualnya terhadap menantu tidak sekuat orang tua sendiri kepada anak. Kalau orang tua sendiri di samping ada pertalian darah, ia cukup lama menyemai emosi dan kehangatan batiniyah sejak anaknya kecil. Cinta dan kasih sayang yang tulus menjadi dasar bagi anak untuk menuntaskan rasa hormat yang setulus-tulusnya. Tetapi kepada mertua tidak. Begitu juga sebaliknya, mertua kepada menantu. Hubungan bapak-anak –karena ikatan mertua-menantu—adalah hubungan yang lebih “rasional” dan “formal”. Hubungan yang tidak menggairahkan emosi. Hubungan yang tidak sepenuhnya diikat atas kedalaman cinta dan kasih sayang. Kering. Bahkan terkadang paradoks. Dekat tapi jauh. Datar`tapi terjal. Harmoni tapi  penuh selisih. Kuat tapi lemah. Atas dasar inilah relasi mertua-menantu ber(di)langsung(kan). Makanya terkadang kita dengar mertua bilang sama menantunya, “kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri”. Nah! Selama ini memang dianggap apa? Tentu pendapat ini tidak untuk menarik generalisasi. Banyak juga kasih sayang mertua tulus sama menantunya. Masalah yang menjadi akar konflik menantu-mertua sangat beragam. Bisa datang dari menantu, bisa juga dari mertua. Yang dari menantu misalnya, perlakuan sama suami/istri yang kasar, pola kepengasuhan anak yang tidak cocok sama mertua, sikap menantu yang sok hebat, sudah diajak berembuk, lebih mementingkan keluarga sendiri, dst. Sementara dari mertua misalnya, kecenderungan intervensi sama masalah keluarga anaknya, suka membandingkan menantunya dengan orang lain (terutama masalah status ekonominya), cenderung memaksakan pendapat, masih menganggap anaknya kecil, dst. Masalah-masalah di atas akan bertambah pelik, jika keduanya tak mau mengalah. Apalagi keduanya merupakan pribadi yang, misalnya, sulit membangun komunikasi. Maka masalah akan membesar dan mampet, karena saluran penyelesaiannya tidak ada. Nah, bagi Anda (baca: menantu) yang sudah terlanjur memiliki konflik, tips sederhana di bawah semoga bisa memberi bermanfaat: Jika akar masalah ada pada Anda, secara jujur akuilah dulu. Selama hal ini tidak dilakukan, saya pikir sulit mencari jalan keluar. Kejujuran dan keikhlasan untuk mengakui kesalahan, cara ampuh untuk menyelesaikan masalah. Setelah itu, datanglah kepada mertua Anda dengan ihlas, memintalah maaf. Jika akar masalah ada pada mertua, tetaplah bersikap bijak. Tak perlu dilawan dengan cara kekerasan – bahkan kekerasan bahasa sekalipun. Bagaimana pun kita berkewajiban membangun relasi yang saling memartabatkan dengan semua orang, apalagi mertua. Bahkan kalau mertua menggunakan kekerasan verbal, kita tetap harus meresponnya dengan nalar dan emosi yang tepat. Sehingga dari kita juga keluar sikap dan bahasa yang tepat. Bahasa yang santun. Atau lebih tepatnya “bahasa yang menyantuni”. Tak perlu Anda “cerewet” menjadikan konflik Anda dengan mertua sebagai gosip. Kepada semua orang Anda bercerita, seolah ingin meyakinkan orang bahwa Andalah yang benar. Jika hal ini dilakukan, hanya akan menambah intensitas konflik. Jika Anda “jantan” negosiasikan sendiri keinginan, harapan, dan kepentingan Anda. Berbicaralah secara santun dan jelas. Konflik besar kadang hanya dipicu oleh masalah kecil yang dimulai oleh kesalahpahaman. Jadikan anak anda –cucunya—sebagai pintu masuk untuk mengurai masalah Anda. Mertua biasanya sangat emosional jika berbicara masalah cucu. Bahkan kecintaan terhadap cucu melebihi kecintaan terhadap anak sendiri. Jika Anda tidak bisa menegosiasikan sendiri, mintalah istri yang menjadi mediator. Banyak dalam masyarakat pedesaan, istri menjadi mediator yang baik ketika sang suami tak mampu melakukannya sendiri karena, misalnya, tidak dekat dengan sang mertua. Jika tidak mampu carilah mediator lain  yang disegani oleh mertua. Bisa saudara Anda, istri, atau teman mertua Anda. Tentu saja mereka harus memahami dahulu apa masalahnya, sebelum memediasi kepentingan Anda. Di samping orang ini harus memiliki kemampuan bernegosiasi dan memediasi. Di masyarakat pedesaan kyai biasanya memiliki kemampuan bagus memediasi konlik keluarga. Carilah waktu yang tepat untuk menyampaikan. Jangan paksakan negosiasi dilakukan dalam suasana emosi yang masih meninggi. Tunggu hingga emosi mengendap. Tidak saja emosi mertua tetapi juga Anda. Gunakan juga waktu yang tepat untuk memulai penyelesaian. Misalnya, hari raya adalah saat tepat, paling tidak untuk saling memaafkan. Tidak mungkin bukan di hari raya yang seharusnya saling memaafkan, akan keluar kata dan bahasa yang saling menyakiti?  Meski tidak bisa diselesaikan hari itu juga, tetapi hari raya menjadi pembuka yang baik. Semoga bermanfaat. Matorsakalangkong Sumenep, 18 januari 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun