Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tetangga, Cermin Wajah Kita

16 Juni 2011   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_116926" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi: Admin/Shuttershock"][/caption] Tulisan ini diilhami oleh peristiwa yang terjadi di lingkungan saya. Dua keluarga yang saling bertetangga seperti terlibat perang urat saraf. Jangankan saling berkunjung apalagi berbagi. Untuk saling tegur saja sudah tak bergairah. Meski halaman rumah mereka tidak ada pagar pembatas, tetapi batas psikologis telah memagari mereka untuk saling menebar kasih sayang.

Melihat kasus ini saya jadi mikir, bagaimana seharusnya kita menempatkan tetangga? Seberapa penting jalinan ketetanggaan harus kita bangun? Dan bagaimana metodologi yang bisa gunakan untuk membangun persaudaraan ketatanggaan?

Tetangga, Wajah Kita Sendiri

Menurut saya, salah satu cara untuk mengetahui seseorang baik dan tulus bisa diukur dari sudut pandang tetangga dalam memandang kita. Alasan saya sederhana. Tetanggalah yang bisa merekam sifat, karakter dan perilaku keseharian kita. Karena dekat, denting piring saja yang terjadi di rumah kita bisa sampai ke telinga tetangga.

[caption id="attachment_114630" align="alignright" width="215" caption="terasa hangat membangun kebersamaan. google.com"][/caption] Karena itu, membangun jalinan ketetanggaan bisa menjadi ukuran seberapa baik atau buruk wajah kita. Seorang yang berhasil membangun jalinan ketanggaan tentu akan dirasakan manfaatnya oleh tetangganya. Manfaat itu bisa dalam wujud saling bantu, berbagi, saling kunjung, saling jaga, hingga yang paling ideal saling menasehati dalam kebaikan.

Tetapi jika kita gagal membangun ketetanggaan, prahara akan muncul. Dalam menjalani hidup orang itu tidak akan bahagia, karena setiap hari perang urat saraf akan terus mengiringi. Rumah-rumah yang bersebelahan tenggelam dalam jurang yang digali sendiri. Dingin tak ada keriangan. Celotehan dan sapaan yang hangat serta emosianal tidak akan muncul karena dalam jurang celotehan dan sapaan akan memantul ke telinga sendiri.

[caption id="attachment_114631" align="alignleft" width="212" caption="inilah contoh prahara, selalu ganggu istri tetangga. google.com"][/caption] Bukankah sesuatu yang gagal, kita gembira sementara tetangga sedih? Kita kenyang, sementara tetangga lapar? kita berpesta, sementara tetangga berduka?

Tetangga Sedekat Urat Leher

Apa pentingnya ngurusin tetangga? Ini biasanya pertanyaan lazim yang diajukan orang yang tidak sadar bahwa tetangga sedekat urat leher. Sadar atau tidak ketika kita butuh pertolongan mendesak, tetanggalah yang tedekat. Tetanggalah yang kita harap bisa membantu.

Kita penuh keterbatasan. Tak mungkin ketika mendadak butuh pertolongan, kita harus menelpon saudara yang rumahnya jauh dan mengharap segera datang seperti memesan fast food. Yang nyata dekat adalah tetangga.

RT, masihkah menarik?

Saya tidak tahu, apakah RT (rukun tetangga) khas budaya kita. Tetapi RT menjadi media yang belum tergantikan untuk membangun solidaritas ketatanggaan sampai detik ini.

Cuma RT idealnya tidak sekedar menjadi perpanjangan pemerintahan di level terbawah yang diberi tugas sekedar mengurus administrasi. RT perlu menjadi ruang budaya tempat orang bersama-sama membangun imaginasi, membangun keadaban masyarakat, memperteguh persaudaraan yang hangat dan nyata.

[caption id="attachment_114632" align="alignright" width="207" caption="contoh tindakan nyata kebersamaan pengamanan swadaya, masihkah sekarang ada? google.com"][/caption] Sayangnya di banyak tempat RT dianggap sebagai institusi yang tidak menarik. Apalagi untuk menjadi ketua RT, yang memang tidak ada gajinya, dianggap hanya membuang-buang waktu dan menambah repot saja. Pada hal jika dipikir, RT bisa menjadi satu model bagaimana membangun masyarakat berkeadaban dari bawah, di tengah harapan membangun masyarakat dari atas makin disangsikan bisa segera terwujud.

Nah, masihkah menganggap RT tidak seksi? Selamat merenungi emosi ketatanggaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun