[caption id="attachment_83527" align="alignleft" width="298" caption="kompas.com"][/caption] Suatu hari uang recehan yang saya taruh di meja makan raib. Jumlahnya tak banyak, cuma seribu rupiah. Masalahnya bukan pada nominalnya. Karena uang recehan yang tak mungkin ada di saku Gayus itu mengemban missi suci. Saya dan istri sengaja menaruhnya di meja makan untuk menguji kejujuran anak saya.
Ketika saya tanyakan sama istri, ia geleng kepala. Siapa tahu istri mengambilnya di saat uang belanja dapur mepet. Lumayan 1000 perak bisa dapat 7 buah cabe. Pada hal ketika murah bisa dapat setengah tas kresek. Nah kalau bukan istri, siapa lagi kalau bukan anak saya? Tetangga yang biasa bantu-bantu keluarga saya tidak mungkin. Ia terlalu jujur untuk mengambil hak orang lain.
Segera saya panggil anak perempuan saya yang baru berumur 7 tahun. Saya mengintrogasinya disaksikan istri dan anak laki-laki kami yang berusia 7 bulan.
“Nak..kamu melihat uang receh ya di meja makan?”
“Ng..ng...nggak ba..”, jawab anak saya panik. Anak saya memang bilang aba sama saya. Sama ibunya bilang umi. Hi..hi..Arabisasi ya. Tapi, terus terang, saya pencinta tradisi. Termasuk tradisi keagamaan yang kadang oleh orang arab disebut bid’ah.
“kok ng..ng...sih? kamu bohong ya..”, bentak saya yang membuat anak saya panik.
Melihat kepanikan anak saya, saya jadi yakin kalau ia yang mengambilnya. Satu menit, dua menit. Ahirnya ia buka suara.
“Maaf ya ba..mi..saya yang mengambilnya. Habis tadi ada tukang pentol lewat sih?”.
***
Membaca berita tokoh lintas Agama dan Pemuda berkumpul menyuarakan bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan publik, saya jadi mesem-mesem. Mesem bukan pada pernyataan tokoh lintas agama itu. Saya mesem pada respon pemerintah dan koleganya yang terkesan panik, persis anak saya.
Apa yang disampaikan oleh tokoh lintas agama bagi saya sebenarnya representasi dari suara galau rakyat bawah (baca yang ini dan yang ini ). Begitulah memang seharusnya peran tokoh agama. Di tangan mereka, sejatinya agama memang tidak boleh dibekap di ruang hampa udara. Agama harus menukik. Menguliti praktek dehumanisasi yang dilakukan siapapun. Termasuk negara. Dengan begitu, agama menyejarah. Karena agama juga menyapa orang-orang yang papa. Orang-orang yang termarginalkan. Atau dalam term Islam, kaum mustadh’afin.
Terbukti, suara tokoh agama menggema. Kekuasaan gerah. Suara gaduh kepanikan ditabuh dimana-mana. Staf Ahli Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparinga, orang yang dulu saya kagumi karena sikap kritisnya, terlihat panik. Pada Kompas.com, ia berujar, “tuduhan berbohong yang ditujukan kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan hal serius yang patut ditanggapi ”. Ia menambahkan, “bagi pemerintah, katanya, lebih nyaman jika disebut ingkar janji, inkonsisten, atau disebut gagal sekalipun” (baca di sini). Atau pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pak Djoko Suyanto, “Pemerintah tidak pernah berbohong”, (baca di sini ). Atau pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang berujar “bahwa pemerintah tidak melakukan kebohongan publik dalam melaporkan kinerja perekonomiannya”, (baca di sini )
Terus terang saya lebih suka melihat substansinya, ketimbang berdebat soal tehnis-linguistik yang kebetulan memang saya bodoh soal itu. Mungkin suara tokoh agama sangat keras karena menggunakan istilah “kebohongan”yang langsung mengarah pada karakter seseorang. Tetapi substansinya kira-kira, apa yang menjadi janji pemerintah dulu dengan yang diperbuat sekarang, tidak nyambung. Bertolak belakang. Tidak sama. Istilah kebohongan yang digunakan toh tidak menunjuk pada orang-perorang, tapi pada pemerintah sebagai sebuah entitas. Jika ada seorang yang harus bertanggung jawab itu keharusan. Karena di sinilah makna pemimpin menemukan bunyinya.
Saya membaca respon mas Daniel, pak Djoko dan pak Hatta sebagai kepanikan. Kepanikan bentuk ekspresi dari pengakuan bahwa yang ditudingkan orang di luar sebenarnya secara substansi adalah benar. Soal istilah kebohongan sekali lagi memang keras. Tapi saya yakin tak ada dalam pikiran tokoh lintas agama untuk menyakiti pribadi-pribadi. Malah saya menganggap suara keras itu sebagai bentuk sayang. Terutama sayang pada rakyat yang galau dan resah hidup dalam situasi ketidakpastian, bahkan dalam membeli cabe sekalipun.
Saatnya pemerintah bekerja menuntaskan janjinya. Setuntas janji anak saya, yang berjanji tidak mau panik karena berjanji untuk tidak mengambil uang receh lagi. Bukan malah merespon suara-suara yang sebenarnya bentuk kasih sayang –meski kadang keras— dengan kepanikan. Ya..persis kayak bentakan saya pada anak yang terdengar keras, pada hal suara keras itu suara kasih sayang. Jadi, tak perlu panik merespon isu kebohongan.
matorsakalangkong
Sumenep, 16 januari 2011
sumber: Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H