[caption id="attachment_95926" align="alignleft" width="230" caption="google.com"][/caption] Jika mencermati sekeliling kita, manusia saat ini ditandai oleh ketergesaan. Suatu sikap hidup serba terburu-buru dalam merampungkan sesuatu. Ingin cepat tuntas. Dan ingin cepat selesai. Ketika selesai manusia ditunggu pekerjaan lain yang kembali memerlukan sikap ketergesaan. Di sini manusia seperti dipenjara oleh siklus ketergesaan. Dari satu ketergesaan ke ketergesaan yang lain.
Hidup dalam ketergesaan meniscayakan nafas tersengal. Tersedak. Tetapi ketersengalan dan ketersedakan seperti tak terpikirkan. Tak berjejak dalam kesadaran. Pasalnya, ketergesaan telah melarutkan kesadarannya. Menumpulkan daya kritisnya. Sehingga ruang bertanya dan merenung atau merefleksikan segenap tindakan yang sudah/akan dilakukan tak memperoleh tempat. “Maaf, tak ada waktu untuk merenung”, kira-kira begitu mottonya.
Dalam ketergesaan memang tak ada ruang untuk merenung, refleksi, atau sekedar mengajukan pertanyaan. Karena itu tindakan yang dilakukan dalam ketergesaan melahirkan tindakan dangkal. Tindakan yang kedalaman maknanya hilang. Tindakan yang berhenti di permukaan. Atau tindakan yang hanya merayakan kulit.
Bayangkan. Mengajar dalam ketergesaan, (makna) apa yang akan diperoleh? Atau beribadah dalam ketergesaan, belajar dalam ketergesaan, bekerja dalam ketergesaan, berkomunikasi dalam ketergesaan, (makna) apa yang didapat? Bandingkan jika kegiatan itu dilakukan dengan sepenuh hati hasildari pergulatan reflektif dan renungan yang dalam, tentu akan berbeda. Menulis saja, misalnya, yang dilakukan secara tergesa-gesa akan berbeda dengan menulis yang dihasilkan dari kedalaman renungan.
Saya mengilustrasikan sikap ketergesaan hidup ibarat menulis/merespon status di beranda facebook yang berubah setiap detiknya. Kita dipaksa membacanya secara cepat. Meresponnya secara cepat. Menulis lagi secara cepat. Dan begitu seterusnya. Tetapi setelah selesai jarang yang membekas. Semua seperti menguap dan tidak meninggalkan jejak apa-apa.
Masalahnya, kenapa kita hidup dalamketergesaan? Ada beberapa jawaban yang bisa dihadirkan di sini :
1.Kita dididik untuk bersaing. Bukan untuk berbagi. Persaingan menuntut siapa yang cepat, dia dapat. Konsekuensinya, setiap orang di luar dirinya dianggap sebagai “ancaman”. Maka untuk berburu resource, yang diyakini semakin habis, dibutuhkan sikap serba cepat. Kaluu tidak cepat, ya gak kebagian.
2.Segala sesuatu yang kita kerjakan berdasar atas pertimbangan nilai ekonomi. Sudut pandangnya untung-rugi. Nilai ekonomi inilah yang kemudian mengatur seluruh kegiatan yang kita lakukan, termasuk kegiatan pergaulan sosial kita. Apalagi dalam kenyataannya kita memang disuguhi oleh jajanan citra yang merangsang kita untuk selalu memiliki. Untuk selalu tidak puas mengonsumsi benda. Aku memiliki, maka aku ada. Inilah jargonnya. Maka masuk akal jika kita berjibaku melakukan kegiatan dalam ketergesaan untuk segara memuaskan jajanan citra kebendaan yang ditawarkan.
3.Kita dididik untuk menjalani hidup dalam target. Target di sini dalam arti short term target. Karena target yang dipasang adalah target jangka pendek, maka begitu target satu selesai, maka menungu target jangka pendek lainnya. Dalam ruang target yang berebut tempat dalam kesadaran, tentu tak ada lagi ruang untuk mendalami makna. Tak ada lagi tempat untuk berefleski, merenung, atau sekedar bertanya.
Menjalani hidup dalam ketergesaan menghadirkan implikasi yang cukup serius. Paling tidak ada beberapa hal yang saya catat :
1.Kesadaran seperti diteror oleh kesibukan yang tak pernah berujung. Dicecar oleh hitungan target. Ketergesaan mengakibatkan “ketenangan hati” tak menemukan semayamnya dalam batin. Kecuali rasa panik, was-was, dan rasa hawatir.
2.Ketergesaan mengakibatkan kegiatan yang kita lakukan berhenti di permukaan. Dangkal. Karena kita sebatas mampu merayakan kulit. Pertanyaan menyangkut hakikat hidup yang akan memberi kedalaman makna, tak akan diberi tempat untuk sekedar melintas dalam kesadaran.
3.Ketergesaan akan mengurangi intensitas untuk melakukan pergaulan sosial dalam dunia riil. Pergaulan jenis ini tentu tak akan bisa tergantikan dengan jenis jejaring sosial dalam dunia maya. Karena pergaulan sosial dalam dunia riil berlangsung lebih hangat, jujur, spontan dengan melibatkan deminsi kemanusian yang dalam. Pergaulan sosial dalam dunia riil tentu akan lebih membahagiakan karena sifatnya yang lebih hangat dan jujur tadi.
4.Sikap ketergesaan menyebabkan kita terasing. Kadang-kadang kehilangan arah. Tak tahu tujuan. Kecuali berputar dalam ketergesaan satu ke ketergesaan lain. Depresi, stress, dan gangguan mental lainnya yang terus mengalami peningkatan ahir-ahir ini kiranya sudah cukup menjadi bukti.
Melihat implikasi sikap ketergesaan cukup serius barangkali menjadi penting kita kembali ke cara hidup seimbang. Seimbang dalam pola pikir, mengelola emosi, mengatur ritme hidup, serta megatur kepentingan pribadi dan kehidupan sosial. Dalam cara hidup seimbang, Insyaallah di situ ada kebahagiaan. Semoga.
matorsakalangkong
sumenep, 22 maret 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H