Dalam sepekan terahir ini di daerah saya, saya mendengar sudah ada 13 kasus yang menggoncang rumah tangga. Masalahnya sama, “ngobr(a)ol semaumu…sepuasnya” dengan WIL atau PIL melalui HP. Sebagian tentu tak cukup ngobrol. Banyak yang dilanjutkan dengan kopi darat dan selanjutnya “semaumu”.
Bagi rumah tangga, dampaknya luar biasa. Banyak yang cerai. Banyak juga yang mampu mempertahankan rumah tangga. Tetapi anak—bagi yang punya—tetap menjadi korban.
Kasus perselingkuhan melalui HP di daerah saya tenyata melampaui batas-batas kelas dan usia. Mulai dari guru, pemimpin organisasi agama, kaya -miskin, atau tua-muda. Bahkan ada yang sudah memiliki cucu pun tak kuat terhadap daya tarik “ngobr(a)ol sepuasnya…semaumu”.
Soal libido memang tak kenal siapa. Lintas ideologi, agama, ras, suku, kelas, dan usia. Siapa sih yang tidak suka? Yang berkeluarga juga punya motto, “rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”.
Sialnya, sex saat ini sudah menjadi komoditi. Atau lebih tepatnya sex sudah dikapitalisasikan. Simbol dan citra sex tak beretika dijajakan dan digelar di ruang-ruang publik. Menyesaki semua penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasaan kita. Mengimpuls titik-titik libido tanpa ujung. Terus-menerus. Hampir-hampir pertahanan etik melorot hingga derajat paling rendah. Karena paradigma ”ngeres” telah merajai sejarah saat ini. Seolah mengalahkan hiruk-pikuk pertarungan ideologi lainnya.
Wajar jika sex sudah kehilangan aura spritualitasnya. Karena hubungannya sudah diputus dari etik dan nilai-nilai agama. Jadi derajat sex semata diposisikan sebagai ”benda”. Silahkan siapa saja yangmau merebut atau memiliki, asal punya kuasa. Kuasa harta, kuasa kekuasaan, kuasa ketampanan, kuasa kecantikan, kuasa kejantanan (jadi inget mak erot), kuasa (maaf) kemontokan, kuasa ke-macho-an dan di atas (di bawah?)segalanya kuasa nafsu hewaniyah.
Tak cukup citra, infrastruktur sex pun sudah sangat canggih. Salah satunya, kemudahan akses berkomunikasi menjadi saluran liar bagi ”pembendaan” sex. Bagi masyarakat desa, tak perlu chatting via internet atau facebook-an. Cukup HP. Karena HP yang paling ekonomis dan terjangkau. Dahsyat. HP pun sudah cukup menggoncang ruang-ruang privat dalam keluarga masyarakat desa.
Liberalisasi informasi sampai ke pelosok desa, bahkan yang paling pelosok sekalipun, telah menjadikan dunia makin kecil. Tentu saja termasuk kecil malunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H