[caption id="attachment_114417" align="aligncenter" width="320" caption="google.com"][/caption] “Anjing! Gak lihat apa, matamu ditaruh dimana?” itulah umpatan yang biasa keluar dari seseorang ketika bertubrukan di jalan. Ini pengalaman saya ketika gak sengaja nubruk dagangan di trotoar BLOK M, saat kuliah dulu. Terlalu asyik ngobrol bereng teman, lupa pada sekitar. Hampir saja saya digebuk pedagang se blok M kalau gak “nyembah-nyembah” minta maaf. Hi..hi…hi…
Prang! Piring dibanting dan pecah berserakan. Raut muka memerah. Mata melotot. Urat-urat leher menonjol seperti kabel listrik. Di sekitarnya semua diam. Ini biasanya terjadi ketika suami/istri berantem. Piring beterbangan sebagai tanda amarah sedang membuncah.
Dua kasus di atas sekedar contoh bagaimana kemarahan dilampiaskan secara tak terkendali. Kadang dilampiaskan dengan mengeluarkan umpatan. Kadang dilampiaskan dengan merusak suatu barang.Bahkan tak jarang amarah harus dilampiaskan dengan meninju, memukul, menendang atau melalukan kekerasan fisik terhadap sasaran amarah.
Pada dasarnya amarah adalah manusiawi. Cuma cara merespon terhadap amarah itu berbeda-beda. Ada yang bisa menundukkan dalam control kesadaran, kejernihan pikirandan kebeninganhati. Ada yang gelap mata dan hati, sehingga kesadarannya terjajah oleh hawa nafsunya.
Amarah bukan milik satu kelas. Misalnya hanya menjadi milik orang yang yang secara ekonomi rentan atau secara pendidikan rendah. Tidak. Amarah itu lintas kelas, suku, ras, dan agama.
Bahkan pemimpin yang seharusnya memimpin dengan pikiran dan hati, justru sering melampiaskan amarahnya. Ingat silang sengkarut opini para pemimpin negeri ini tumpah ruah amarahnya di media. Saling hardik, tikam, dan ancam. Atau masih segar dalam ingatan bagaimana anggota dewan yang terhormat berjibaku justru di saat sidang dan disaksikan oleh seluruh rakyatnya.
Akar Amarah
Kemarahan, menurut Wikipedia, adalah suatu emosi yang secara fisik mengakibatkan antara lain peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan nonadrenalin. Rasa marah menjadi suatu perasaan yang dominan secara prilaku, kognitif, maupun fisiologi sewaktu seseorang membuat pilihan sadar untuk mengambil tindakan untuk menghentikan secara langsung ancaman dari pihak luar, baca. Membaca definisi di atas, akar kemarahan kata kuncinya adalah “ancaman”. Artinya, seseorang pemarah selalu saja menganggap lingkungan di luarnya sebagai “ancaman”. Masalahnya kira-kira sang pemarah tidak bisa berdamai dengan lingkungannya. Ketika lingkungan sudah dianggap menyerang batas Kenapa menganggap sebagai ancaman? Dalam pengalaman saya seorang pemarah selalu merasa benar sendiri. Sikap merasa benar sendiri ini kemudian menjadi sudut pandang untuk menilai orang lain sebagai salah, selama tidak sesuai dengan kehendaknya. Ketika tidak sesuai biasanya disikapi dengan reaksi gejolak batin yang tidak mengenakkan. Reaksi batin inilah yang memicu reaksi fisik dalam bentuk verbal maupun tindakan yang tidak mengenakkan pula. Reaksi itu biasanya muncul secara spontan ketika pertahanan dirinya tersudut. jadi, seorang pemarah yang tidak bisa berdamai dengan lingkungan di luarnya hakekatnya muncul karena tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Inilah saya pikir akarnya. Jika dilacak lebih jauh, kenapa tidak bisa berdamai dengan diri sendiri? Tentu hal ini tidak gampang dijawab. Ada banyak factor sosiologis bagaimana sikap pemarah itu terbentuk. Tetapi juga ada factor spiritualitas, dimana seorang pemarah tidak mampu menginternalisasi sifat-sifat Tuhan dalam dirinya seperti sifat Pengasih dan Penyayang. Kesimpulannya, jika seorang pemarah ingin keluar dari kungkungan sifat amarahnya, berdamailah dengan diri sendiri dengan mengontrol segenap pikiran, emosi, dan tindakan dalam kerangka kecerdasan hati. Nah di sinilah nilai-nilai spiritulitas (agama) yang menyejukkan hati menemukan relevansinya. Dampak Amarah Seandainya sang pemarah sering melakukan refleksi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh sikap amarahnya, mungkin bisa menjadi pintu masuk untuk mengelola hati dan emosinya.Dalam pengalaman, saya melihat ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh sang pemarah, sebagai berikut:
1.Secara pribadi cenderung tidak nyaman menjalani hidup. Cenderung kaku, reaktif, serta nampak seperti memikul beban hidup yang tak tertahankan. Mungkin akarya seperti yang saya jelaskan di atas, tidak bisa berdamai dengan diri sendiri dan lingkungannya.
2.Tidak mampu menbangun interrelasi dalam kehidupan sosialnya. Ini sangat wajar, karena mana mungkin seseorang akan mampu bertahan hidup bersama seorang pemarah yang cenderung merasa benar sendiri. Satu hal yang jarang direfleksikan oleh sang pemarah, bahwa hidup pasti butuh orang lain.
3.Amarah menutup seseorang untuk berpikir jernih. Kejernihan berpikir sebaliknya akan muncul dari kejernihan pikiran dan hati. Nah, hati dan pikiran sang pemarah ibarat diselimuti awan tebal yang menutupi pandangannya untuk melihat indahnya langit biru. Segala keputusan yang diambil ketika tidak didasarkan atas kebeningan hati dan pikiran, tetapi nafsu amarah, mudah menuntunnya dalam kehidupan penuh petaka.
Penutup, Cerita Mencerahkan
Bagaimana cara mengelola sifat amarah bagi sang pemarah? Mungkin cerita ahli hikmah dalam mengendalikan kemarahan yang berikut ini bisa membantu.
Begini kisahnya : untuk meyiasati kemarahannya, seorang ahli hikmah memberi tugas kepada tiga orang yang semuanya memperoleh kertas. Kepada orang pertama sambil memberi kertas ia berpesan, “jika nanti aku sedang marah, tolong berikan kertas ini padaku”. secara bergiliran paada orang kedua dan ketiga ia berpesan yang sama sambil memerinya kertas.
Benar saja, suatu hari ahli hikmah ini benar-benar marah pada lelaki tetangganya sebab suatu urusan yang berbelit-belit. Melihat itu, tampillah orang pertama sambil memberikan kertas sebagaimana dipesannya. Isinya ternyata sebuah kalimat, “Mengapa engkau marah, pada hal engkau bukan Tuhan. Engkau hanya manusia yang seringkali di antara mereka makan bersama, atau malah seringkali sebagian mereka menjadi makanan yang lain”.
Membaca kalimat itu marahnya agak reda, namun sebagian besar belum bisa dihilangkan. Segera tampil orang kedua memberi kertas yang diterimanya. Di situ tertulis kalimat, “berbelas kasihlah terhadap makhluk yang mejadi penghuni dunia ini, dengan sebab itu engkau akan mendapat belas kasih-Nya”.
Membaca secarik kertas yang kedua marahnya berangsur-angsur reda, tapi belum seluruhnya hilang. Maka segera tampil orang ketiga juga dengan secarik kertas. Di kertas itu tertulis, “bertindaklah seusai ketentuan Allah, engkau tidak akan bisa memperbaiki mereka kecuali dengan aturan yang telah ditentukan-Nya. Jangan pula sekali-kali engkau melalaikan ketentuan Allah itu”. Membaca kalimat terakhir ini, marahnya langsung lenyap (dikutip dari buku Imam Ahmad Ibnu Nizar, 2009)
Cara ahli hikmah di atas mungkin bisa ditiru untuk mengendalikan amarah. Silahkan Anda memberi tugas istri/suami atau anak Anda. Kepada mereka diberi kartu merah yang di atasnya tertulis kata-kata bijak yang bisa mengendalikan amarah Anda. Siapa tahu siasat ahli hikmah ini bisa mencerahkan hati dan pikiran ketika marah. Selamat mencoba.
Matorsakalangkong
Sumenep, 15 juni 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H