Dalam pilkada Jatim 2009, salah satu pasangan cagub-cawagub –yang ternyata menang—memiliki motto “APBD untuk RAKYAT”. Tapi oleh kawan saya motto itu disuruh baca layaknya huruf arab, dari kanan, jadi “Rakyat Untuk APBD”. Lagi, kata teman saya yang sering terlibat advokasi pro-poor budget, APBD kebanyakan dirumuskan untuk memenuhi selera para penyelenggara kekuasaan, bukan untuk public.
Awal tahun 2010, saya membantu kakak saya (september kemarin meninggal) yang menjadi anggota DPRD Sumenep menganalisis RKA-SKPD (Rencana Kegiatan dan Anggaran-Satuan Kerja Perangkat Daerah) Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Sumenep. Kakak saya anggota komisi B yang salah satunya “membawahi” Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan. Untungbeberapa kali saya pernah mengikuti workshop “pro poor budget”.Pengalaman ini tentu sangat membantu saya menganalisis RKA-SKPD.
Bersama teman saya, saya mulai melakukan analisis kira-kira jam 20.30. Jam 02.00 dinihari belum selesai.Saya tidak kuat lagi. Saya mohon diri tidur. Teman saya terus melakukan entry data sampai subuh, kira-kira hampir jam 04.00. Setelah shalat subuh tidur lagi hingga jam 07.00. Mulai lagi entry data dan kemudian menganalisis (termasuk membuat policy brief-nya) hingga jam 17.30. Berarti untuk menyelesaikan satu RKA-SKPD, saya bersama teman hampir membutuhkan waktu 24 jam dipotong tidur ala kadarnya. Sama teman saya bilang “kerja kita kayaknya lebih serius dari anggota dewan sendiri”.
Selesai menganalisis saya kembali inget sama motto “APBD untuk Rakyat” yang oleh teman saya disuruh baca layaknya huruf arab. Pas. Hasilnya mencengangkan. Pakai logika terbalik dari motto di atas, memang“Rakyat untuk APBD”. Saya geram. Jika APBD dirumuskan seperti ini, betul-betul pemerintah melakukan kejahatan terhadap rakyatnya. Bagaimana mungkin, APBD yang diperoleh dari pajak rakyat, hutang (pasti atas nama rakyat), dan macam-macam sumber lainnya yang semuanya ditanggung rakyat, ketika diserahkankepada pemerintah yang DIAMANAHI untuk dikelola,ternyata yang besar justru untuk pengelolanya? Ibarat menyuruh tetangga bikin pisang goreng, kata senior saya, beaya bikin pisang gorengnya Rp. 5.000, ongkos untuk tukang bikinnya Rp. 100.000.
Biar tidak memfitnah layaknya infotainment mari saya tunjukkan datanya. Yang saya akan gambarkan di sini adalah RKA-SKPD Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan yang saya analisis. Untuk tahun 2010 DIPTAN mengajukan anggaran sebesar 15.586.312.439. Angggaran belanja tidak langsung 6.346.741.532 dan belanja langsung sebesar Rp9,326,070,907 (ini termasuk DAK yang besarnya mencapai 7.570.210.000).Yang akan dibahas di sini yaitu belanja langsung yang peruntukannya seharusnya untuk kepentingan public.
Jika dilihat proporsi belanja langsung, dari total anggaran sebesar 9,326,070,907, untuk belanja belanja barang/jasa 1.327.989.907 (14 %), belanja modal 7.558.331.000 (81%) dan belanja pegawai 439.750.000 (5%). Harus diingat bahwa belanja modal besar bukan karena sensitifitas DIPTAN terhadap petani di kabupaten sumenep, tetapi karena ada Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat yang nominalya mencapai 7,5 milyar lebih. Artinya jika tidak ada DAK, alokasi belanja modal dipastikan kecil, bahkan sangat jauh lebih kecil dari belanja pegawai (honorarium pegawai DIPTAN) yang mencapai439.750.000. Meski belanja pegawai hanya 5% dari total belanja langsung, tapi tidak bisa dianggap kecil.
Haraf maklum belanja pegawai sudah dipastikan masuk ke kantong aparatur. Ini bukan gaji. Karena gaji sudah masuk di belanja tidak langsung. Dengan kata lain, di samping memperoleh gaji, pegawai setiap kali melakukan kegiatan di dinasnya memperoleh honorarium lagi. Semacam double payment. Pada hal, mereka kita gaji untuk melakukan pekerjaannya. Tapi ternyata pekerjaannya dikontrakkan lagi.
Sesuai watak birokrasi kita yang korup, kemungkinan kebocoran di” belanja barang dan jasa” serta di “infsruktur” sangat besar terjadi. Jika itu benar maka belanja langsung yang seharusnya untuk public habis di tangan aparatur. Mari saya tunjukkan lagi, biar apa yang saya sampaikan tidak menimbulkan tuduhan fitnah.
Saya akan mencoba menganalisis satu kegiatan yang anggarannya paling besar di DIPTAN yaitu “Optimalisasi Ketahanan Pangan”. Bentuk kegiatannya pelatihan dan sosialisasi. Kegiatan ini saya pikir cukup menjadi bukti bahwa kegiatan dibuat dengan asal-asalan dan anggaran pun banyak yang mengalir kepada para aparatur dalam bentuk honorarium dan perjalanan dinas. Kegiatan ini dianggarkan sebesar 127.000.000 untuk tahun 2010, sementara tahun sebelumnya dianggarkan 76.850.000.
Peruntukan anggaran kegiatan ini jika dianalisi ternyata lebih banyak untuk aparatur dalam bentuk honorarium pelaksana kegiatan. Barang jasa hanya 48.000.000 (38%) sementara untuk honorarium aparaturnya sebesar 78.200.000 (62%).
Jika lebih rinci melihat proporsi anggaran kegiatan ini Anda akan lebih kanget lagi. Dari total 127.000.000 yang nyata-nyata sampai kepadapublic hanya sebesar 14.500.000 (11%) dalam bentuk transportasi ketika mengikuti pelatihan dan sosialisasi. Sementara sisanya untuk administrasi (ATK, dll) sebesar 6.070.000 (5%), perjalanan dinas sebesar 22.380.000 (18%), dan yang paling mengagetkan anggaran untuk honorarium dan makan minum (mamin) yang mencapai 66% dari total belanja kegiatan atau sekitar 84.050.000
Bisa dibayangkan jika seluruh program/kegiatan di DIPTAN dan Dinas lainnya dibuat seperti kegiatan ini, dimana peruntukan anggaran honorarium, makan minum, dan perjalanan dinas sangat besar, maka kepentingan public sama sekali tidak terakomodasi.
Bukan bermaksud mengecilkan, pengalaman dan jam terbang anggota dewan dalam menganalisis anggaran masih belum banyak. Sementara birokrasi sebaliknya, memiliki kecerdasan luar biasa merumuskan anggaran yang berpihak pada mereka. 1-0 untuk birokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H